18. Februari di Rumah Sakit

1.2K 24 0
                                    


Hari ini dan besok adalah giliranku untuk menjaga anak brengsek ini, yang tengah terbaring di rumah sakit karena kegagalannya untuk merawat dirinya dari segala penyakit. Ah, kesal sekali. Apakah anak ini benar-benar tidak dapat menjaga dirinya sendiri? Ditinggal sebentar dan sudah sakit seperti ini.

Sudah berapa lama, kira-kira? Ia berada di rumah sakit ini? Sepertinya untuk ukuran sakitnya ini, seharusnya tidak selama ini. Dan melihatnya detik ini, terbaring di atas kasur sambil menonton acara kesukaannya, membuatku meragukan apakah ia masih sakit atau sudah sembuh – dengan segala senyum itu, ketika ia melihatku datang.

"Sore!" sahutnya, padahal sore sudah berlalu entah beberapa jam yang lalu. Dasar. Padahal jam dinding berada tepat di atas televisi itu.

Aku melemparkannya koran pagi ini, yang memang seharusnya aku beri tadi pagi, tetapi si brengsek ini tertidur sepanjang hari. Lemparanku cukup kencang dan menghantam wajahnya cukup keras sehingga ia sendiri perlu berkomentar.

"Aw! Jangan kencang-kencang seperti itu!"

"Kau seperti tidak kenal aku saja." Jawabku dingin, seraya aku duduk di bangku yang berada di samping kasur rumah sakit itu, berada persis di sampingnya. Giliran aku yang menonton selagi ia sibuk membaca korannya.

Beberapa hari yang lalu, ketika aku juga yang jaga malam, aku ingat percakapan kita mengenai pertemanan kita yang begitu aneh ini.

Tidak sehari pun aku mengacuhkannya, dan selalu aku yang ia acuhkan. Dan pada hari itu, entah angin apa yang membuatnya sentimental seperti itu, ia tiba-tiba mengatakan bahwa aku adalah sahabat terbaiknya. Tentunya, aku menyindirnya bahwa ia telah memilih pilihan yang paling salah yang dapat ia pilih di dalam sejarah kemanusiaan.

Lucunya, ia menjawab, "Justru itu." Dan sialnya, semenjak jawabannya itu, aku tidak dapat menghindari untuk tidak mengacuhkannya hingga hari ini. Aku tidak pernah menduga, bahwa anak brengsek yang pendiam ini dapat merangkai kata singkat yang menggetarkan kalbu seseorang seperti diriku – yang bahkan aku sendiri ragu apakah aku punya kalbu atau tidak.

Selagi aku menonton apa yang bisa ditonton di televisi kampungan milik rumah sakit yang dipertanyakan statusnya ini, lagi-lagi ia tiba-tiba mengatakan sesuatu kepadaku. Aku yang biasanya selalu yang mengatakan sesuatu kepadanya harus menyesuaikan diri untuk menjadi telinga, setelah berbulan-bulan menjadi mulut selagi ia menjadi telinga.

"Kamu tidak merokok hari ini?"

Pertanyaan tidak penting. Basa-basi belaka. Aku berharap pertanyaannya lebih dari ini, dan aku telah dikecewakannya.

"Gara-gara kau sakit, jadwal merokokku jadi terganggu."

"Sayang sekali di dalam sini tidak boleh merokok."

"Jangan bodoh kau. Sembuh dulu, baru hisap asap rokokku lagi."

Sekilas ia terkekeh – ingin membuatku penasaran ternyata dia. Dasar, brengsek. Aku heran dengannya, aku benar mengira bahwa ia merokok karena ia tidak pernah terganggu denganku merokok ketika kita biasa duduk-duduk di taman dekat tempat les. Sekarang, entah mengapa ia kangen dengan asap rokokku.

"Kenapa kau tertawa?" tanyaku menyerah dengan ajakannya untuk menjadi penasaran.

Sekilas ia menatap mataku, tersenyum lebar menunjukkan gigi putihnya yang tidak dinodai kuning seperti gigiku gigi perokok.

"Karena kamu ingin aku sembuh."

Aku terdiam sejenak, benarkah aku menginginkan ia untuk sembuh dengan pernyataanku barusan? Benarkah? Ah, tetapi ia anak brengsek. Tidak mungkin aku menginginkannya untuk sembuh, malah ia lebih baik mati karena penyakitnya ini. Ya, tidak mungkin aku ingin ia sembuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang