3. Teman Hidup?

385 16 27
                                    

Keesokan harinya, Ara menjalani rutinitas pekerjaannya seperti biasa sebagai petugas yang melayani tamu di perpustakaan sebuah lembaga penelitian. Ara menyukai pekerjaannya itu, dirinya jadi banyak belajar bermacam referensi yang ada di perpustakaan tempat ia bekerja. Tak jarang, tamu yang datang pun menanyakan detail isi dari publikasi yang tersaji disana. Bahkan Ara pun jadi belajar lebih banyak tahu bagaimana menyampaikan informasi yang ada di perpustakaannya secara digital melalui website. Ara sangat menikmati pekerjaannya.
Sementara itu, di tempat lain Bintang pun tenggelam dalam pekerjaannya. Deadline pekerjaan untuk hari Senin akhirnya terselesaikan juga setelah dirinya begadang sepulangnya dari bioskop tadi malam. Deadline demi deadline pekerjaan baru pun sudah menunggu dan mengantri pada Bintang. Untungnya, Bintang orang yang cukup tangguh dan sangat mencintai pekerjaannya. Meskipun dirinya sedang jenuh, dia selalu berusaha menyelesaikan apapun tugasnya dengan sebaik-baiknya meski kadang membuatnya lupa akan dirinya sendiri. Bahkan ada kalanya dia menjadi seperti robot saat ia tenggelam dalam pekerjaannya.
Senin pun berlalu dengan cepat, waktu menunjukkan pukul 7 malam saat Bintang bersiap-siap pulang dan ada panggilan masuk dari ibunya yang tinggal di beda kota karena harus menemani ayahnya yang ditugaskan berpindah-pindah. Mereka pun melakukan komunikasi melalui video call.
"Bintang, apa kabarnya, Sayang? Kenapa jagoan tampan ibu terlihat makin tidak terurus begini sih?" sapa ibunya dengan penuh sayang.
Bintang pun tersenyum. "Bintang baik-baik saja, Bu. Cuma sedang banyak deadline saja di kantor, he he".
"Tapi ibu lihat kamu kurusan Nak, apa kamu habis sakit? Soalnya perasaan ibu akhir-akhir ini agak nggak enak. Cuma ayah kamu selalu bilang, kamu sudah dewasa dan pasti bisa jaga diri".
Lagi-lagi Bintang tersenyum. "Benar kata Ayah, Ibu jangan terlalu mengkhawatirkan Bintang. Oh iya, Ayah dan Ibu sehat-sehat kan disana?" kini gantian Bintang bertanya dijawab dengan anggukan ibunya.
"Oh iya, Bin... sudah ada belum perempuan buat dikenalkan ke ayah dan ibu sebagai calon kamu? Kamu sepertinya sudah saatnya punya seseorang buat menemani kamu biar kamu lebih terurus, Sayang. Maksud ibu teman hidup, Bin," sambung ibu Bintang setengah serius dan setengah menggoda anak semata wayangnya itu.
Bintang tertawa kecil. "Belum ada, Bu. Yang ada cuma teman main saja," jawab Bintang teringat pada ceweknya, Zetta.
"Teman main juga penting, nggak ada salahnya, Bin, tapi sudah saatnya juga kamu mulai memikirkan tentang seseorang untuk calon teman hidup kamu. Apa teman main kamu tidak bisa berubah menjadi teman hidup, Bin?"
Bintang terdiam sejenak seolah sedang berpikir. Kemudian ia kembali tertawa sedikit manja ke ibunya. "Ibu tidak perlu khawatir ya, nanti di waktu yang tepat Bintang insyaa Allah bakal kenalkan calon teman hidup Bintang ke Ayah dan Ibu tentunya setelah Bintang menemukannya. Mohon doakan Bintang diberikan yang terbaik saja ya, Bu".
Setelah mengucapkan doa-doa tulus seorang ibu untuk buah hatinya, percakapan Bintang dan ibunya pun berakhir.
Bintang kembali melanjutkan mengemaskan barang-barangnya kemudian bergegas pulang ke apartemen dengan motornya. Meski sebagian orang merasa bahwa mengendarai mobil menempatkan dirinya di status sosial yang terkesan lebih keren, tapi tidak begitu dianggapan Bintang yang lebih memilih sesuatu dari manfaatnya. Ia lebih sering memarkir mobilnya di tempat parkir apartemennya di hari kerja.
Sembari mengendarai motornya, Bintang kembali teringat obrolan dengan ibunya
"Teman hidup???" pikir dan ucapnya dalam hati. Bintang kembali menarik nafasnya dalam-dalam. Baru kali ini ia kembali menyadari tentang hal itu setelah sekian lama ia tak memikirkannya dan tenggelam dengan pekerjaannya. Kesunyian itu kembali menyergap di hati Bintang. "Hmmm dimana aku harus menemukannya? Entah kenapa, tiba-tiba aku merindukannya," lanjutnya bertanya ke dirinya sendiri.
"Apa mungkin dia itu Zetta?" sambung Bintang lagi berdialog dengan bayangannya sendiri ketika bayangan perempuan yang hadir di mimpinya itu tiba-tiba melintas di benaknya. Perempuan itu yang menawarkan senyum padanya.
"Aaaaah mana mungkin dia, aku bahkan tidak tahu siapa dia," ucap Bintang lirih menghalau pikirannya berkembang kemana-mana.
Waktu menunjukkan pukul 9 malam saat ada panggilan masuk di handphone Bintang. Pemberitahuan dari pihak kepolisian bahwa Rion mengalami kecelakaan dan dirawat di sebuah rumah sakit. Tanpa berpikir panjang lagi, Bintang pun bergegas memutar motornya. Setengah jam kemudian, Bintang sudah berada di luar kamar penanganan Rion. Rion mengalami patah tulang dan pendarahan yang cukup banyak sementara kantong persediaan darah yang tersedia terbatas. Bintang diminta mencari tahu kemungkinan calon pendonor yang lain untuk berjaga-jaga jika nanti diperlukan. Bintang sudah menghubungi orang tua Rion yang tinggal di luar pulau. Mereka baru bisa berangkat esok paginya karena penerbangan sudah tidak ada lagi untuk hari itu. Berusaha menenangkan, Bintang berjanji akan menjaga Rion semampunya sampai mereka datang.
Bintang terduduk di depan ruangan Rion. Kondisi Rion masih belum stabil. Bintang pun sedang berpikir mencari orang yang bisa dimintai tolong sebagai calon pendonor darah untuk berjaga-jaga. Dia setengah menyesal karena dia tidak bisa mendonorkan darahnya karena golongan darahnya tidak sama, dia O sementara Rion AB. Beberapa orang yang ia kontak, tidak ada yang memiliki golongan darah yang sama.
Bintang kehabisan pikir, bingung ia harus mencari kemana pendonor itu. Ditambah lagi, malam ini ia harus menyelesaikan deadline untuk presentasi di rapat esok siang tentang sebuah proyek penting bagi perusahaannya. Pekerjaan yang sayangnya tidak bisa ia delegasikan ke orang lain karena murni terkait idenya. Tiba-tiba Bintang merasa lelah saat itu.
Sementara itu di tempat lain, Ara sudah terlelap dalam tidurnya. Hari Senin benar-benar melelahkannya, banyak sekali pengunjung yang dilayaninya hari itu. Malam merangkak naik dan perlahan berganti pagi, Ara kembali dihampiri mimpi. Kali ini ia melihat bangunan rumah sakit, ia mengenalinya karena rumah sakit itu dekat dengan tempat kerjanya. Lagi-lagi ia melihat laki-laki asing itu, ia sedang tertidur sambil duduk di ruang tunggu rumah sakit. Wajah itu terlihat lelah ketika laki-laki itu kemudian terbangun dengan setengah kaget. Ia bangun dan masuk ke dalam ruangan. Terlihat seseorang sedang terbaring dengan beberapa perban dengan selang untuk darah dan infus. "Cepet stabil ya, Rion. Insyaa Allah besok papa dan mama kamu bakal datang. Istirahat yang tenang ya. Semoga kamu tidak memerlukan tambahan darah lagi, tapi tenang saja aku pasti akan tetap berusaha mendapatkan pendonor darah buat kamu," ujar laki-laki asing itu tersenyum sambil menepuk pelan bahu orang yang disebutnya dengan nama Rion itu. "Andai aja, golongan darah aku AB, kamu perlu dua kantong pun bakal aku kasih demi kamu, Rion," lanjut laki-laki itu dengan setengah tertawa. Ada gurat sesal dan sedih di wajah laki-laki itu, semacam rasa bersalah yang bercampur dengan rasa lelahnya. Laki-laki asing itu duduk di sebelah orang bernama Rion itu, ia buka tas ranselnya, menyalakan laptopnya dan tenggelam dalam kesibukannya sambil sesekali melihati kondisi orang yang disebutnya dengan nama Rion itu. Laki-laki asing itu terlihat memasang earphonenya, lirih terdengar ia menyenandungkan lagu Bintang Kecil.
Ara terbangun dari tidurnya. Waktu menunjukkan pukul 03.00 saat itu. Mimpi aneh itu terasa nyata di pikiran Ara. "Apa yang terjadi sebenarnya dengan laki-laki itu? Siapa orang yang terbaring dihadapannya sehingga laki-laki itu terlihat khawatir dan sedih? Dan kenapa aku memimpikannya?" tanya Ara sambil menopangkan kedua tangannya di dagunya. Hatinya ikut cemas tanpa sebab melihat wajah sedih laki-laki itu. "Aku tidak tahu, kenapa aku memimpikan kamu lagi. Tapi jika ini benar, semoga kamu baik-baik saja". Ara terdiam merenungi mimpi anehnya itu sejenak sebelum akhirnya dia memutuskan bersiap-siap menyambut paginya.
Waktu di arloji Ara menunjukkan pukul 06.00 saat Ara dengan ragu melangkah masuk ke rumah sakit yang ia lihat di mimpinya semalam. Ara sengaja berangkat kerja lebih awal, ingin memastikan mimpinya. Ia menyusuri lorong dan mencari ruang ICCU dengan berbekal apa yang dikatakan laki-laki asing itu dalam mimpinya.
"Maaf, apa benar ada pasien bernama Rion di ruang ICCU?" tanya Ara ke perawat penjaga disana.
"Ada mbak, dia pasien kecelakaan yang masuk tadi malam, tapi cuma satu orang yang diperbolehkan masuk ke dalam karena kondisi pasien juga belum stabil. Mbak lurus saja, nanti ada tulisan ICCU disana".
Setelah mengucapkan terima kasih, Ara bergegas menuju ruangan yang ditunjukkan oleh perawat. Ragu, Ara mengintip dari kaca di pintu kamar itu. Terlihat laki-laki di mimpinya itu sedang tertidur dalam posisi duduk di sebelah orang yang berbaring belum sadarkan diri itu yang ia dengar bernama Rion. Laki-laki asing itu menghadap laptop dengan berkas-berkas dokumen ditangannya. Wajahnya terlihat sangat lelah dan sedikit pucat. Ara memandanginya beberapa saat. Entah apa namanya rasa peduli yang dirasakannya saat itu.
Ara pun bergegas kembali ke tempat jaga perawat tadi. Ia menanyakan apakah benar Rion memerlukan pendonor darah. Setelah memastikannya, ia pun menyampaikan keinginan dia untuk mendonorkan darahnya buat Rion karena ia sama-sama berdarah AB.
"Mbak temannya Mas Rion?" tanya perawat itu.
"Bukan Suster, saya teman dari teman Rion yang sekarang sedang menjaga Rion di dalam ICCU. Dari dia saya tahu kalau Rion perlu pendonor darah tambahan".
"Oh begitu, ya sudah kalau begitu langsung saya antar Mbak untuk pemeriksaan pendonor. Kita langsung ke ruang transfusi saja," sambung perawat itu lagi.
"Oh ya, Suster.. kalau boleh saya titip makanan ini buat sarapan teman Rion karena saya tidak bisa masuk kesana," pinta Ara disertai anggukan tak keberatan dari perawat tersebut. Ara pun kemudian bergegas ke ruang transfusi. Ara memutuskan memberikan bekal makanannya untuk laki-laki di mimpinya itu. Ia merasa laki-laki itu memerlukannya.
Pengambilan darah Ara untuk didonorkan buat Rion pun berjalan lancar dan relatif cepat. Selepas itu, Ara pun bergegas menuju kantornya yang tak jauh dari rumah sakit itu. Hati Ara sudah terasa lebih lega, setidaknya ia sudah melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk laki-laki di mimpinya itu. "Aku harap kamu bisa sedikit tersenyum, penyuka Bintang Kecil," ujar Ara lirih seraya tersenyum.
Sementara itu, di ruang ICCU, Bintang masih terlelap ketika ia lagi-lagi melihat perempuan asing itu di mimpinya. Perempuan itu memandanginya dengan tersenyum meski terlihat guratan khawatir di wajah sederhana itu. "Kamu jangan bersedih lagi ya. Teman kamu insyaa Allah kuat dan akan membaik segera. Jangan abaikan kesehatan kamu, ya," ujarnya lirih memandang Bintang sejenak lalu pergi. Bintang pun terbangun ketika seorang perawat membuka pintu ruangan itu. Bintang tersadar bahwa dirinya tertidur selepas fajar terbit, hampir 2 jam. Bintang mengamati Rion yang masih tak kunjung sadar meski nafas Rion cukup teratur. Bintang sengaja izin ke kantor agak siang menunggu sampai papa dan mama Rion datang.
Terlihat perawat memeriksa kondisi Rion. "Meski belum sadar, sepertinya kondisi Mas Rion lumayan stabil," ucap perawat itu kepada Bintang. Bintang tersenyum. Bintang kemudian mengamati kantong darah disamping Rion yang sisa sepertiga lagi dan raut Bintang kembali terlihat khawatir. "Oh ya, Sus saya belum berhasil mendapatkan pendonor untuk berjaga-jaga jika Rion masih memerlukan tambahan darah lagi. Apa ada kabar dari PMI mungkin, Sus, terkait stok darah AB?" tanya Bintang kembali diliputi rasa khawatir.
"Belum ada kabar dari PMI tapi tadi ada teman Mas yang datang dan mendonorkan darahnya buat Mas Rion. Insyaa Allah darahnya cukup".
"Teman saya, Sus?" tanya Bintang heran karena dari semua yang dihubunginya, mereka tidak ada yang berdarah AB.
"Iya, perempuan, namanya Ara. Katanya Mas memberitahu dia bahwa Mas perlu pendonor darah buat Mas Rion".
"Ara?" ucap Bintang seraya berusaha mengingat-ingat. Tak ada orang yang dikenalnya bernama Ara. Teman Rion pun tak pernah terdengar ada yang bernama Ara sepengetahuan Bintang. Tiba-tiba bayangan perempuan asing itu terlintas di pikiran Bintang. "Apa mungkin dia? Hmmm, nggak..., mana mungkin dia...," elak Bintang di dalam hati.
"Oh ya, Mbak Ara juga menitipkan makanan ini, buat Mas sarapan katanya," sambung perawat sambil menyerahkan kotak makan ke Bintang. Bintang memandangi kotak makanan sederhana di tangannya itu. "Oh iya, apa dia sudah lama meninggalkan rumah sakit?" tanya Bintang lagi.
"Tadi waktu saya antarkan dia ke ruang pemeriksaan pendonor, dia bilang bahwa dia sengaja datang pagi-pagi menyempatkan diri sebelum berangkat kerja, mungkin dia sudah pergi sekitar 15 menit yang lalu, Mas".
Setelah Bintang mengucapkan terima kasih, perawat itu pun pergi.
"Alhamdulillah Rion, akhirnya kamu dapat juga pendonor meski aku belum tahu pasti siapa dia," ujar Bintang tersenyum lebar kearah Rion yang masih terpejam, "Kamu musti berusaha buat cepat sembuh ya". Beban di hati dan pikiran Bintang sedikit berkurang, ia merasa bisa bernafas sedikit lega. Mata Bintang kembali tertuju ke kotak makanan dari seseorang bernama Ara tadi ketika Bintang kemudian membukanya. Ada dua potong roti berisi selai coklat didalam kotak itu. Tiba-tiba Bintang teringat dengan bekal sekolahnya dulu saat ia sedang kelas 6 SD dan ada les tambahan menjelang ujian. Tiap kali ibunya membawakan bekal roti, ia hanya mau roti tawar dan selai coklat saja sampai-sampai suatu ketika selai coklat habis. Bintang yang tetap setia dengan roti tawar dan coklat, tetap meminta bekal roti tawar. Sebagai pengganti selai coklat, akhirnya Bintang membeli coklat batangan dan memakan rotinya dengan menyelipkan coklat batangan kedalamnya. Bintang pun tersenyum geli mengingat hal itu. Bintang kemudian membuka lipatan kertas yang tertempel ditutup kotak makanan itu.
"Meski cuma roti, tolong dimakan dan dihabiskan ya, Penyuka Bintang Kecil. Anggap saja sebagai pengganjal lapar sementara".
Bintang tertegun untuk sejenak. Ternyata dugaan selintas lalunya tadi adalah benar. Ara adalah perempuan asing yang muncul didalam mimpinya beberapa kali akhir-akhir ini sekaligus orang yang menyanyikan lagu Bintang Kecil untuknya dan suaranya ia rekam dan dengarkan berulang akhir-akhir ini. Bintang tak pernah menyangka mimpi-mimpi anehnya itu ternyata bukan sekedar bunga tidur, melainkan menghubungkan dirinya dan Ara dalam dunia nyata. Suara Ara di mimpi Bintang yang menenangkannya tadi pagi kembali terdengar jelas oleh Bintang. Bintang baru menyadari maksud mimpinya itu.
"Siapa kamu sebenarnya, Ara? Kenapa kamu bisa hadir dalam mimpi-mimpi dan hidup aku dengan cara yang tidak biasa? Kenapa kamu datang menemani aku dalam sunyi ini?" tanya Bintang. Tiba-tiba saja Bintang merasa bersalah saat ia teringat dirinya buru-buru meninggalkan Ara saat mereka bertemu di taman dekat danau hari Minggu kemarin.
"Aku harus menemui Ara. Aku harus berterima kasih padanya. Aku harus mencarinya...," ujar Bintang dalam hati seraya menghabiskan roti tawar selai coklat dari Ara dengan lahap.

~ Bersambung ~

Konstelasi Hati BINTANG Buat ARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang