Surat Cinta #5

1.2K 31 3
                                    

Ibu...,

Maafkan aku bu.
Maafkan aku bu.
Maafkan aku.
Aku memang anak yang durhaka.

Pasti ibu kaget kan dengan apa yang aku ucapkan?
Pasti ibu merasa aneh kan dengan semua ucapan itu?

Tidak mengapa bu. Ibu pantas merasa kaget dan keheranan dengan apa yang aku katakan barusan. Karena memang sebelumnya kata-kata seperti itu tak pernah keluar dari bibirku.

Hari ini, aku merasa berdosa sekali. Harusnya, kata-kata seperti itu aku ucapkan di hadapanmu langsung sambil bersimpuh atau dengan mencium tanganmu yang suci. Bukan justru melalui surat ini.

Bu, aku baru menyadari hari ini. Bahwa aku adalah anakmu. Yang keluar dari rahimmu dengan pertaruhan nyawamu sendiri. Bukan. Bukan berarti kemarin aku tidak mengakuimu sebagai ibuku.

Tapi, hari ini aku menyadarinya dengan keutuhan hati.

Mungkin, ibu bertanya-tanya dalam hati. Apa gerangan yang membuat anakmu ini menjadi aneh. Tidak mengapa bu. Aku akan dengan senang hati menjelaskannya.

Begini bu:

Hari ini, temanku yang juga sedang berada jauh dari tanah kelahirannya. Jauh dari orang tuanya sedang bersedih. Bahkan, aku melihat di sudut matanya ada linangan bening air mata. Lantas, sebagai teman tentu saja aku berniat untuk menghiburnya. Karena dugaanku pasti karena masalah cinta.

"Kau kenapa?" Tanyaku.

Dia hanya menggeleng. Itu tidak seperti biasanya. Dia selalu terbuka denganku.

"Kau kenapa? Masalah cinta lagi? Mulai kapan kau menjadi cengeng hanya karena cinta?" Kembali aku bertanya dengan sedikit meledeknya.

"Tidak. Bukan karena itu." Jawabnya dengan suara lemah.

"Lantas, kenapa kau bersedih?"

Di hanya diam tak menanggapi.

Aku menatapnya serius. Menunggu jawaban.

"Sudah beberapa hari ini, aku tidak mendengar kabar dari orang tuaku. Di SMS tidak ada balasan di telepon pun tidak aktif." Tuturnya tetap dengan nada yang lemah.

"Hahaha..." Aku tertawa mendengar jawabannya. "Aku kira masalah apa. Dasar anak mamah, baru beberapa hari saja tidak mendapat kabar dan tidak mendengar suaranya saja sudah sedih. Kau ini laki-laki, tidak perlu lah berlebihan seperti itu!" Ledekku.

Dia menatapku tajam. Itu membuatku sedikit kikuk.

"Terserah kau mau berkata apa." Tukasnya dengan malas.

Aku diam.

"Kau menyebut aku anak mamah atau anak manja sekalipun aku tidak peduli." Tambahnya lagi dengan nada yang serius.

Lagi-lagi aku tidak menanggapinya. Karena aku tahu tidak ada gunanya.

Dia mengusap air mata di sudut matanya.

"Bagiku, ibuku tetaplah ibuku. Sekalipun aku telah tumbuh dewasa atau bahkan mungkin saat aku telah menjadi orang tua aku tetaplah seorang anak bagi ibuku. Maka, aku wajib tahu kabar orang tuaku terutama ibu. Aku harus memastikan bahwa ibuku selalu sehat dan selalu baik-baik saja. Untuk saat ini, mungkin aku belum bisa membahagiakan mereka. Tapi, seperti anak-anak yang lain, semua anak pasti bercita-cita untuk membahagiakan orang tuanya. Meskipun orang tua tak menuntut untuk itu. Bagi mereka, melihat anaknya sudah bahagia saja mereka sudah senang. Tidak mengapa jika orang mengatakan bahwa aku anak yang manja meskipun telah bertumbuh dewasa. Karena memang begitu adanya. Aku bisa saja menjadi dewasa dan bersikap tegas jika berhadapan dengan orang lain. Tapi dengan ibu, aku tidak bisa. Tetap saja aku hanyalah anaknya yang manja. Maka, sangat penting bagiku untuk sekedar mendengar suaranya, mengetahui kabarnya. Untuk memastikan bahwa orang tuaku baik-baik saja... ." Dia menghentikan sejenak kata-katanya untuk sekedar menarik nafas panjang.

Surat Cinta Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang