Sekilas ekor mata Carlyle melihat samar sesosok punggung berjubah hitam sedang berdiri di depannya. Sepertinya sosok tersebut tidak menyadari keberadaan Carlyle yang tepat berada di belakangnya.
Seringai licik pemuda itu terbit secara perlahan seakan-akan Ia sedang memerankan tokoh pemangsa yang bahagia bertemu dengan calon makanannya. Tanpa suara Carlyle menyibakkan sayap birunya dan dari lengan kanannya keluar sebuah tombak berukir gambar ular yang melilit di sepanjang tombaknya.
Kakinya melangkah hati-hati tanpa suara ke belakang tubuh sosok berjubah hitam tersebut, tangan kanannya terangkat mantap bersiap menghujamkan tombaknya tepat ke arah jantung sang sasaran.
Dalam hitungan detik tombak Carlyle sudah melayang dengan kecepatan dahsyat ke arah punggung kecil sosok berjubah hitam itu.
Namun tiba-tiba tombak berukir ular miliknya langsung jatuh terpental ke tanah-yang sebelumnya hanya tinggal kurang lebih tiga sentimeter lagi dengan punggung kecil itu, seakan-akan ada portal tidak kasat mata yang melindungi tubuh sang mangsa.
Carlyle membelakkan matanya tidak percaya. Apa penyihir itu tahu keberadaannya?
***
Siapa pria itu sebenarnya?
Sampai sekarang Bicha masih di hantui dengan bayang-bayang pria tampan yang Ia temui secara tidak sengaja di hutan kala empat hari yang lalu. Pria yang hampir menebas putus lehernya. Pria yang menuduhnya sebagai pengikut Albertino. Pria dengan mata tajam berwarna biru samudra yang tajam bagai mata elang yang telah menghanyutkan akal sehatnya.
Gadis bermata cokelat almond itu menggelengkan kepalanya kecil menyingkirkan pikirannya yang mulai melantur kemana-mana. Ia tidak mau mengambil resiko besar dengan mendatangkan pria tersebut ke hadapannya hanya karena Ia tidak bisa menahan imajinasi pikirannya yang liar.
Tetapi wajah rupawan dengan tubuh kekar atletis tersebut benar-benar telah mengalihkan dunianya.
Bicha menghembuskan nafas gundah.
Tiba-tiba secetus ide melintas di otak besarnya dengan cepat. Senyum manisnya terbit perlahan.
Ia pun langsung bergegas mengganti pakaian berpergiannya. Tidak lupa juga Bicha pergi ke kamar Kakek Sean untuk meminjam jubah hitam milik pria tua tersebut-yang memang memiliki banyak jubah dengan berbagai warna khusus untuk berkebun.
Bicha berpamitan kepada Kakek Sean berkata bahwa Ia ingin mencari tanaman yang dapat menghasilkan warna merah untuk eksperimen rambutnya selanjutnya. Bicha sangat bersyukur dan lega saat Kakek Sean mempercayai perkataannya tanpa curiga sedikit pun dengan perkataannya.
Tidak mau berlama-lama lagi, Bicha langsung menjajakan langkah kakinya menuju hutan yang memang tidak jauh dari pemukiman penduduk tersebut. Tangannya menggenggam erat dan mendekap jubah hitam milik Kakek Sean dengan gugup.
Entah dapat firasat darimana tetapi Bicha yakin kalau Ia datang ke hutan itu lagi dengan menggunakan jubah yang sama seperi empat hari yang lalu, Ia pasti akan bertemu dengan pria bermata biru samudranya lagi. Kali ini Ia tidak akan menyia-nyiakan waktu dan akan langsung bertanya siapa pria itu sebenarnya, dan dari manakah asal sang rupawan.
Bibir Bicha tersenyum tipis memikirkan hal konyol tersebut. Entah kenapa Ia merasa hatinya sedikit menghangat.
Pergerakan kakinya terhenti kala Ia sudah berdiri di wilayah luar hutan. Berdiri terdiam menanti degupan jantungnya agar kembali menjadi normal kembali. Ia mulai menghitung dari angka satu sampai angka enam puluh guna membuat debaran jantungnya kembali menjadi stabil, namun walau sudah menghitung sampai angka seratus dua puluh detak jantungnya tetap tidak mereda sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
One in a Million
FantasyThe Last Amethyst's Giveaway [Cerita ini mengandung alur yang cepat dan singkat. Tidak terlalu terperinci seperti cerita induknya: The Last Amethyst] Ketika seluruh kehidupan berbagai kaum di dunia Immosence dipertaruhkan karena adanya sebuah penyer...