Surat Cinta #3

3K 44 6
                                    

Ibu...,

Hari ini, untuk pertama kalinya hujan turun di tempatku berada. Apakah disana juga hujan bu?

Saat menuliskan surat ini, aku sedang berada di dekat jendela. Menatap ribuan tetes air hujan yang jatuh ke bumi. Seperti kebiasaan yang pernah kita lakukan dulu. Saat hujan sore menjelang, ibu sering mengajakku menikmati tetesan-tetesan air yang jatuh dari langit itu melalui jendela. Meski kadang embun kerap menghalangi pandangan kita namun ibu selalu saja menatap dari balik jendela. Ibu selalu saja menyelipkan cerita-cerita atau pesan-pesan yang bahkan saat ini masih ku ingat. Meski ceritamu sangatlah sederhana namun dibalik itu semua selalu tersirat pesan yang amat mendalam bagiku.

Suatu hari, saat aku masih menjadi anak kecil ibu yang nakal, ibu pernah bercerita bagaimana terjadinya hujan.

"Nak, kamu mau tahu bagaimana proses terjadinya hujan?" Tanyamu.

Aku yang sebenarnya sudah tahu bagaimana proses hujan itu terjadi sebab pernah diajarkan di sekolah tetap mengangguk. Karena aku tahu ibu tidak sekedar menjelaskan bagaimana proses terjadinya hujan seperti yang diajarkan di sekolah. Bagiku, selalu ada yang istimewa dari setiap ceritamu.

Melihatku mengangguk, engkau pun tersenyum. Engkau menarik perlahan kepalaku agar rebah di bahumu.

Saat itu, engkau mulai bercerita bagaimana proses hujan itu bisa terjadi. Tidak jauh berbeda dari apa yang diajarkan di sekolah. Engkau menjelaskannya sampai usai. Tapi, ceritamu tak habis sampai disana.

"Nak, engkau harus banyak belajar dari hujan!" Katamu dengan lembut.

Aku yang masih terlalu polos hanya mendongakkan kepala menatapmu dengan kebingungan.

"Engkau tahu nak, bahwa hujan itu adalah air yang juga berasal dari bumi. Entah itu dari laut, danau, sungai dan sumber air lainnya yang mengalami penguapan akibat sinar matahari. Lalu air itu akan bergumul di langit bersama awan sebelum akhirnya jatuh kembali ke bumi...." Engkau menghentikan sejenak ceritamu dan membiarkan aku meresapi setiap penjelasanmu.

"Saat ini, engkau seumpama air yang berada di bumi. Kelak kamu akan mengalami proses sebagaimana air menguap oleh cahaya matahari. Dan proses itu tidak akan mudah kamu jalani. Air akan menguap jika ia mengalami pemanasan oleh cahaya matahari. Dan kamu, kamu harus mengalami proses yang juga tidak mudah. Perjalananmu tidak akan mudah dalam mengarungi kehidupan. Namun, jika kamu bisa melewati semua prosesnya kamu akan mampu berada di atas sebagaimana air yang tadinya berada di bumi telah berada di langit karena proses. Tapi, saat kamu berada di atas jangan pernah lupa akan asalmu. Jangan pernah lupa darimana kamu berasal. Karena, suatu saat nanti kamu akan kembali kemana kamu berasal. Entah itu dengan terpaksa atau dengan kesadaran sendiri. Suatu saat nanti, kamu akan pergi jauh dari tempat asalmu. Merantau. Entah itu untuk menuntut ilmu, bekerja, atau keperluan lainnya. Itu akan menjadi bagian dari proses hidupmu. Disana kamu akan bisa melihat dunia lebih luas lagi sebagaimana air yang berada di langit bisa menatap bumi lebih luas lagi. Namun, kamu jangan pernah lupa pada tempat dimana saat ini berada. Sebab, disinilah asalmu jadi jangan pernah sekalipun kamu lupa pada tempat asalmu. Jika pun suatu saat nanti kamu harus tinggal di tempat yang baru namun bukan berarti kamu harus melupakan tempat asalmu. Tengoklah tempat asalmu, tengoklah ibumu yang mungkin saat itu telah renta. Sebagaimana bumi yang selalu merindukan air hujan, ibu pun akan selalu merindukan kehadiranmu... ." Saat itu engaku mulai terisak. Satu dua tetes air matamu mulai jatuh.

Aku yang masih terlalu belia belum mampu memahami setiap ceritamu. Namun, engaku menatapmu dengan lembut dan berusaha tersenyum meski dipaksakan. Aku masih dalam kebingungan.

"Saat ini, kamu tidak harus mengerti dengan apa yang ibu ceritakan. Cukup dengan mengingatnya saja. Kelak, kamu akan mengerti sendiri makna dari cerita ibu." Tambahmu dengan senyum yang engkau paksakan.

Surat Cinta Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang