Gravitasi dan Tragedi

237 20 63
                                    

Aku Yoan ***m.

Umurku kepala tiga tahun ini.

Aku menemukan keseimbangan antara gravitasi dan

Sayang. Penemuanku telah membuatku jadi target.

※◎※◎※

"Sebuah energi yang akan menopang dunia selama mungkin." Para audience mulai saling berbisik. Gagasan itu konyol dan diluar logika. Apapun itu, bagi mereka hanyalah ekspektasi yang keterlaluan. Bahkan para audience mulai mengumpat liar.

"Apa maksudmu?! Mana ada hal yang macam itu!" Mereka bersorak-riuh, tidak terima pada sebuah penemuan yang menjelma jadi penghinaan besar pada ilmu pengetahuan dalam otak mereka yang terlalu waras.

Tidak peduli. Itulah yang kutunjukkan. Aku tidak peduli dengan apapun umpatan yang terdengar, hanya sekedar angin lewat. Jadi kuputuskan untuk berjalan ke arah podium kecil yang diatasnya telah ditutupi selembar kain putih. Terdengar mereka mulai memaki ketika para dosen pengajar terlihat mencibir dari kejauhan, dari balik kaca satu arah, mereka meragukan orang lain. Aku.

Perlahan mataku mengatup, aku menyiapkan mentalku dengan menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Sekarang aku lebih dari siap. Dengan hati-hati aku menggunakan kedua tangan guna menarik kain penutupnya. Memperlihatkan sebuah bola berpola heksagonal yang berkilau, membiaskan lampu proyektor tiga dimensi selayaknya cermin menangkap bayangan. Semua orang tercengang dan bungkam. Aku memutarnya dengan sebelah tangan, mataku berbinar senang ketika itu berputar dengan tumpuan satu sudutnya. Tidak berhenti.

"Dengan keseimbangan antara berat dan gravitasi bumi kita akan mendapatkan tenaga yang setara ribuan turbin air, lima reaktor nuklir. Tapi, yang paling penting, ramah lingkungan dan tidak menyebabkan radiasi."

※◎※◎※

Udaranya seakan penuh sesak, menjejal dengan arogan kedalam bilik alveolus paruku yang tertimpa beban lari berlebih. Rasanya seperti terbakar. Tubuhku memang terlihat rapuh. Tapi, dapat berlari sejauh ini adalah sebuah berkah. Bersyukur karena program lari harianku menjadi amat berguna. Saat ini.

Sekarang langkahku sudah melampaui deretan gedung bekas perang. Hamparan hijau lumut yang sewarna mataku terlihat dari ujung ke ujung. Bencana bagiku. Tapi, aku tetap berlari. Ini tidak boleh menghentikanku apalagi... ini ada dalam gengaman. Aku akan melindunginya.

Berlari dengan hati-hati. Setiap kali melirik ke balik bahu, setiap kali itu juga aku hampir terjerembab masuk kedalam kubangan yang mendominasi lajur pelarianku. Bisa saja itu mengotori kemeja, membuatnya jadi lusuh, seakan aku anak nakal yang tidak mematuhi ibunya.

Apakah aku anak nakal, bu?

Aku tidak melihat mereka. Tapi, mendengar mereka. Suara air beriak yang mereka hasilkan saat aku mencapai sisi lain bukit. Bertepatan pula dengan terlihatnya pepohonan yang kucari, yang membatasi sebuah tempat tujuan. Aku berlari. Semangatku tinggi. Hingga aku terpeleset ketika menuruni lereng licin, merosot kebawah. Kelembah dari bukit itu.

Sial! Mereka pasti mendengarku!

Aku mengumpat skeptis ketika bangkit dengan pakaian dan rambut darkku yang basah kuyup.

"Itu dia!" Aku sontak berbalik. Tergesa-gesa berlari ketika menyadari yang berteriak itu salah satu dari mereka. Pengejarku. Impianku tidak lagi besar. Aku ingin selamat.

. . . .

Aku berhasil sampai di sisi lain kanopi hutan. Tempat dimana penglihatanku bersih dari pepohonan dan menyisakan view dari danau tempat tujuan.

Senyum hampir mengembang seperti sayap disaat sesuatu yang panas dan membakar bersarang di punggungku. Seketika napasku memburu. Kekuatanku terhisap dalam seper kedipan mata. Namun, sebuah kekuatan muncul seperti pernah ada sebelumnya. Aku berjalan tergopoh-gopoh. Tumitku memberontak untuk melangkah lebih jauh tapi, aku belum mau menyerah. Belum ingin mati dulu. Aku memegangnya lebih erat didalam genggaman. Tidak sekarang. Tidak ketika aku hampir berhasil.

Aku mendengar mereka berjalan melewati semak belukar tanaman Nightsade dengan kasar. Semakin mempersingkat jarak kami. Kesadaranku perlahan mulai buyar. Pemandangan di sekitar mendadak terlihat seakan melihat saluran televisi jelek, atau mungkin spesifikasinya sama saat kehilangan kacamata minus tujuhmu. Sulit dipercaya aku benar-benar hilang keseimbangan. Jatuh keatas rumput dan tanah gambut seperti manekin mati. Aku dapat merasakannya. Titik-titik air dari danau menyentuh kulitku dalam sentuhan impuls. Di posisiku yang jatuh telungkup aku dapat mendongak dan melihatnya. Hekasagon ada dalam jarak raih.
Tanganku berusaha menggapainya ketika sebuah tendangan bersarang di ginjal kiriku. Membalik posisi tubuh menjadi telentang menghadap awan yang semakin suram.

Aku mendengarnya. Sementara angin berdesir deras melewati celah pepohonan. Mereka tertawa. Tawa yang penuh penghujatan meluncur seperti mereka tidak punya nurani.

"Apa yang bisa kau lakukan sekarang? Memohonlah seperti bayi!" Tawa mereka berlanjut sementara bayangan yang datang di langit cerah mengikis sedikit demi sedikit kesadaran yang kumiliki.

Aku hampir menyerah. Seperti ini akhir dari segalanya. Aku mengumpat-umpat sang dewa yang kejam padaku. Hingga aku melihat itu. Gerakan samar dibalik bayangan pepohonan mahoni. Apakah dia utusan Dewa?

Seperti sesuatu mencuat dengan indah. Mataku memandangnya takjub. Bergerak tanpa sedikitpun suara dibelakang militer-militer terlatih. Matanya seperti membiusku untuk tetap terjaga. Safir. Tanpa takut dan keraguan. Ia melompat dalam sekali gerakan dan memukulkan garpu tala ke leher incarannya. Seketika lelaki, itu jatuh. Mengalami kejang. Tapi, tak apa.

Tim pengejar yang baru saja sadar akan ancaman langsung bersiaga. Tertuju hanya pada seorang anak kecil. 12? Tidak. Lebih muda dari itu. Dia anak 10 tahun. Dengan topi biru, rambut sehitam bijih besi, mengenakan celana selutut dan shirt, leluasa untuk bertarung.

Salah seorang lelaki pengejar itu menyerbu. Sementara dia tersenyum miring. Ia melesat juga. Aku mengira akan terjadi benturan. Namun. Itu salah. Mendadak ia berhenti, membungkuk sedikit dengan tangan siap menopang. Tepat ketika mereka saling bersentuhan pria besar itu terbanting dengan kepala terlebih dahulu. Tiga sisanya tercengang. Wajah mereka pucat seperti tepung di kue mocci.

"Jangan takut! Dia cuma bocah ingusan sok pahlawan. Hajar dia!" Tanpa aba-aba lebih lanjut dari ketua regunya, serempak mereka menyerbu. Memukul dengan gerakan terorganisir, melihat pemandangan ini aku serasa sedang melihat film laga.

Lelaki itu melakukan gerakan menendang yang lewat begitu saja di atas rusuk bocah itu. Tanpa terduga sang penyerang menendang tepat di selangkangannya dalam posisi kayang di lanjut berusalto. Pria pirang mengaduh sebelum mencium tanah. Penyerang mengambil kesempatan untuk merebut dua buah pisau dari saku lawannya. Ia beralih ke lawan yang lain dan wush! Melesat seperti angin melewati kedua kaki orang itu. Ia berhenti untuk melihat lelaki dewasa itu jatuh dengan kaki yang berdarah-darah.

Sayang aku luput. Aku telah dibopong pergi. Semua itu hanya pengalihan saja. Aku melihatnya ketika mengambil heksagonalku. Aku tersenyum. Mereka lupa pada bendaku yang satu itu.

Setidaknya aku tau sumber energi itu ada padanya. Yang akan mengubah dunia.

Penglihatan menggelap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 28, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mini ChallengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang