One in a Million Bagian VIIIb - Meminta Izin

592 47 13
                                    

Carlyle merasa jantungnya seperti di renggut paksa dari dalam tubuhnya ketika melihat air mata Bicha yang meleleh di wajah cantiknya. Rasanya bahkan lebih sakit daripada saat sayapnya hampir patah di tangan Aiden, kakak laki-lakinya yang kejam. Carlyle bahkan rela lebih memilih rasa sakit saat sayapnya akan patah saja di tangan Aiden daripada harus melihat bulir air mata di wajah polos Bicha.

Ia benar-benar telah menjadi pria brengsek detik ini!

Seharusnya Ia lebih bisa menahan emosinya hingga titik yang paling terendah tanpa harus membuat kekacauan konyol ini.

"Maaf atas ucapan cucuku, Pangeran Carlyle. Ia tidak tahu siapa yang sedang Ia ajak bicara sebenarnya." ucap Kakek Sean sopan sembari mencoba membantu Carlyle untuk berdiri.

Carlyle berdiri dengan mudah, "Tidak apa-apa. Ini memang kesalahanku." aku Carlyle. Ia menoleh dan tersenyum menyesal menatap pria yang lebih tua darinya itu.

"Maaf karena sudah membuat kegaduhan di rumahmu dan juga sudah membuat cucumu menangis, Tuan Sean." ucap Carlyle penuh penyesalan.

"Itu bukanlah masalah besar, Pangeran. Bicha adalah gadis yang masih dalam tahap menuju pendewasaan diri. Terkadang emosinya memang sulit untuk di kendalikan." ujar Kakek Sean menenangkan.

Berpikir, Carlyle terlihat ragu sejenak, "Bisakah kita berbicara sebentar, Tuan Sean?" pinta Carlyle sopan.

"Tentu saja, Pangeran. Apapun yang anda inginkan." Kakek Sean sedikit membungkukkan tubuh ringkihnya patuh.

"Cukup Carlyle saja. Dan tolong jangan terlalu sungkan untuk berbicara denganku." ucapnya sembari mendudukkan tubuhnya di pinggir ranjang Bicha.

"Sungguh akan tidak sopan jika saya melakukan itu, Pangeran." Kakek Sean tetap menundukkan wajahnya.

Carlyle menghela nafasnya, "Baiklah, anggap saja ini adalah perintah. Jika kau melanggar perintah ini, kau akan mendapatkan hukuman. Selesai."

Kakek Sean mengangkat wajahnya menatap Carlyle terkejut. "T-tapi,"

"Tidak ada tapi-tapian," potong Carlyle cepat. "Tolonglah, aku tidak ingin dihormati oleh orang yang lebih tua dariku. Itu konyol."

Kakek Sean sempat menatap ragu Carlyle sebelum akhirnya menyetujui keinginan Pangeran muda itu. "Baiklah."

"Bagus, sekarang duduklah. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." pinta Carlyle sopan. Otaknya bekerja menyusun kata-perkata yang baik agar tidak menyinggung sedikit pun perasaan pria tua itu tentang apa yang akan di katakannya.

Tanpa di suruh dua kali Kakek Sean lekas menduduki kursi kecil tanpa sandaran yang memang tadi dipergunakannya untuk memeriksa tubuh Carlyle. "Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Begini. Apa boleh aku memiliki cucumu?" ujar Carlyle lugas sembari menatap kedua mata Kakek Sean tegas yang balas menatapnya terkejut.

"M-maaf, Tuan? Saya tidak mengerti." jawab Kakek Sean terbata. Pria tua itu meremas kedua telapak tangan keriputnya gelisah. Apa maksud Pangeran muda ini?

'Apakah kerajaan sudah mengambil keputusan dan mengutus pemuda ini untuk menjemput Bicha darinya? Apakah Luck sudah tahu mengenai hal ini?' benak Kakek Sean cemas.

"Aku ingin menjaga dan melindungi cucumu dari apapun. Aku--entahlah. Aku masih belum bisa memastikan perasaanku saat ini. Tapi aku berjanji atas namaku, Carlyle Stephan Wiltwizzy, bahwa aku akan melindungi cucumu sebagaimana aku melindungi seluruh keluargaku sendiri dari bahaya apapun yang akan mengancamnya." janji Carlyle dengan lugas dan mantap.

Ia tidak tahu apa yang sedang merasuki pikirannya, tapi Carlyle sangat yakin dengan apa yang sudah di ucapkannya. Carlyle merasakan dorongan aneh yang sangat kuat pada dirinya untuk melindungi gadis bermata coklat almond itu dengan segenap jiwanya. Ia seperti merasa sudah terikat dengan gadis itu.



Tapi, mungkinkah?












To be continued

---

26 November 2015

Salam Damai,







Raviolla MD



One in a MillionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang