One in a Million Bagian IX - Falks in a Million

1.2K 71 22
                                    

Carlyle merebahkan tubuh kecil tersebut perlahan-lahan di atas ranjang king size miliknya yang di selimuti oleh bedcover berwarna merah darah. Ia menatap lekat wajah damai gadis tersebut yang dapat mendamaikan hatinya. Gadis yang sudah mencuri perhatian Carlyle dengan kehadirannya dalam bentuk sosok bersiluet cantik di dalam mimpinya.

Entah apa yang sedang Carlyle pikirkan saat itu ketika Ia meminta izin kepada Kakek dari gadis tersebut untuk membawa gadis itu dan menjadikannya tunangannya. Logikanya terus saja berteriak bahwa apa yang telah Ia lakukan saat ini adalah sebuah tindakan ter-konyol yang pernah Ia lakukan semasa hidupnya. Tetapi isi hatinya menantang keras perkataan dari pemikirannya tersebut, hatinya bersikeras mengatakan bahwa Ia melakukan hal yang tepat. Hatinya berkata bahwa apa yang sudah Ia lakukan saat ini adalah sebuah kebenaran.

Pikirannya kembali terbayang-bayang lagi saat Kakek Sean menjelaskan bagaimana keadaan Bicha yang sebenarnya...


"Apa kerajaan yang sudah mengirim anda untuk datang ke sini, Tuan?" wajah pria tua tersebut sekilas terlihat cemas. Keningnya yang keriput mengkerut dalam sehingga membuatnya terlihat lebih tua lagi.

Carlyle mengerutkan keningnya heran, lantas menjawab dengan jujur. "Tidak. Apa maksud perkataanmu?"

Sesaat Kakek Sean terlihat lega namun detik berikutnya Ia langsung gelagapan. "Ah, bukan apa-apa, Tuan." pria tua tersebut tersenyum tipis.

"Tapi, apa maksud perkataan Tuan sebelumnya tentang melindungi Bicha-cucuku?" alih Kakek Sean cepat saat Carlyle akan membuka mulutnya untuk bertanya lagi.

Di tanya demikian oleh keluarga sang gadis 'mimpi' membuat Carlyle langsung menegakkan tubuhnya khas pria jantan. Ia melemparkan senyuman termanisnya dan menatap sungguh-sungguh mata Kakek Sean, "Aku ingin Bicha menjadi tunanganku." ucapnya mantap.

Kelopak mata keriput Kakek Sean terbuka lebar menatap terkejut pemuda yang sedang menampilkan senyuman mautnya. "T-tuan.." panggilnya gelagapan.

"B-bagaimana bisa seperti itu?" tanya Kakek Sean shock berat. "Bagaiman jika Bicha bukan takdir anda yang sesungguhnya? Itu akan sangat melukainya, Tuan."

Carlyle tersenyum tipis mendengar kecemasan sang Kakek yang sangat kentara terhadap kebahagiaan cucu kecilnya. "Jangan khawatir tentang hal itu. Aku akan selalu berada di sisinya apapun yang terjadi." janji Carlyle tegas.

"Tapi... Mohon maaf sebelumnya, Tuan. Bicha bukanlah cucu kandungku yang sebenarnya. Ia masih memilik seorang ayah kandung, jadi saya tidak bisa memberikan restu pada anda sepenuhnya." elak Kakek Sean.

Carlyle mengerutkan keningnya berpikir sejenak, "Kalau seperti itu, lantas dimana Ayah Bicha berada? Biarkan aku bertemu dengannya." usul Carlyle percaya diri.

Kakek Sean menatap dalam mata Carlyle yang penuh dengan kesungguhan. Sebenarnya Ia sendiri juga ragu apakah Luck masih hidup atau tidak karena melawan kaum pemberontak, lagipula Bicha juga pernah bertanya kepadanya kenapa Luck tidak membalas komunikasi pikirannya. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Mungkin saja Luck memang membatasi pikirannya atau dia tidak selamat di medan perang..

Lalu bagaimana dengan keselamatan Bicha jika Luck sudah tidak ada? Apa Ia sanggup melindungi Bicha dari kaum-kaum yang akan menyalahgunakan kekuatannya untuk kejahatan, sedangkan untuk bergerak berlebihan sedikit saja sudah membuatnya kelelahan. Ia hanya orang tua yang sudah tidak memiliki kekuatan berlebih lagi. Kekuatannya sudah habis terkikis oleh perputaran waktu yang terus saja berjalan.

Apa Ia dapat mempercayai Pangeran muda ini untuk melindungi Bicha?

"Saya tidak yakin dimana tepatnya Ayah Bicha berada. Dan juga saya tidak tahu apakah Ayah Bicha masih hidup atau tidak." ucap Kakek Sean bergumam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

One in a MillionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang