Albertino?
Otak Bicha bergerak cepat membongkar semua ingatan memorinya yang tersimpan dengan rapi ketika merasa deja vu dengan nama itu. Ia merasa tidak asing dengan nama yang baru saja disebut pria bermata biru samudera itu.
Albertino.
Albertino.
Albertino.
Ah, ketemu! Ayahnya pernah menyebut-nyebut nama Albertino saat menceritakan tentang pemberontakan yang tengah melanda daerah Falks. Dan Albertino merupakan salah satu pemberontak yang bersembunyi di dalam istana kerajaan yang sudah di eksekusi mati karena kelakuannya itu. Pria penghianat itu bekerja sama dengan para penyihir yang memiliki dendam dengan keluarga Wiltwizzy.
Dan penyihir identik dengan memakai jubah... Hitam!
"Aku bukan penyihir." jerit Bicha cepat ketika pria itu menebaskan pedang emasnya tepat sebelum memutus urat pada lehernya. Benda tajam itu hanya menempel di kulit lehernya. Dan itu saja sudah cukup untuk menciptakan setetes darah yang mengalir turun ke dalam kerah jubahnya.
"Aku hanya Falks biasa. Aku bukan penyihir atau pun pengikut Albertino." jelasnya dengan tergugu menahan getaran hebat tubuhnya yang tiba-tiba terasa menggigil hebat merasa kedinginan seperti sedang berada di dalam lemari pendingin.
Pria itu tetap memasang ekspresi datar pada wajahnya, namun pedang yang tadi berada di leher jenjang Bicha kini sudah kembali ke tempat semula benda itu keluar.
Sebenarnya Aiden sudah menduga kalau gadis asing ini memang bukan salah satu dari pemberontak. Apalagi kaum penyihir. Mengingat gadis itu tidak memiliki kulit yang pucat pasi melainkan kulit kecoklatan bersih yang eksotis. Dan mata cokelat bulat milik gadis itu sangat menggambarkan keluguan gadis remaja yang baru saja menginjak masa-masa dewasanya.
Penasaran dengan respon apa yang diberikan pria itu, Bicha memberanikan diri mengangkat pandangan matanya yang sedari tadi tertunduk menatap hamparan tanah di bawah. Pria itu tetap menatapnya dengan tajam namun sudah tidak se-menyeramkan saat pertama kali Ia melihat mata biru samuderanya.
Bicha terperangah ketika menyadari bahwa pria dengan pembawaan dingin dan aura intimidasi itu memiliki wajah yang sangat rupawan.
Bibir Bicha sedikit terbuka, tercengang dengan kenyataan mengejutkan yang baru ia sadari. Bicha meringis tanpa suara saat jantungnya tiba-tiba bergemuruh secara brutal di dalam tubuhnya.
Apa ini?
Jantungnya berdetak sangat cepat. Bahkan hampir membuatnya sulit untuk bernafas. Tapi detak ini terasa berbeda dari detak biasanya seperti ketika Ia terlalu lama berlari atau ketika Ia sedang merasa ketakutan berada di situasi yang bahaya, seperti saat pria bermata biru itu mengacungkan pedang emasnya ke arah Bicha tadi.
Dentuman cepat jantungnya kali ini terasa lebih menyenangkan daripada menyakitkan. Ia seakan-akan sedang berada di tengah-tengah lautan berbagai macam bunga yang cantik dan mengeluarkan aroma yang harum. Perutnya terasa digelitik oleh jutaan kupu-kupu yang beterbangan.
Bicha jatuh terduduk di hamparan daun hutan yang berguguran dengan tiba-tiba dan mata biru itu tetap tidak lepas dari pergerakannya. Bicha merasa energinya seperti tersedot habis oleh pesona pria di hadapannya ini.
Ia tersedak nafasnya sendiri ketika Aiden menyunggingkan senyuman meremehkan di salah satu sudut bibirnya.
"Buang jauh-jauh jubah itu jika kau tidak mau disangka anggota pasukan pemberontak." ujar Aiden dingin sebelum Ia mengatupkan sayap emasnya ke depan tubuhnya dan menghilang begitu saja dari hadapan Bicha. Serbuk-serbuk emas dari sayap emas gagahnya tertinggal bertebaran di tempatnya tadi menghilang.
Selama beberapa detik Bicha masih diam termenung duduk di sana. Otaknya kosong dan melayang pergi entah kemana. Semua sendi di tubuhnya terasa lumpuh.
"Tadi itu apa?" gumamnya lirih.
Bicha mengatur nafasnya setelah sadar bahwa Ia sempat menahan nafasnya cukup lama saat Aiden masih berdiri angkuh di hadapannya.
Dengan bermodalkan lengan kecilnya yang di jadikan tumpuan, Bicha berusaha berdiri perlahan-lahan dengan kondisi lutut yang terasa seperti jeli. Setelah Ia memastikan tidak akan terjatuh lagi, Ia pun dengan cepat melepaskan jubah hitam yang membuatnya hampir terbunuh sia-sia dan tanpa ragu-ragu lagi Ia langsung melemparkan benda sialan itu jauh-jauh darinya. Mata coklatnya melirik tajam jubah malang tersebut dan dalam hitungan detik benda itu pun berubah menjadi abu seakan-akan telah selesai dari proses pembakaran abis yang keji.
Gadis itu menutup kedua kelopak matanya dan menghela nafasnya perlahan, memfokuskan pikirannya, dan dengan seketika luka yang tadi telah di ciptakan oleh pedang emas milik Aiden hilang seketika di gantikan dengan kulit kecoklatan eksotisnya yang telah kembali menjadi mulus.
Bicha tahu seharusnya Ia tidak boleh melanggar janjinya sendiri untuk tidak menggunakan kekuatannya jika tidak berada dalam keadaan yang sangat berbahaya. Tapi Ia tidak mau membuat Kakek Sean merasa bersalah jika tahu Ia terluka dan hampir terbunuh gara-gara dituduh anggota pemberontak karena memakai jubah hitam pemberiannya.
Bicha menghembuskan nafasnya sekali lagi untuk menjernihkan pikirannya.
Tidak mau membuat Kakek Sean menunggu terlalu lama di rumah menanti pesanannya datang, Bicha bergegas mencari pohon langka Noella dengan daun-daun kecilnya yang dapat digunakan untuk menyembuhkan luka gigitan ular hutan. Akhir-akhir ini penduduk Kota Nipal sering terkena gigitan ular hutan yang muncul tiba-tiba di pemukiman penduduk desa. Penduduk desa berpikir mungkin ular-ular itu sudah kehabisan makanannya dan datang ke Kota Nipal untuk mencari makan, jadi penduduk desa berbondong-bondong bekerjasama menyumbangkan sebagian hasil panen mereka dan menaruhnya di tepi hutan sebagai sesembahan.
Tapi tanpa penduduk Kota Nipal sadari, ular itu bukanlah ular biasa. Ular itu sedang mencari seseorang. Seseorang yang istimewa lain dari yang lainnya.
To be continued
---
19 November 2015
Salam damai,
Raviolla MD
KAMU SEDANG MEMBACA
One in a Million
FantasyThe Last Amethyst's Giveaway [Cerita ini mengandung alur yang cepat dan singkat. Tidak terlalu terperinci seperti cerita induknya: The Last Amethyst] Ketika seluruh kehidupan berbagai kaum di dunia Immosence dipertaruhkan karena adanya sebuah penyer...