One in a Million Bagian IV - Buah Ampirr

777 68 10
                                    

Seorang pria muda berambut pirang pasir terlihat sedang serius dengan layar datar tipis di hadapannya yang menayangkan sebuah video game pertempuran kesayangannya. Wajahnya yang tampan dengan hidung mancung sempurna dan rahang kokoh bak boneka Ken itu berubah seram seketika saat kening indahnya mengkerut seram seolah-olah sedang menggambarkan suasana hatinya yang tidak baik-baik saja, ditambah lagi dengan lingkaran hitam disekitar matanya. Sesekali bibir merah pudarnya mencebik tidak sabaran dan mengeluarkan sumpah serapah tidak jelas ketika dirinya dalam bentuk kartun-dilayar datar persegi tersebut- mati bersimpah darah tertusuk pedang sang lawan.

Pria itu pun membuang nafas secara kasar sembari membanting stick gamenya dengan frustasi. Ia menjatuhkan tubuh tingginya ke atas sofa yang tadi Ia duduki. Tubuh dengan bahu lebar dan dada bidang itu sangat terlihat sempurna bagai perpaduan yang cocok padanya.

Akhir-akhir ini Carlyle merasa konsentrasinya mudah sekali buyar. Suara dan siluet tubuh seorang gadis dalam setiap mimpinya pada tengah malam selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Suara samar sehalus sapuan angin itu membuat jantungnya bekerja tiga kali lipat memompa darah di dalam tubuhnya sampai-sampai Ia mengira dirinya akan cepat mati karena detak jantungnya yang tidak stabil.

Siluet tubuh itu benar-benar menggambarkan sosok gadis yang sedang dalam proses pendewasaan. Menonjol pada tempat yang sangat pas dan terlihat sangat ranum dan sensitif. Carlyle harus menekan sampai titik terbawah hawa nafsunya yang memang sempat meledak-ledak saat pertama kali mimpi itu muncul di dalam tidurnya. Hell, yeah, Ia tetaplah pria normal yang sedang berada di masa pubernya.

Selama ini Ia sudah bersabar dengan gadis di mimpinya itu. Namun malam ini kesabarannya sudah tidak ada tolerannya. Semalaman Ia di hantui oleh bayang-bayang sosok gadis itu secara habis-habisan.

Setiap kali Carlyle mencoba memejamkan matanya, siluet gadis itu pun langsung muncul dihadapan alam bawah sadarnya seakan-akan Ia bisa menggapai tubuh gadis itu-yang tinggi tubuhnya hanya sedagu milik Carlyle. Tidak mau berakhir dengan mandi air dingin di malam hari, Carlyle pun memutuskan untuk tidak tidur semalaman dan sebagai gantinya Ia hanya memainkan video game kesayangannya.

Biasanya dengan bermain game suasana hatinya akan lebih membaik tapi kali ini Ia harus menelan mentah-mentah harapannya itu karena suasana hatinya tidak berubah sedikit pun walau Ia sudah memainkannya berkali-kali sampai matahari terbit dan sorotan sinarnya masuk melalui jendela kecil yang berada di sudut-sudut ruang keluarga.

Carlyle menggeram kecil sambil mengacak-acak rambutnya dengan asal.

Gerakan tangannya terhenti kala aura dingin tiba-tiba menyelimuti ruang keluarga. Oh ya, tentu saja Carlyle sudah bisa menebak siapa yang akan datang ke ruangan ini.

Sammuel Aiden Brian Wiltwizzy. Kakak es-nya.

Dan benar saja, dalam hitungan detik terdengar suara pintu terbuka dan disambut dengan suara celotehan dan gelak tawa dua bocah laki-laki. Dan sudah pasti di dampingi dengan kedua orang tua mereka di belakang.

Carlyle memejamkan matanya yang sudah lelah berusaha tidak mau ikut campur dengan keluarga berbahaya dan pembuat onar itu.

"Sudah kubilang aku tidak mau kau yang mengambilnya. Aku hanya mau Carlyle yang mencarikan buah itu untukku." suara rengekan dari keturunan bangsa Amethyst itu sedikit terdengar aneh di telinga Carlyle. Pasalnya Ia adalah wanita terkuat di Immosence, tapi entah kenapa Abby terlihat sangat lugu dan polos seakan-akan Ia tidak memiliki kekuatan yang sangat berpengaruh bagi kehidupan seluruh kaum di Immosence.

"Aku bisa mengambilnya sendiri untukmu." Carlyle mengerutkan keningnya mendengar suara Aiden yang sarat dengan penekanan emosinya karena Abby lebih memilih dirinya daripada suaminya sendiri. Seketika salah satu sudut bibir Carl naik meledek sang Kakak yang malang walau Ia sendiri pun tidak tahu titik masalahnya. Ia tidak terlalu peduli dengan itu, Ia hanya peduli dengan satu kenyataan yang baru Ia dengar, bahwa satu-satunya wanita-kelemahan- Aiden lebih memilihnya dari pada pria dingin es itu.

One in a MillionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang