Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam ketika Ara sedang menunggu kedatangan Lintang di tempat kos Lintang. Ara berencana menginap di tempat Lintang malam minggu itu. Tak lama kemudian, Lintang pun pulang menyambut Ara dengan senyuman lebar. "Hai Ra, bagaimana pengalaman menyanyi di kafe tadi, seru nggak?" tanya Lintang sambil menyilahkan Ara masuk ke kamarnya.
Ara membuntuti Lintang masuk. "Lumayanlah, mungkin karena akustik, sedikit lebih PeDe. Senang bisa melihat senyum pelanggan kafe tempat kerja kamu di penghujung penampilan aku. Btw, ini honor kamu, Tang".
"Lah kan kamu yang perform, berarti honor itu yaa honor kamu, Ara sayang," jawab Lintang.
"Aku sudah cukup senang dapat kesempatan menyanyi di depan banyak orang, Tang. Cukup traktir makan aja, oke," lanjut Ara sambil tersenyum lebar dan menyerahkan amplop honor itu ke sahabatnya. Dengan ragu, Lintang menerimanya dengan berpikir-pikir sejenak. Akhirnya mereka berdua pun pergi keluar makan di warung tenda di sekitar kosan Lintang.
Sambil makan, Ara dan Lintang kembali asyik dalam cerita.
"Btw, gimana obrolan kamu dengan Oktan, Tang? Apa semuanya sudah clear diantara kalian?"
Lintang tersenyum lebar. "Aku dan Oktan sudah memutuskan untuk menjadi teman biasa lagi. Kedekatan kami terlalu dipaksakan. Dia memilih aku karena dia tidak punya cukup keberanian mendekati orang yang disukainya, sedangkan aku menerimanya karena momennya memang sesuai saat aku baru putus, he he. Jadilah hubungan kami dipenuhi dengan rekayasa hati".
"Bukannya kalian bisa menerima satu sama lain selama ini, Tang?Everything's gonna be alright between both of you, isn't it?" tanya Ara serius sambil melahap mie goreng seafood pesanannya.
Lintang terdiam sejenak memandangi Ara, ia sedang memikirkan kalimat yang pas untuk sahabatnya itu. "Awalnya baik aku maupun Oktan berpikir bahwa mungkin kami bisa menitipkan rasa pelan-pelan ke satu sama lain. Sampai di satu titik kami menyadari sesuatu, bahwa kami mengabaikan kejujuran hati kita masing-masing. Hmmm yaaa intinya kembali menjadi teman biasa sepertinya pilihan yang terbaik, Ra".
"Oktan menyukai kamu, Ara. Sayangnya Oktan hanya punya keberanian menyatakan perasaannya ke sahabat orang yang disukainya saja, Ra," lanjut Lintang lagi.
Bola mata Ara membulat, ia terkejut mengetahui hal itu tanpa bisa mengucap apa-apa.
"Kenapa kamu tidak mencoba membuka hati kamu buat dia, Ra?" sambung Lintang tersenyum ceria.
Ara memandangi lebih seksama wajah sahabatnya itu. Ia tahu ada sedih dan rasa kehilangan yang berusaha disembunyikan disana dibalik ekspresi ceria itu.
"Di hati aku sudah ada seseorang, Tang," jawab Ara ringan sambil tersenyum ragu. Wajah laki-laki asing di mimpinya yang tadi sempat ia jumpai itu tiba-tiba muncul. Hanya laki-laki itu yang beberapa waktu terakhir ini menghiasi hati dan pikirannya meski dengan cara yang aneh dan selintas lalu. Sekarang giliran Lintang yang terkejut dengan muka bertanya-tanya ke Ara. Ara tersenyum.
"Aku baru bertemu dengannya sekali, Tang, itu juga ga sengaja. Bahkan namanya pun aku belum tahu. Doakan saja aku dan dia bisa punya cerita bersama, he he".
"Maksud kamu, suka pada kesan pertama, Ra?"
"Hmmm, apa ya... aku sendiri belum jelas tentang ini, tapi yang pasti dia laki-laki yang ada di hati aku, he he. Nanti kalau sudah jelas, baru bisa aku cerita, Tang".
Keduanya pun tergelak dalam tawa.
"Satu hal, Tang. Kalau kamu sayang sama Oktan, perjuangkan dia, toh kalian sudah terbuka satu sama lain? Kalian bisa memulainya lagi dari awal dengan rasa yang tercipta," ujar Ara menyemangati Lintang.
Lintang tegas menggelengkan kepalanya. "Berteman adalah pilihan yang terbaik saat ini Ra. Toh kalau ternyata kita berjodoh dengan seseorang, kita akan ditunjukkan jalannya," ucap Lintang optimis. Ara pun tersenyum sembari mengangguk setuju. Mereka pun asyik menghabiskan makanan mereka
Sebenarnya, Ara kaget mengetahui bahwa Oktan menyukainya. Namun Ara sengaja mengalihkan pertanyaan Lintang soal Oktan karena sebenarnya Ara pernah memendam rasanya buat Oktan ketika Lintang belum jadian dengan Oktan dan mereka masih lebih sering berkomunikasi. Ara menunggu dan berharap dengan rasanya itu meski ia tidak terlalu fokus pada hal tersebut ketika ia kemudian menjadi saksi kedekatan Lintang dengan Oktan kemudian mendengar Oktan menembak Lintang. Sejak saat itu, Ara berusaha untuk perlahan melupakan perasaannya untuk Oktan. Bukan hal yang mudah, tapi Ara belajar mengikhlaskan. Seperti dia pernah belajar mengikhlaskan seorang anak laki-laki yang pertama singgah di hatinya untuk tujuh tahun lamanya yang kemudian harus berpisah dengannya karena sebuah takdir Tuhan bernama kematian. Sejak saat itu, Ara semakin belajar memasrahkan hatinya. Dia yakin cinta yang tepat akan hadir di saat yang tepat untuknya. Bahwa setiap perjalanan hati yang ia rasakan, menyukai atau disukai orang lain adalah proses pembelajaran untuk dirinya. Termasuk Oktan, Oktan menyapa hati Ara dengan senyuman, perhatian-perhatian Oktan kepadanya sebelum Oktan dan Lintang jadian membuat Ara mencoba menaruh harapan, belajar mencintai seseorang lagi. Sampai kemudian Lintang membuatnya mengalah. Ara mengalah karena hadirnya Oktan membuat Lintang lebih banyak tersenyum lepas lagi selepas Lintang patah hati selama beberapa bulan terakhir. Oktan mampu membuat Lintang merasa nyaman dengan kesedehanaan dan perhatian kecilnya. Oktan membuat bayangan yang menyisakan kesedihan di muka Lintang itu mau untuk perlahan menjaga jarak membiarkan bahagia terukir dengan lebih jelas di wajah Lintang.
Di tempat lain, Bintang baru saja memasuki apartemennya yang ditinggali bersama teman dekatnya sejak kuliah, Rion. Tidak terlihat batang hidung Rion disana, Bintang sudah menduga Rion pasti sedang hangout saat itu. Bintang bergegas mandi dan melanjutkan deadline pekerjaannya yang terpaksa harus ia bawa pulang. Sejenak ia buka aplikasi linenya ketika ia membaca status ceweknya. "Kamu berubah menjadi asing dan nyaris tak kukenali. Tapi kamu bahkan tidak merasa perlu mengucap sekedar kata maaf. Apa sebenarnya arti aku dan hubungan kita buat kamu?"
Bintang melemparkan HP-nya ke tempat tidurnya dan kembali larut dengan pekerjaannya. Waktu menunjukkan pukul 12.00 malam saat hujan terdengar memulai nyanyiannya di telinga Bintang. Bintang pun membuka balkon apartemennya, memandangi air hujan yang memecah sunyi di tengah malam itu. Tiba-tiba bayangan itu terlintas lagi, bayangan saat Bintang yang masih duduk di bangku kelas 3 SD itu tak pernah bisa dicegah untuk mandi dan bermain-main dalam hujan. Suara lembut neneknya kembali terdengar sayup sayup menemaninya menyanyikan lagu Tik Tik Bunyi Hujan. Dirinya tertawa kala itu, dan mencari cara untuk kabur ke jalan raya di dekat rumahnya ketika Neneknya berusaha mengejarnya karena khawatir dengan kendaraan yang berlalu lalang.
"Buuuk" terdengar bunyi sesuatu terjatuh. Keriangan Bintang pun hilang ketika ia melihat neneknya tergeletak tak sadarkan diri karena terpeleset dan terjatuh saat mengejarnya. Berkali-kali ia memanggil neneknya sembari mengguncangkan tubuh neneknya. "Nek, bangun... Bintang janji ga akan hujan-hujanan di jalan raya lagi". Sejak hari itu Bintang tak lagi bisa mendengar nyanyian Neneknya. Nenek Bintang koma selama beberapa bulan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Bintang selamanya akibat pendarahan di kepala saat terjatuh.
Suara petir menyadarkan Bintang dari bayangan masa lalunya. Air mata Bintang sudah menggenangi pelupuk matanya meski ia kemudian memutuskan untuk tidak mengeluarkannya dengan tangis.
"Kamu laki-laki, Bintang sayang. Laki-laki harus kuat, tidak boleh cengeng dan harus bisa menjaga ibu, nenek, dan orang-orang yang dicintainya". Suara lembut neneknya sambil mengusap lembut rambut Bintang kala itu kembali terdengar jelas. Itu alasannya juga kenapa Bintang nyaris tak pernah menangis. Ia ingin memenuhi harapan Neneknya berharap bisa melihat Neneknya sedikit tersenyum dengan apa yang dilakukannya.
Bintang bergegas masuk ke kamarnya untuk mengambil HP yang dilemparnya tadi. Ia lalu duduk di kursi malas dari karet yang ada di balkon apartemennya sambil memasang earphonenya, mendengarkan berulang-ulang rekaman lagu Bintang Kecil dari suara perempuan yang ditemuinya tadi sore di kafe. Entah kenapa hatinya merasa sedikit tenang saat itu. Beberapa saat, Bintang asyik duduk di kursi malas itu sambil memandang butir-butir hujan yang makin deras meramaikan dini hari sebelum akhirnya matanya terpejam dibuai lagu Bintang Kecil itu.
Di tempat lain, Ara sudah terlelap dalam tidurnya ketika tiba-tiba mimpi aneh itu kembali datang. Laki-laki berwajah sedih di mimpinya sebelumnya terlihat sedang duduk di balkon sebuah apartemen. Dia terdiam lama memandangi hujan, lirih terdengar ia menyanyikan lagu Bintang Kecil dengan earphone terpasang di telinganya. Suaranya pun terdengar sendu meski laki-laki itu berusaha tersenyum menatap hujan. Tak berapa lama, laki-laki itu tertidur di balkon masih dalam posisi duduk dan tempias hujan mengenai wajah dan tubuhnya tanpa membangunkannya.
"Hai, ayo bangun... jangan tidur di luar dan terkena hujan seperti itu, nanti kamu sakit. Udara sangat dingin di luar, sebaiknya kamu berbaring di kamar kamu," ujar Ara masih dalam mimpinya berusaha membangunkan laki-laki itu meski laki-laki itu tak bereaksi sedikitpun dan tetap terpejam. Ara tetap berusaha membangunkan laki-laki itu ketika tiba tiba suara petir membangunkan Ara dari mimpinya.
Ara menoleh kearah Lintang yang terlihat lelap dalam tidurnya di sebelahnya. Sejenak Ara terpaku dalam duduk memikirkan mimpi anehnya itu. Ara kemudian membuka kerai di jendela kamar Lintang mengamati hujan yang makin deras meramaikan awal pagi di hari minggu itu ketika bayangan laki-laki yang tertidur dalam hujan itu hadir kembali. "Kenapa aku bermimpi lagi tentang laki-laki itu? Ia terpejam membiarkan dirinya terkena hujan. Aku bisa melihat seulas senyum di bibirnya tapi kenapa ada sebutir air mata di ujung kelopak matanya? Apa yang sebenarnya ia rasakan dan alami?" tanya Ara pada dirinya sendiri ketika Lintang memegang bahu Ara, membuat Ara sedikit terkejut.
"Kamu ngapain melihat hujan sambil terlihat memikirkan sesuatu, Ra? Kamu ga sengaja kebangun ya?"
Ara menoleh ke Lintang seraya tersenyum
"Aku barusan mimpi aneh, Tang. Laki-laki asing itu kembali hadir di mimpi aku dengan ekspresi sendunya. Entah siapa dia dan apa yang terjadi padanya. Aku cuma pernah bertemu dengannya sekali, tadi sore waktu aku menyanyi di kafe kamu. Tiba-tiba dia datang minta aku menyanyikan lagu Bintang Kecil. Ini kali keempatnya dia muncul di mimpi aku".
Lintang mengerutkan dahinya. "Jangan-jangan laki-laki yang kamu bilang ada di hati kamu adalah laki-laki asing itu?"
Ara tersenyum tak menjawab lebih jauh lagi. "Sudahlah, ga perlu diperpanjang lagi. Tidur lagi yuk, Tang. Dingin-dingin begini enaknya memang tidur". Setelah menutup kembali kerai jendela kamar Lintang, mereka kembali berbaring."Cakep nggak Ra, cowok asing itu?" sambung Lintang penasaran. Lagi-lagi Ara hanya tersenyum dan menaikkan selimutnya, menarik badannya bertolak belakang dengan Lintang. Bayangan laki-laki asing yang tetap tertidur meski terkena tempias hujan itu kembali berkelebat di pikirannya sejenak sebelum akhirnya Ara kembali terlelap.
Malam pun berganti dan matahari malu-malu bersinar ketika Rion baru pulang. Sepi, lampu ruang tamu pun tak menyala, hanya pintu kamar Bintang terlihat setengah terbuka dengan lampu menyala.
Rion memanggil nama Bintang sambil mengetuk pintu kamarnya, tapi tak kunjung ada jawaban. Tempat tidur Bintang tampak rapi, terlihat tak tertiduri oleh pemiliknya.
"Kemana si Bintang? Apa dia sedang keluar jogging?"
Rion hendak masuk ke kamarnya ketika ia melihat bayangan seseorang sedang duduk di kursi malas yang ada di balkon.
Tampak Bintang sedang terpejam dalam posisi duduk dengan earphone di telinganya. Tubuhnya terlihat agak basah seperti balkon yang juga agak basah karena tempias hujan malam tadi.
Rion pun membangunkan Bintang seraya menggoyang lengan Bintang. Bintang pun terbangun, terlihat bibir Bintang sedikit gemetar dan pucat. "Kamu menggigil Bin? Kamu sakit?" selidik Rion. Bintang menggelengkan kepalanya perlahan.
Bintang kembali memejamkan matanya, kepalanya tiba-tiba terasa berat dan tubuhnya terasa kedinginan.
"Jangan bilang kamu tidur disini semalaman dan terkena hujan?"
Bintang menguatkan dirinya dan menoleh ke Rion. "Aku ketiduran memandangi hujan sambil mendengarkan lagu tadi malam. Sepertinya aku demam".
"Mau aku temani ke dokter?" tanya Rion.
Bintang menggelengkan kepalanya. "Cuma demam biasa kok, Rion. Minum obat penurun demam juga bakal mendingan. Kamu baru pulang?"
Rion menganggukkan kepalanya. "Yakin kamu bakal baik-baik aja, Bin?"
"Iya, Rion. Mendingan kamu segera membayar tidur. Mata kamu terlihat ngantuk banget tuh".
Perbincangan mereka pun berakhir. Bintang melangkah pelan menuju kamarnya. Setelah memakan roti dan minum obat, ia pun bergegas menyelimuti seluruh tubuhnya yang menggigil kemudian perlahan memejamkan matanya di tempat tidurnya.
"Semoga kamu baik-baik saja ya". Suara itu terdengar jelas oleh Bintang dalam mimpinya, suara yang sudah tak asing lagi di telinga Bintang. Suara yang sama dengan yang menyanyikan lagu Bintang Kecil yang direkamnya. Perempuan itu berdiri dengan seulas senyum, memandanginya yang sedang terbaring. Selepas itu semuanya kembali gelap, Bintang tak lagi bermimpi apa-apa.
Hari Minggu pun merangkak siang saat Ara asyik bersantai sambil membereskan kamar kosnya. Sementara itu Bintang menghabiskan waktunya untuk menyembuhkan demamnya. Waktu di jam dinding apartemen Bintang menunjukkan pukul satu siang saat ia terbangun. Demamnya masih tersisa tapi sudah jauh lebih baik. Dengan mengabaikan pusing yang masih tersisa, Bintang bergegas mandi dan melanjutkan menyelesaikan deadline pekerjaannya. Bintang cukup menjadi andalan di tempat kerjanya. Kemampuan Bintang yang termasuk komplit menjadi daya tarik pimpinan untuk selalu mengandalkannya meski kadang itu membuat waktu Bintang habis untuk pekerjaannya dan ia pun jadi mengabaikan sisi lain dirinya. Waktu menunjukkan pukul 3 sore saat sebuah sms masuk di HP-nya dari ceweknya. "Mau sampai kapan kamu cuekin aku? Kamu yang salah, kenapa kamu yang harus marah? Harusnya kamu menghibur hatiku, Bin".
Bintang memejamkan matanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Jujur ia lelah untuk membahas masalah itu dengan ceweknya. Dia merasa sedang ada di puncak titik jenuhnya tanpa tahu harus berbuat apa sebaiknya. Bintang pun mengambil earphonenya, lagi-lagi ia putar rekaman lagu Bintang Kecil itu. Entah kenapa mendengarnya membuat hati dan pikirannya sedikit relaks. Tiba-tiba saja bayangan neneknya menyanyikan lagu Bintang Kecil disuatu malam menjelang ia tidur beberapa tahun silam hadir di pikirannya. Dipenghujung lagu pengantar tidurnya itu, Neneknya berucap sambil mengecup lembut ubun-ubun kepalanya. "Bintang harus jadi laki-laki yang baik. Harus bisa menjaga perasaan perempuan dan sebisa mungkin tidak menyakitinya. Selamat tidur, Cucu Nenek yang Tampan".
Bintang membuka matanya. Ragu, ia membalas SMS ceweknya. "Aku minta maaf kalau aku menyakiti kamu. Bagaimana kalau kita nonton malam ini. Aku jemput kamu jam 5 sore". Bintang melanjutkan sebentar pekerjaannya. Selain hanya ingin mengikuti nasihat neneknya, ia bahkan tak tahu apa yang dirasakan hatinya.
Waktu di arloji Ara menunjukkan pukul 18.30 ketika Ara dan Lintang sedang asyik menikmati makan mereka di food court sebuah mall. Mereka menunggu jam 19.00 karena mereka berencana nonton di jam itu. Tak berapa lama mereka pun sudah duduk manis di bangku masing-masing sambil sesekali terdengar canda tawa mereka tentang obrolan tanpa fokus yang jelas.
Di baris yang berbeda agak berjauhan di studio yang sama, Bintang sedang mengobrol dengan ceweknya. Tak banyak kata yang terucap oleh Bintang, ia menjadi pendengar yang cukup setia, mendengarkan keluh kesah dan cerita ceweknya. Sesekali saja ia menimpali. Film dimulai dan berjalan sekitar 30 menit ketika Bintang beranjak dari tempat duduknya hendak ke toilet. Beberapa menit kemudian, Bintang baru saja keluar dari toilet ketika Ara yang kebetulan juga dari toilet itu melihatnya. Penasaran, Ara pun langsung membuntuti Bintang dengan sengaja mengambil jarak beberapa langkah di belakang Bintang agar Bintang tidak menyadari Ara. Ternyata Bintang berjalan kearah luar mall. Di dekat mall itu terdapat sebuah taman kota yang berbatas dengan danau buatan. Bintang pun duduk bersandar di bawah salah satu pohon disana yang agak sunyi. Bintang terlihat mengamati air danau yang tenang itu kemudian memandangi langit yang bertabur bintang malam itu. Ia pun tersenyum sejenak ke salah satu bintang yang terang di langit. Entah kenapa sunyi dan lelah itu masih mendekap erat hatinya padahal film yang ia tonton pun bertema komedi. Kebersamaan dengan ceweknya pun tak bisa mengusir rasa lelahnya. Bintang menarik nafas dalam-dalam. Ia keluarkan handphone dari sakunya dan lagi-lagi memutar lagu Bintang Kecil, meski kali ini Bintang mendengarnya tanpa earphone. Mendengarnya membuat bibirnya otomatis tersenyum dan melupakan sejenak lelahnya.
Tak jauh dari tempat Bintang, Ara tampak mengamati setiap gerak gerik Bintang dengan sembunyi-sembunyi. Ia pun tertegun saat mendengar suaranya yang ternyata direkam oleh Bintang. Wajah itu, wajah sendu yang selalu membuat hati Ara tersentuh. 10 menit kemudian, dengan ragu Ara pun melangkah mendekat ke arah Bintang.
"Apa kamu baik- baik saja?" tanya Ara menyapa telinga Bintang yang sedang bersandar sambil memejamkan matanya.
Bintang menoleh ke asal suara itu dan tertegun sejenak. "Apa ada yang bisa aku bantu?" sambung Ara lagi.
Bintang mengamati perempuan asing itu dan kemudian buru-buru mematikan lagu rekaman yang ia dengar.
"Ternyata kamu merekam suara aku menyanyikan Bintang Kecil kemarin...," ujar Ara sambil tersenyum lembut.
"Apa kamu keberatan?" tanya Bintang singkat. Ara menggelengkan kepalanya. "Kalau mendengarnya, bisa hadirkan sedikit senyuman di wajah kamu, aku merasa senang". Bintang mencermati wajah perempuan yang beberapa kali hadir dalam mimpinya itu. Bintang masih saja terdiam dengan ekspresi coolnya tanpa memberikan senyuman balasan.
"Sebenarnya kamu siapa? Kenapa kamu bisa ada disini?" tanya Bintang lagi dengan raut penasaran.
"Aku kebetulan melihat kamu di dekat toilet bioskop dan maaf entah kenapa aku kemudian membuntuti kamu hingga kemari. Kamu kenapa kemari memilih menyepi dari keramaian dan bersandar dibawah pohon pula? Bukannya bersandar dibawah pohon malam hari tidak bagus karena pohon mengeluarkan carbon dioksida? Apa kamu sedang ada masalah dan perlu teman bicara?" sambung Ara.
Bintang kembali tertegun, perempuan didepannya itu seolah bisa membaca lelahnya, seperti ia yang tiba-tiba hadir di mimpi Bintang. "Maaf, tapi kita tidak saling mengenal, jadi apa yang terjadi denganku bukan urusan kamu. Aku baik-baik saja, cuma sekedar mencari udara segar sejenak. Terima kasih sudah mengingatkan. Terima kasih juga untuk lagunya. Aku harus kembali masuk ke bioskop, teman aku pasti bingung karena aku perginya lama". Bintang buru-buru beranjak dari duduknya, menganggukkan kepalanya pelan memberi tanda pamit kepada Ara.
Ara terdiam di tempatnya berdiri. Matanya mengamati Bintang yang berjalan masuk ke dalam mall. Tiba-tiba ia dihinggapi rasa bersalah karena merasa lancang ingin tahu tentang laki-laki itu padahal mereka tidak saling mengenal. Namun, ia juga tidak bisa mengingkari hatinya, ada rasa khawatir yang ia rasakan sejak laki-laki asing itu hadir beberapa kali dalam mimpinya dengan wajah sedihnya.~ Bersambung ~
KAMU SEDANG MEMBACA
Konstelasi Hati BINTANG Buat ARA
General FictionKarena namamu seperti nama konstelasi bintang dan namaku adalah BINTANG, aku akan membuat konstelasi hati aku untukmu, ARA. Konstelasi Ara adalah salah satu yang cantik. Ia membuatku tersentuh, membuatku ingin melihatnya lagi dan lagi seperti halnya...