11. Bidadariku

411 27 2
                                    


Pada hari itu aku dikenalkan oleh suamiku, seorang yang cukup asing bagiku. Rasanya begitu lama aku mengenalnya, seakan-akan berbulan-bulan, bertahun-tahun, berdekade-dekade. Hanya saja, pada hari itu, sama seperti saat pertama aku berkenalan dengan seseorang, aku tidak menyangka bahwa orang tersebut akan mengisi cerita hidupku sebegitu pentingnya, sebegitu indahnya.

Aku mengenalnya sebagai Dan, seorang teman suamiku di pekerjaannya. Seperti suamiku pula, Dan menyukai dan memerlukan diri untuk berkelana mengelilingi dunia demi satu pekerjaannya itu. Sungguh seorang yang sangat baik dan perhatian, walau tentu aku tahu persis maksud dan gerak-geriknya – hanya saja begitulah takdir, kurasakan kepahitan mempunyai takdir yang tidak tepat. Entah salah dari takdir yang kupunya untuk bertemu dengannya, atau salah dari takdirnya untuk bertemu denganku. Yang jelas, adalah suatu keindahan dan kepahitan dalam waktu yang bersamaan.

Mulai dari hari itu, aku dan suamiku bersahabat baik dengan Dan – setiap kali bertemu dengannya kami perlukan untuk bercakap-cakap, bercanda ria, bergelak tawa. Aku pun sangat disayang olehnya sebagai sahabat; susah melepaskan diriku dengannya ketika sudah bercengkerama berdua, dan Dan pun tidak rela melepaskan diri dari kebahagiaan bercakap-cakap – seberapapun tidak penting percakapan itu. Persahabatan antara diriku dengan dirinya tentu tak dapat dihindari, dan siapa pula yang dapat memisahkan kita berdua?

Walau pada akhirnya, pertanyaan itu berbalik kepada hari yang berlainan: ketika dalam candaan di suatu sore, aku menyindirnya,

"Kapan kau akan menikah?"

Jawaban dari Dan, sungguh, pada saat itu tak kurasakan betapa memilukan. Hingga hari ini, aku masih tidak dapat melupakan – betapa aku dulu tidak menyadari.

"Aku belum menemukan wanita seperti kau."

"Tetapi wanita yang sepertiku hanya ada satu di dunia."

"Baiklah kalau begitu, akan kutunggu jandamu."

Entah apakah pada sore itu adalah salahku untuk terkekeh dan tersipu malu mendengarkan kalimat itu, atau memang takdir tidak berbaik hati pada Dan. Apa yang didalam benakku tentu penolakan-penolakan halus – toh aku sudah mempunyai suami. Apakah benar ia akan serius menunggu hingga suamiku berpulang? Kan hidup mati di tangan Tuhan? Mungkin jikalah suamiku bukan sahabatnya, mungkin dia sudah menikung dan menghancurkan rumah tangga kami, mungkin. Jikalah aku menjanda, tuluskah hatinya untuk mencintaiku walau umur telah memakan kecantikanku? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang terasa menyindir kalimat itu; hanya saja, itulah yang dapat kupikirkan ketika memandang takdir.

Lama rasanya persahabatan kita berlanjut tanpa ada terlonggar talinya. Hingga saat aku hamil, beribu-ribu benih kekhawatiran terlihat dari bagaimana Dan bercakap denganku. Ia perlukan aku dan suamiku untuk mengunjungi rumahnya yang indah dan megah, karena baginya wanita hamil perlu dikelilingi keindahan. Tak lupa juga ia membelikanku begitu banyak barang-barang yang disukai oleh wanita, yang jikalah ia memberikan seluruh barang-barang yang ia berikan kepadaku kepada wanita, mungkin sudah dapat beristri dia hanya dalam hitungan hari. Tak ada kecemburuan di hati suamiku pula, atas suamiku yakin akan persahabatannya dengan Dan tak akan ternodai olehku – sungguh aku pun bangga terhadap keyakinan suamiku, dan juga, aku hormat terhadap Dan telah dapat memegang penuh keyakinan suamiku.

Hingga pada suatu hari, entah kenapa suamiku pulang dan memberiku perhiasan yang begitu gemerlapan, pakaian yang begitu indahnya, dan parfum yang begitu harumnya, begitu tidak biasa karena aku tahu persis harga-harga dari semua itu menjulang maha tinggi – tak mungkin, bahkan jikalah suamiku mempunyai seribu perusahaan, tak mungkin terbeli olehnya. Barulah aku dapat mengerti, ketika suamiku mengatakan bahwa semua itu berasal dari Dan. Tetapi mengapa tiba-tiba? Dan mengapa pula barang-barang yang begitu mahal? Terpikir olehku bahwa semua itu adalah isyarat yang diberikan oleh Dan, bahwa ia akan menikah dalam waktu dekat – dan memintaku untuk mengenakan itu semua pada hari pernikahannya.

Tetapi justru, yang terjadi di luar dugaan. Dan jatuh sakit, sebuah penyakit mematikan yang dibantu oleh dirinya yang sudah berumur. Bahkan disaat ia terbaring di rumah sakit, Dan terlihat sangat sehat, sangat kuat, seakan-akan tidak sakit sama sekali. Setiap kali kujenguk, berbaliklah kepada waktu-waktu di masa lalu: canda, tawa, cengkerama, sungguh waktu yang amat hangat rasanya. Tetapi justru, atas rasa penasaranku terhadap barang-barang mahal yang ia berikan, aku tanyakan pertanyaan yang sama seperti sore hari itu.

"Saat kau membelikanku barang-barang itu, Dan, benarkah untuk kupakai pada pernikahanmu?"

Jawaban Dan tetaplah sama, kali ini sedikit aku menyadari, betapa kepiluan menghantui percakapan kita ini.

"Aku masih belum menemukan wanita seperti kau."

Persis aku tahu, bahwa percakapan yang sama telah terulang, dan aku mengheningkan kata – tak ingin mengulangi kekasaranku terhadapnya pada sore itu dengan mengatakan hal yang sama. Justru, kemudian Dan mengatakan,

"Jadi, kutunggu kau di surga. Dan pada saat itu, kaulah yang akan menjadi bidadariku."

Tak lama setelah hari itu, berlanjut hingga sekarang, Dan telah menungguku di surga sana.


Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang