5. Malam Musim Dingin

767 31 1
                                    


Pada malam musim dingin, seorang penjaga malam sedang menjaga desa diatas sebuah menara didekat hutan pinus yang luas. Adalah sebuah badai salju yang buruk bahkan untuk orang berbaju tertebal dan rumah dengan perapian terhangat. Dia dengan setia mengawasi malam kalau-kalau ada orang jahil berkeliaran di badai lebat, atau gelandangan malang yang kedinginan disebelah salah satu rumah yang ada di penglihatannya.

Apa yang ia lihat setelah beberapa lama sangat mengejutkan, suatu sosok ditemukan dari jalan menuju hutan pinus. Karena badai yang lebat, si penjaga malam tidak dapat melihat dengan jelas sosok apa itu. Akan berbahaya jika sosok itu adalah beruang walaupun dia kedinginan. Dia memperhatikan sosok itu dengan seksama, seraya sosok itu bergerak seperti bayangan diantara pohon-pohon pinus, perlahan, tetapi pasti. Dia lega karena sosok yang dia lihat dengan perlahan bergerak diatas jalan berlumpur, langsung beranggapan bahwa sosok itu adalah kereta.

Setelah kereta berbayang itu tiba didekat gerbang desa, sang penjaga malam turun untuk membukan gerbang. Dia juga penasaran apa urusan kereta tersebut di cuaca yang sangat buruk, tetapi rasa ingin tahunya hancur setelah dia melihat sosok berbayang itu bukanlah kereta – adalah seorang bocah lelaki, bocah kecil yang tidaklebih tua dari setengah usia sang penjaga malam. Seorang bocah menarik gerobak berisi mayat-mayat beku, terengah-engah, dengan mata yang membengkak jelas karena tangis, hampir setengah dari tubuhnya pucat membeku karena sobekan baju. Si penjaga malam itu terkejut, bukan hanya karena melihat si bocah, tetapi juga karena melihat mayat-mayat didalam gerobak. Seakan-akan satu keluarga mati.

Bocah sekarat itu jatuh berlutut, dan sang penjaga malam dengan cepat menolong, tetapi dia sudah tahu bahwa si bocah akan mati dalam beberapa detik karena membeku. Sang penjaga malam berusaha dengan sekuat tenaga untuk menghangatkan si bocah, memeluknya, mendekatkan obor yang ia pegang. Mengatakan berulang-ulang kepada sang bocah, "Ayolah nak, jangan ikuti cahaya itu!" Sang bocah, sebelum kematiannya, berbisik dengan mulutnya yang membeku, sangat menyedihkan dan menyiksa,

"Aku mohon kuburkan keluargaku dengan layak."

Sang bocah mati, seperti keluarganya yang membeku. Sekali lagi sang penjaga malam terkejut untuk tahu bahwa mayat-mayat di dalam gerobak itu adalah keluarganya. Dia tahu bahwa mayat-mayat itu tidak mati dibunuh, jelas karena paparan berlebihan oleh salju. Si penjaga malam berpikir bahwa mereka mati ketika longsor salju terjadi di jalan setapak yang melalui hutan, dimana jalan itu berada di kaki gunung.

Sang penjaga malam terjatuh, menangis. Bukan karena kematian sang bocah; bukan karena membayangkan betapa buruknya untuk menjadi satu-satunya yang selamat dari longsor dan menjadi satu-satunya yang menggali salju untuk mencari mayat keluarganya dan membawanya ke desa terdekat, semua sendiri di tengah badai salju yang menyiksa, menggunakan baju sobek; juga bukan karena kalimat terakhir sang bocah yang menyobek hati.

Sang penjaga malam menangis karena dia tidak disana sebelum longsor di kaki gunung.


Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang