Dionisius. Walaupun pelafalannya mirip, bukan berarti aku berkerabat dekat dengan vertebrata setinggi 16 meter yang sekarang sudah menjadi fosil. Bicara soal fosil, adalah saat yang tepat untuk mengkhawatirkan nasib mereka-lebih tepatnya nasib kita. Tak ada yang tahu berapa lama lagi benzena aromatik hasil destilasi bertingkat yang memabukkan itu akan bertahan. Dan aku tak mengerti bagaimana cairan tengik menjadi tren di kalangan remaja kurang endorfin. Artinya, bensin tak lagi menjadi candu bagi mesin rongsokan yang tengah kusetir ini.
Kuputar knob volume radio demi melantunkan musik lounge keras-keras. Rutinitasku kembali lahir di tengah gurun kendaraan yang penuh fatamorgana ini. Kenyataan payah, membuatku pasrah. Asap karbon serupa ular yang meliuk-liuk di padang pasir, siap membius paru-paruku dengan bisanya. Paparan ini tak akan berhenti hingga dua jam ke depan. Dan musik adalah satu-satunya penawar racun termurah yang kumiliki.
Aku heran bagaimana pertumbuhan manusia bisa berbanding terbalik dengan apa yang bisa disediakan alam. Di saat dunia sekarat dan sumber daya tercekik, populasi kian meledak. Jangan-jangan tekanan membuat birahi naik sebagai kompensasi psikologis. Aku tertawa sendiri memikirkan hal itu. Ironis betul.
Setelah parkir, aku melangkah menuju rimba kepenatan. Kuyakin tak ada pekerjaan yang lebih menyedihkan daripada staf teknisi perusahaan minyak bumi yang hampir bangkrut. Mungkin bulan depan aku perlu mencari interview baru.
"Kau yakin akan resign?" Ben menyambutku di pintu kantor. Teman SMA-ku itu terlampaui polos, berpikir bahwa tawaran pekerjaan sudah kukantongi. Aku mengedikkan bahu malas dan duduk begitu saja di bilik kerjaku yang awut-awutan.
"Pak Gilbert baru saja membeli paten penelitian. Aku yakin ini adalah taruhan terakhirnya."
Mendengar penuturan Ben aku jadi berpikir, kepala Pak Gilbert pastilah sangat keras agar bisa bertahan di dunia bisnis yang rapuh seperti gelembung sabun ini.
Tapi sekarang aku terpaksa kagum atas kegigihan pria paruh baya itu. Dalam tempo dua bulan, perusahaan ini disulap. Nama usang diganti menjadi Neo-Power. Cukup futuristik, pikirku. Gelembung sabun telah menjadi sebuah bola baja.
"Kau tahu, ibuku yang menderita alzheimer tiba-tiba menghilang dari rumah sakit," tutur Ben suatu hari ketika kami menikmati jam makan siang di kantin. Aku menggigit apel sambil melihat ke arah wanita berjas putih yang sedang makan di seberang sana. Sampai tangan Ben bergoyang di depan mataku.
"Kau mengacuhkanku, sialan!" Ben mencari tahu apa yang sedang kuamati dan segera tersenyum nakal saat mengetahuinya. "Dasar dinosaurus mata keranjang. Tapi seleramu bagus juga. Dia Anya, staf laboratorium."
Aku segera fokus pada piringku. Wanita itu tiba-tiba menoleh dan menemukan mataku. Dia terlihat menakutkan dengan sorot mata setajam elang.
*
Keesokan harinya Ben berlari ke mejaku dengan wajah panik. Si Cupu berkacamata bundar itu mengeluarkan gumpalan kertas lecek dari saku celana. Aku curiga dia memungutnya dari sampah. "K-kau harus lihat ini!"
Mataku membelalak walaupun tak lebih lebar dari dua-pertiga senti.
"Dari mana kau dapat surat ini?!" Wajah pria itu memutih. Aku jadi berpikir nada bicaraku barusan terlalu tinggi. "I-itu kutemukan terjatuh dari map asisten Pak Gilbert seusai rapat."
Aku menarik napas dalam-dalam. Ini buruk. Bukan hanya isi surat itu yang membuatku syok. Cara Ben mendapatkannya lebih berpotensi membuat jantungku berhenti. Mereka pasti akan mencarinya.
Berkat ketidakwajaran tersebut, aku yang semula ogah-ogahan meladeni Ben pun jadi tergugah. Yang perlu kami cari tahu sekarang adalah mengapa setiap aku pulang tengah malam, selalu ada truk misterius yang membawa muatan ke perusahaan ini? Apa yang mereka bawa di dalam kantung plastik hitam itu? Aku tak tahu banyak soal gudang penyimpanan dan laboratorium. Kecuali jika mau hak kerjaku dicabut, aku akan berani masuk ke ruangan berlabel do not enter itu. Tapi surat itu senantiasa berteriak memaksa benakku untuk selalu berpikir bahwa ada yang salah dengan Neo-Power.
Kami berdua sedang bersembunyi di balik semak dekat gudang. "Ada ide untuk masuk tanpa tertangkap dua pria itu?" tanyaku, berharap otak cerdik Ben bisa membantu. Ben tersenyum licik saat mengeluarkan dua benda yang mirip alat cukur. "Let's play with a voltage!"
Aku memilih untuk mengandalkan sisa ilmu bela diri yang kumiliki daripada harus mengambil risiko dengan alat ciptaan Ben. Adrenalinku melambung ketika memasang penutup wajah. Sekarang kami sudah seperti teroris nekat bersenjata pisau cukur.
Dalam hitungan tiga, kami meloncat dari semak dan melesat seperti ninja. Namun belum selesai aku mengunci dan menghabisi seorang penjaga, Ben sudah berteriak kesetanan. Aku melotot karena melihatnya kelojotan di tanah. Sial! Kenapa dia menciptakan senjata yang malah memakan tuannya sendiri?
Lengah, tengkukku tiba-tiba terbentur benda keras. Penglihatanku kabur dan tubuhku kehilangan kontrol keseimbangan. Dengan napas memberat, aku pingsan.
*
Samar-samar bau rokok menyengat hidungku. Aku terbatuk seiring kesadaranku kian memulih. Aku kira sudah pagi, ternyata ruangan ini memang serbaputih dan membuat mataku ngilu melihatnya.
"Rupanya kalian, tikus-tikus yang menyelinap di kantorku setiap malam?" Aku terkejut mendengar suara yang kukenal. Pak Gilbert memutar leher kursi seraya mengembuskan asap rokok dari balik kumis tebalnya. "Jangan salahkan aku bila kalian harus masuk ke krematorium."
Kulihat Ben telah dibopong paksa oleh pria bertampang bengis. Sementara pria lain yang bertubuh kekar mendorongku untuk terus berjalan menuju ruangan yang menyala merah. Panas teradiasikan ke tubuhku dari jarak dua meter. Aku yakin krematorium beranalog dengan neraka. Aku meronta, mencoba berteriak, hingga kusadari bahwa tubuhku ditali dan disekap.
Tiba-tiba dari arah belakang, peluru berdesing berkali-kali membuat keadaan makin buruk. Aku tak yakin apa yang terjadi dalam lima detik ini, yang jelas asap hitam segera memenuhi ruangan. Seluruh orang terbatuk-batuk. Aku makin panik karena kehabisan napas dan tak bisa melihat apa-apa. Di saat yang sama, sebuah lengan menarikku keluar dari tempat itu.
*
Di area yang cukup aman, sosok berpakaian hitam membuka topengnya. Jujur aku belum siap untuk mengetahui bahwa penyelamatku adalah Anya, si mata elang.
"Kalian harus membantuku," ucapnya singkat.
Dahiku mengernyit. "Bisakah kau menjelaskan, sebelum meminta sesuatu?"
"Dua huruf tersembunyi di dalam Neo-Power," tutur Anya, membuatku makin bingung, "c dan r, Necro-Power-pembangkit bertenaga mayat. Dan saat mayat tak lagi cukup, manusia hidup pun dihalalkan dengan dalih penekanan laju penduduk."
Mulutku menganga. Ben segera meremas rambut ikalnya. "Surat keterangan dokter psikiatri dan forensik itu..., ibuku...." Aku bisa melihat matanya berkaca-kaca.
"Aku tak tahan melihat kebobrokan Gilbert," wajah Anya mengeras, "kita harus segera bertindak." Mata elangnya berhasil mencengkeram seluruh keyakinanku. Bulu kudukku meremang. Menyadari bahwa ini adalah sebuah permulaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mini Challenge
Ciencia FicciónProject 0 "November Spirit!" 1 November 2015 - 21 November 2015 CHALLENGE HAS CLOSED! Selamat bagi para pemenang. rank #11 on science fiction! (4/12/2015)