One in a Million Bagian VIIIa - A Kiss

576 46 11
                                    

Bicha membelakkan matanya terkejut ketika merasakan bibir hangat pria asing tersebut yang menempel keras di atas bibirnya. Tubuh Bicha membeku seketika tidak tahu harus melakukan apa. Pikirannya hancur terpecah-belah beterbangan kemana-mana. Ia tidak dapat berpikir normal seperti biasanya.

Bibir pria itu berada tepat di atas bibirnya. Bibir seorang Carlyle Stephan Wiltwizzy berada tepat di atas bibirnya. Bibir salah satu anggota keluarga 'Wiltwizzy' berada tepat di atas bibirnya.

Wiltwizzy.


Bibir.


C-ciuman?

Matanya berkedip linglung berkali-kali saat kesadaran menamparnya membawa Bicha kembali ke dunia nyata. Bicha berusaha mengumpulkan seluruh kekuatan persendian di tubuhnya yang sempat melemas. Ia mulai memberontak secara liar agar dapat terlepas dari kungkungan Carlyle tapi pria tersebut menghimpitnya terlalu dekat. Oh tidak-bahkan sangat dekat. Samar-samar Bicha dapat mendengar sebuah ketukan dari pintu kamarnya.

Kakek Sean! Batinnya berteriak.

"Bicha? Ada apa, nak? Kenapa pintunya terkunci?" terdengar suara Kakek Sean khawatir.

Bicha meraung liar tanpa memikirkan akibat apa yang akan Ia terima dengan melakukan hal tersebut. Tanpa sadar, lidah Carlyle langsung menyeruak masuk dan melumat dalam bibir ranum milik Bicha.

Sedang Kedua tangan Bicha bergerak secara brutal memukuli dada bidang Carlyle dengan kuat tanpa sedikit pun rasa ragu-ragu, lidah pria tersebut justru semakin dalam menjelajahi rongga mulut hangatnya tanpa ampun.

Bicha bersikeras memusatkan pikirannya yang sudah berlarian jauh dari tempatnya karena kelakuan bejat Carlyle, lalu detik itu juga tubuh Carlyle langsung terbanting cukup keras di lantai kamar dan di susul oleh suara pintu kamar yang terbuka lebar.

Carlyle meringis menahan rasa sakit yang berpusat pada punggung lebarnya. Sedangkan seorang pria paruh baya yang berdiri di depan pintu putih itu menatap terkejut pasiennya yang terbaring kesakitan di atas lantai.

"Ada apa ini?" tanya Kakek Sean heran.

Pria itu menoleh ke arah Bicha dan semakin terkejut melihat keadaan Bicha yang terbilang 'berantakan'. Dada gadis itu bergerak naik-turun terengah-engah. Ikatan ekor kuda pada rambut hijaunya sudah tidak berbentuk lagi seperti saat terakhir kali Ia melihatnya. Mata coklat almond Bicha menatap tajam pada Carlyle yang sedang menggeram kecil menahan kesakitan.

"Dia seorang psikopat, Kek! Sebaiknya kita tidak usah mengurusnya sejak awal." ujar Bicha penuh penekanan. Kedua bola matanya yang menatap tajam Carlyle mulai berubah berair secara perlahan. Gadis itu menggigit bibir bawahnya kuat menahan isak tangisnya yang ingin keluar. Bicha merasa sangat malu karena telah di lecehkan dengan pria asing yang baru beberapa jam Ia temui.

Bicha beranjak dari ranjang dan berlari keluar dengan air mata yang sudah menganak riak di kedua belah pipinya. Sebelah tangannya membekap kuat mulutnya agar tidak mengeluarkan suara yang paling di bencinya.

Bicha berlari jauh dari pemukiman penduduk. Sesekali bibirnya bergetar sesegukan menahan air matanya agar tidak keluar semakin banyak. Ia bahkan terus berlari tanpa memperdulikan bagaimana kondisi kedua kakinya yang mulai lecet dan berdarah karena Ia tidak sempat memakai alas kaki sebelumnya.

Tanpa sadar Bicha sudah menyibakkan sayap hitam lebatnya yang lembut yang di keliling oleh butiran halus kristal yang mengkerlip indah tertiup udara bukit. Ia mulai mengepakkan sayapnya bersiap untuk terbang. Perlahan tubuh kecilnya mulai sedikit terangkat. Namun sebelum Bicha melayang lebih tinggi lagi di atas satu meter dari permukaan bumi, tubuhnya tiba-tiba saja tersungkur lemas di atas permukaan rumput hijau bukit.

Tangisannya semakin pecah karena hal itu. Bicha bahkan sangat benci dengan keadaannya yang lemah dan cacat. Ia selalu tidak bisa menggunakan sayapnya untuk terbang walau Ia sudah mencobanya beribu-ribu kali. Bicha sangat yakin sekali kalau sayapnya tidak pernah mendapat celaka apapun sebelumnya sehingga membuatnya tidak bisa untuk terbang.


'Dad..'

Bicha mencoba membuka komunikasi pikiran dengan Ayahnya. Ia menunggu sesaat sembari sesekali menahan tangisannya, namun tetap tidak ada balasan di sana, hanya keheningan yang Ia dapatkan. Air matanya semakin meleleh deras di wajahnya.

"Aku ingin ikut denganmu, Dad." Lirih Bicha lemas sebelum kegelapan merenggut paksa kesadarannya.








To be continued

---

26 November 2015

Salam damai,





raviollaMD




One in a MillionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang