Surat Cinta #10

2.1K 42 11
                                    

Ibu...

Mungkin, surat ini akan kuakhiri sampai disini.

Bukan. Bukan karena aku malas untuk melanjutkannya lagi. Bukan pula karena aku telah kehabisan cerita indah bersamamu. Bukan karena aku telah kehabisan teladan darimu. Bukan karena aku telah kehabisan topik yang bisa di bahas dalam surat ini. Bukan itu semua.

Jujur saja. Masih banyak cerita bahagia yang belum aku ceritakan disini. Masih banyak cerita haru yang belum aku ungkapkan. Dan kalau saja aku ingin mengungkapkan semuanya, aku takut surat ini tak kan pernah ada ujungnya. Yang lebih aku khawatirkan lagi justru aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan semuanya.

Lebih dari itu, semakin banyak cerita yang kutulis. Semakin banyak mengenang semua kenangan yang pernah terlewati. Semakin membuatku bersedih. Semakin membuatku terharu.

Banyak nasihat yang telah kau berikan namun banyak pula yang aku langgar.
Banyak pelajaran hidup yang telah kau ajarkan namun banyak yang tak bisa ku amalkan.
Banyak teladan yang telah contohkan namun banyak yang tak bisa aku tirukan.

Disamping itu, banyak pula kekecewaan yang aku berikan kepadamu.
Banyak aib yang aku berikan kepadamu.
Banyak kedurhakaan yang aku lakukan padamu.

Namun, belum sempat aku memohon maaf padamu. Aku yang terlalu angkuh. Aku yang terlalu egois. Atau aku yang selalu memaksakan kehendakku.

Hingga sering aku menggores hatimu. Membuat matamu basah oleh linangan air mata kekecewaan. Membuatmu lebih sering mengelus dada karena menahan amarah. Tapi, bibirmu selalu lirih dengan doa-doa kebaikan. Bukan dengan makian atau umpatan atau mungkin kutukan.

Sekali lagi, aku hendak mengakhiri surat ini. Sebab, aku menyadari yang aku butuhkan sekarang bukan pena untuk menulis surat. Melainkan waktu untuk bisa berada di sampingmu. Menemani hari-hari tuamu. Dan, aku pun tahu bahwa yang engkau inginkan bukan sekedar surat-surat bisuku melainkan kehadiranku. Iya kan bu?

Doakan bu! Doakanlah anakmu ini agar waktu bisa bersahabat untuk mempertemukan kita. Mengumpulkan kita kembali. Agar aku bisa berbakti sebagaimana mestinya seorang anak berbakti pada orang tua.

Baiklah, sebelum aku benar-benar mengakhiri surat ini, aku ingin menutupnya dengan sebuah harapan.

Bu, anakmu sekarang sudah besar meskipun masih jauh dari kata dewasa. Namun, sedikit banyak telah aku petik pelajaran dari perjalanan hidup yang panjang ini. Dalam proses hidup yang aku jalani, telah kutemukan makna dari sebagian kata-katamu. Telah kutemukan sebagian hikmah dari nasihat-nasihatmu. Dan telah ku rasakan keajaiban doa-doamu.

Benar memang bu, tak ada yang mudah dengan kehidupan. Tapi akan lebih tidak mudah lagi jika hidup jauh darimu. Jauh dari keberkahan. Jauh dari doa-doamu.

Bu, percayalah peluh yang nampak di keningmu akan selalu teringat di kedalaman hatiku.
Gurat-gurat kebahagiaan dan keharuanmu senantiasa tertanam di sanubari.
Nasihat-nasihat, teladan dan ketulusanmu akan senantiasa mengakar di hati dan pikiranku.

Bu, kini anakmu telah tumbuh dan bukan lagi seorang kanak-kanak yang selalu merengek. Walaupun memang masih jauh dari kata dewasa.

Sebab, seperti katamu bahwa pendewasaan itu bersifat fleksibel. Tidak ada ukuran untuk kedewasaan. Pendewasaan adalah proses sepanjang usia.

Seperti yang aku utarakan sebelumnya bahwa aku ingin menutup surat ini dengan sebuah harapan.

Bu, sebagaimana selayaknya seorang anak yang telah tumbuh dalam kematangan usia, maka akan ada masanya seseorang itu mencari teman hidup. Yang akan menemani hari-harinya dalam satu atap. Menjadi teman berbagi suka duka. Menjadi sahabat dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Itu pula lah yang pasti terjadi padaku.

Dan inilah harapanku, bu.

Aku selalu berharap pada Yang Maha Kuasa agar berkenan memberikanku jodoh yang sepertimu.

Aku ingin pendampingku kelak adalah seseorang yang mengutamakan cinta dan kasih dalam setiap kehidupannya. Bukan dengan sekedar materi yang bersifat keduniaan.
Seorang pendamping yang bisa mendidik anaknya dengan kasih sayang dan ketulusan dan bukan dengan kemarahan apalagi menakut-nakuti.
Seorang pendamping yang bisa menyayangiku dengan penuh perhatian dan keikhlasan sebagaimana ibu mencintai ayah.
Seorang pendamping yang selalu saling mengerti dan bukan hanya ingin di mengerti.
Seorang pendamping yang dengan melihat wajahnya selalu terlihat seulas senyum yang selalu membuatku rindu berada di rumah dan diapun selalu menantikanku untuk berada di rumah sebagaimana engkau yang selalu menunggu kepulangan ayah di balik daun jendela.
Seorang pendamping yang bukan hanya istri bagi diriku dan ibu bagi anak-anakku namun menjadi teman bagiku dan sahabat bagi anak-anakku.
Seorang pendamping yang selalu punya cara untuk saling membahagiakan.
Seorang pendamping yang menjadi orang yang memiliki segudang kesabaran dan segunung kasih sayang dalam membesarkan seorang anak.
Seorang pendamping yang bisa mewariskan kasih sayang pada anaknya dan membuat seorang anak merindukan sosoknya.

Apakah boleh bu jika aku berharap demikian? Apakah itu terlalu berlebihan?

Aku tahu engkau akan menjawab dengan tegas TIDAK.

Dan aku melupakan satu hal. Bukankah dulu aku pernah mengutarakan hal ini? Bukankah aku pernah mengatakan bahwa aku ingin memiliki pendamping yang memiliki sifat sepertimu.

Dan engkau mengatakan hal ini :

"Harapanmu tidak salah,nak. Boleh saja berharap seperti itu. Namun ketahuilah jika kamu memiliki kriteria yang banyak dalam memilih seorang pendamping maka tak kan pernah kau temukan orang yang tepat bahkan sampai akhir hayatmu. Kenapa? Karena semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Termasuk juga dirimu yang memiliki kekurangan dan kelebihan. Jika kamu hendak menginginkan seorang pendamping yang seperri ibu, maka kamu pun harus bisa menjadi seperti Ayah. Begitulah. Jangan mengharapkan pendamping yang seperti ibu. Tapi berharaplah mendapatkan pendamping yang akan melengkapi kekuranganmu. Bukankah dirimu adalah cerminan dari diri Ibu? Pada tubuhmu mengalir kasih sayang ibu, pada dirimu mengalir ketulusan ibu, dan sebagian dirimu adalah cerminan ibu. Maka, esok kamu tidak perlu lagi mengharapkan seorang pendamping yang seperti ibu. Kecuali kalau kamu bisa menjadi seperti ayah. " Begitulah katamu yang di akhiri dengan sebuah senyum yang sampai sekarang menjadi sesuatu bagian yang kurindukan darimu.

Ah, kenapa aku sampai lupa akan percakapan itu. Mungkin, suatu saat aku juga harus membuka memori otakku tumbuh bersama ayah. Agar aku juga bisa belajar menjadi sepertinya. Setidaknya belajar keteladannya.

Bu, surat ini akan segera berakhir. Doakan saja anakmu disini dalam keadaan baik-baik saja. Sebagaimana aku berharap keadaanmu selalu lebih baik dariku.

Doakan pula agar saat aku pulang nanti, aku bisa memperkenalkan seseorang yang akan melengkapi hidupku.hehe

Perempuan kedua yang aku cintai setelah dirimu.
Perempuan yang akan selalu kurindukan sebagaimana aku selalu merindukan berada disampingmu.

Baiklah bu, sepertinya memang suratku harus segera berakhir.

Tunggulah kepulanganku. Doakanlah selalu anakmu ini.

Maafkan jika surat-suratku membuatmu tersinggung.
Maafkan jika surat-suratku membuatmu bersedih karena itu juga yang aku rasakan.
Maafkan jika surat-suratku membuatmu semakin merindukan anakmu yang nakal ini. Sebagaimana aku selalu merindukan berada disampingmu.

Malaikatku....

Surat Cinta Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang