Hari-hari berikutnya, keberuntungan tampaknya mengguratkan diri dalam lembar kehidupanku yang tengah bergulir di samudra penderitaan ini. Sastro tiada henti datang ke kamp membawa seekor ayam setiap harinya. Selama dua minggu penuh, ia rutin menjadi mitra barterku. Dan, seperti pada permulaan tegur sapa kami, selalu saja barang yang dimintanya untuk ditukar dengan seekor ayam itu adalah barang yang bagaikan debu berubah jadi intan, dedaunan kering.
"Sesungguhnya, apakah tujuanmu rela menukar ayam dengan dedaunan kering?" tanyaku pada Sastro di suatu hari, usai kuserahkan ayam pemberiannya pada Nina untuk dimasak. "Bukan hanya sekali dua kali, tetapi setiap hari, ayam montok-montok milikmu yang lezat hanya ditukar oleh dedaunan kering tak berharga. Tidakkah dedaunan pemberianku yang kau kumpulkan itu hanya menjadi tumpukan sampah? Dan jika kau memang ingin mengumpulkan dedaunan kering, tidakkah kau bisa mendapatkannya di tempat lain tanpa melaluiku?"
Sastro hanya mendenguskan tawa rendah. Lama-kelamaan, bisa-bisa aku tak lagi menghargai kewarasannya.
"Sebenarnya apakah gerangan pekerjaanmu itu, Sastro?" tanyaku kemudian dengan mata memicing curiga. "Pegawai Nipponkah engkau, sehingga begitu banyak harta yang kaumiliki hingga kaubuang-buang ternakmu yang berharga? Tidakkah Belanda dan inlander, di luar dan di dalam pagar kawat ini sama-sama menderita di bawah gilasan sepatu bot tentara Dai Nippon?" Patutlah aku mentertawakan diri sendiri karena telah bertanya demikian, melihat apa yang selama ini kurekam dalam memoriku, tak pernah kulihat Sastro mengenakan pakaian bagus.
"Tak ada yang bisa menebak jalan pikir seorang seniman, Noni." Ia tersenyum penuh teka-teki. "Terkadang seorang seniman tak lagi bertumpu pada akal sehatnya."
"Kau... seorang seniman?" Mataku membulat kagum.
Sastro mengangguk. Kemudian, dikeluarkannya sebuah buku dari tas kulit usang yang tersampir di pundaknya. Setelah dibukanya buku itu, meloncat keluarlah kedua bola mataku.
"Ini buku sketsaku, Noni," Sastro menyerahkan buku sketsa yang terbuka itu padaku. Di halaman pertama, tampak bentuk dua dimensi dari wajahku, dibuat dengan guratan pensil nan rapi dan penuh estetika. Betapa indahnya sketsa itu, memancing jutaan binar di mataku.
"Bagus sekali, Sastro..." ujarku dengan rahang gemetar oleh kekaguman.
"Noni boleh menyimpan buku sketsa itu. Buku itu memang kuperuntukkan bagi Noni."
Gemetar, tanganku membolak-balik buku sketsa itu. Ternyata, seluruh halamannya telah dipenuhi oleh indahnya perpaduan sempurna guratan pensil dan kepiawaian tangan sang pelukisnya. Guratan-guratan pensil membentuk sketsa wajah seorang gadis. Wajahkulah yang memenuhi halaman demi halaman buku itu. Tak ada kecacatan sedikitpun pada sketsa-sketsa itu. Gelap terangnya, garis-garisnya, semuanya sempurna. Setiap senti garis yang tergurat dalam kertas-kertas itu, ditarik dengan sepenuh rasa dan jiwa. Seolah-olah sketsa-sketsa itu lahir karena keajaiban.
"Hertha Lodewijk..." suara Sastro mengalun, lembut dan setengah berbisik. "Pernahkah kau menyadari, betapa indahnya dirimu?"
Untaian kata menggetarkan jiwa itu segera mencekat tenggorokanku. "Apa maksudmu... Sastro?" tanyaku dengan rahang gemetar.
"Aku mencintaimu, Hertha Lodewijk..."
Petir seperti menyambarku, membuat seluruh tubuhku kaku, seolah jiwaku diambil alih makhluk asing. Hanya tanganku yang sanggup bergerak, gemetar. Terlepaslah buku sketsa penuh lukisan magis dari genggamanku.
Sastro hanya terdiam ketika buku tempatnya menuangkan separuh jiwanya itu jatuh ke tanah. Bukannya mengambil buku itu, kedua tangannya malah menggenggam sebelah tanganku yang masih menggantung kaku, kemudian membelainya dengan lembut.
"K... kau..."
"Aku serius, Hertha." Mata hitamnya gelap, pekat bagai langit malam, menatap menembus mata biruku.
"Maaf, Sastro..." ujarku setelah mengambil satu tarikan nafas. Perlahan, kutarik tanganku dari genggamannya. "Lebih baik kau jangan mencintaiku."
"Salahkah aku bila mencintaimu, Hertha...?" Kini, tak tega rasanya melihat kepedihan mulai tertanam di pelupuk matanya. Perlahan, kepalanya terkulai lemah, menunduk.
"Maaf, Sastro..." aku berujar lirih, "aku sudah bertunangan dengan Herman Hoekstra..."
Ya. Herman Hoekstra. Belanda murni, tampan, gagah, kaya, tempat segala kesempurnaan duniawi melekat. Kuyakin, keberuntungan menghinggapi diriku karena telah menjadi pemenang atas hatinya, melihat banyak sekali gadis lain yang lebih cantik dan sempurna. Ialah penumbuh bunga asmara dalam dadaku, pemekar kuncup bunga cinta dalam hatiku. Tidaklah aku berkenan mengkhianatinya, meskipun samudra ketidakpastian membentang, meskipun aku tak tahu apakah nafasnya masih berhembus ataukah tidak.
"Baiklah kalau begitu, Hertha. Aku tak berhak merusak kebahagiaan kalian kelak..." masih penuh dengan kegetiran, Sastro berujar.
Kurasa, inilah ujung dari benang keakraban dan persahabatan yang terpintal di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dedaunan yang Gugur [END]
Historical FictionAmbarawa, 1943 Sastro, Andai kau tahu, betapa besar rasa bersalah mengiris-iris hatiku, membuatku menangis darah setiap kali berusaha menggenggam bayangmu. Meski kaubilang, cinta yang sejati bukanlah cinta yang harus memiliki, melainkan cinta yang a...