Mengucap syukurlah sekarang juga, karena kau tak mengecap pahitnya neraka dunia ini. Patutlah engkau bersyukur, karena sekarang kau tengah berada di rumahmu yang nyaman, dibalik selimutmu yang hangat dan lembut, terlena oleh desir ketenangan yang perlahan mengangkatmu menuju kedamaian sejati.
Janganlah pernah berandai-andai kau berada di posisiku, gadis yang sangat tidak beruntung ini. Semua yang bisa kubanggakan, semuanya telah direnggut dariku. Harta, keluarga, mimpi, segalanya.... Hanyalah samudra ketidakpastian yang membentang di depanku, yang harus kuarungi demi menemukan serpih-serpih mimpi yang tercecer untuk kurajut kembali.
Hanya sekeping kecil mimpi yang kumiliki, jikalau aku sanggup menyelam ke palung ketidakpastian terdalam demi menemukan serpihan-serpihan itu dan merajutnya. Mimpiku hanyalah bertemu kembali dengan Papa dan ketiga kakak lelakiku, yang entah masih menghembuskan nafas atau tidak, yang entah berada dimana, yang entah sedang menerima siksaan apa dari Nippon. Mereka berempatlah hartaku paling berharga, setelah Mama terenggut dari kami akibat timah panas Nippon.
Inilah rumahku sekarang, setelah aku menyandang pangkat kasta terendah, bangsa kelas tiga. Kamp Ambarawa 5, tempat ribuan wanita dan anak-anak Belanda mengais ampas-ampas harapan dan mendekapnya erat di dada. Kamp penjara ini dulunya barak tentara yang sudah lama terbengkalai. Semenjak Dai Nippon menancapkan kekuasaannya, barak angker ini diubahnya menjadi neraka bagi para tawanan perang. Di tempat kumuh ini, habitat tikus dan kecoa, kami berusaha keras mempertahankan hidup, walaupun tiap-tiap harinya peti-peti kayu kasar berisi mayat dibawa keluar kamp diiringi isak tangis sanak keluarga.
Begitu kuat ombak penderitaan menerpa kami, menyeret kami jauh meninggalkan tepian pantai asa ketika bahan-bahan makanan di kamp makin lama makin langka. Itulah salah satu penyebab bertambahnya pekerjaan para pembuat peti. Melapor ke komandan kampetai tidaklah berpengaruh. Terkutuklah orang-orang sipit sialan itu.
Hari ini, seperti hari-hari biasanya, sekeping kepercayaan kami letakkan pada pundak-pundak inlander(3) di luar pagar kawat berduri yang mengelilingi kamp. Para inlander itu, di tengah kesulitan yang melanda mereka sendiri, setiap hari selalu membawa sayuran mentah, ikan, ayam, atau apapun untuk ditukar dengan barang-barang yang kami miliki. Pagar kawat berduri itu menjadi saksi bisu terjadinya transaksi barter antara kami.
Namun, jangan kaukira bahwa kami ditawan di sini sambil mengantongi banyak harta. Di hari pertama kami digiring ke kamp, kami dipaksa menyerahkan seluruh benda berharga dan harta kami pada para kampetai. Dan setiap harinya pun, sementara kami menjalani apel, barang-barang kami digeledah hingga kami tak punya sekepingpun barang berharga. Sungguh, kami benar-benar miskin sekarang. Harga diri kami telah runtuh bersamaan dengan runtuhnya Hindia Belanda.
Setiap harinya, kami mengumpulkan barang bernilai berapapun yang berhasil kami sembunyikan dari geledahan kampetai untuk ditukar dengan bahan-bahan makanan yang dibawa para inlander. Setelah mendapatkan bahan makanan yang mereka inginkan, jangan harap bahan makanan akan dibawa ke dapur umum untuk dimakan bersama-sama. Keegoisan masih menjajah hati hampir semua penghuni kamp. Hanya keluarga, kerabat, dan teman dekat merekalah yang diperkenankan menikmati makanan itu.
Hari ini, kutegarkan hatiku untuk melepas gelang emas peninggalan mendiang Mama. Kuharap benda yang susah payah kusembunyikan di pakaian dalamku itu bisa kutukar dengan dua ekor ayam utuh dari para inlander. Nilainya tukarnya mungkin tak sebanding, tetapi hanya itulah harta milikku yang paling pantas ditukar dengan dua ekor ayam.
Dengan gontai kaki ini melangkah menuju pagar kawat. Kugenggam erat-erat gelang emas itu di dalam saku rokku. Betapa teriris hati ini ketika benda itu seolah menjelma menjadi tangan Mama yang membelai lembut telapak tanganku. Mataku tertambat pada wajah-wajah cokelat para inlander itu, beberapa detik sebelum kuteliti barang yang berada dalam genggaman mereka. Diantara mereka, kucari-cari calon pembeli yang pantas.
"Noni!" kudengar seseorang berseru. Langsung saja, kutebar pandangan ke sekeliling, sampai akhirnya mataku tertambat pada seorang pemuda Djawa yang melambai-lambai ke arahku.
Segera saja, kuhampiri pemuda itu. Dekatnya jarak yang terbentang di antara kami membuatku leluasa menyelami wajahnya yang bersahabat. Seuntai senyum membelah wajah cokelatnya, mata hitam legamnya menguarkan tatapan hangat. Wajahnya yang klimis benar-benar sempurna, dan di sanalah lekuk-lekuk keindahan tradisional khas inlander terpahat. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan garis-garis wajahnya tegas. Anak-anak rambut gondrongnya yang tergerai bebas dimainkan desiran angin.
Ketika kutenggelam dalam wajah itu, terbukalah pintu memoriku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa sebelumnya cukup sering kumelihat pemuda ini diluar pagar. Hanya saja, sebelumnya ia hanya berdiri di sana, entah apa yang diperbuatnya. Tak pernah sekalipun ia menegurku sebelumnya, hingga aku yang tak pernah punya banyak waktu mengacuhkan keberadaannya.
"Aku punya seekor ayam, Noni!" Ia tersenyum hangat sambil mengangkat seekor ayam utuh siap masak di genggamannya.
Sungguh tidak sebanding bila aku menukar gelang emasku dengan seekor ayam. Tapi, aku tak punya barang berharga apapun lagi. Kutukar dengan sebatang pensil? Tentu saja pemuda ini akan menolaknya mentah-mentah.
Sebelum beranjak dan mencari calon mitra transaksi lain, aku bertanya, "Barang apa yang kauinginkan dariku hingga seekor ayam itu bisa jadi milikku?"
Pemuda itu tersenyum. "Daun kering, Noni," sahutnya singkat.
Alisku langsung bertaut. "Daun kering? Yang benar saja!"
"Sulitkah bagi Noni untuk mengumpulkan dedaunan kering yang gugur itu?" sambil berkata demikian, dengan ujung matanya ia menunjuk dedaunan kering yang berserakan di bawah pohon mangga.
Aku menghela nafas, memutar bola mata. Detik berikutnya aku sudah beranjak dari pagar dan menuju pohon mangga. Sementara rongga hatiku dipenuhi oleh kumandang rasa syukur bertubi-tubi, syukur atas dipertemukannya aku dengan malaikat tanpa sayap itu.
"Terima kasih, Noni," ujar pemuda itu sementara kami saling bertukar barang. "Besok aku akan datang lagi."
"Seharusnya aku yang berterima kasih. Kau benar-benar baik," ujarku lembut sambil tersenyum.
"Namaku Sastro. Kalau aku boleh tahu, siapakah gerangan nama Noni?"
"Hertha Lodewijk," aku menyahut, disertai seutas senyum manis.
"Nama yang indah..." Sebuah kekaguman terbersit dalam senyum manisnya.
__________________
(3) inlander = pribumi (bhs. Belanda)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dedaunan yang Gugur [END]
Historical FictionAmbarawa, 1943 Sastro, Andai kau tahu, betapa besar rasa bersalah mengiris-iris hatiku, membuatku menangis darah setiap kali berusaha menggenggam bayangmu. Meski kaubilang, cinta yang sejati bukanlah cinta yang harus memiliki, melainkan cinta yang a...