Bab. 2

51.1K 2.8K 160
                                    

Yuda POV

Gue menghela napas berat, memerhatikan Tian yang sedang bermain basket. Sejak pagi dia menjauhi gue, bahkan sampai pindah tempat duduk. Tiap kali gue mendekat, Tian langsung menjauh. Untung saja dia nggak ngusir gue dari lapangan basket ini. Soalnya gue anak klub basket juga, sejak naik kelas dua gue gabung demi agar bisa dekat dengan Tian.

Bedanya gue gak pandai main basket, nge-shoot saja ngaco. Pernah sekali gue gak sengaja ngelempar pas kena muka pelatih, alhasil sejak saat itu gue jarang dibiarin turun ke lapangan. Cuma dijadiin pajangan klub. Mau diusir dari klub gak bisa, berhubung pembagian uang kas klub di sekolah ini tergantung jumlah anggotanya. Kelipatan 10 orang gitu, gue pas jadi anggota ke-30. Jadi pas gue gabung, pelatih senang banget sampai kejadian bola nempel di mukanya, otomatis jadi dongkol banget ke gue. Ya, gak apa-apa juga sih ... soalnya gue orangnya tipe pakai otak, bukan otot.

Begitu latihan selesai, anak-anak langsung berhamburan pergi. Gue ambil kesempatan itu buat nyeret Tian pergi ke belakang sekolah. Mengabaikan sumpah serapahnya dan pandangan aneh di sekitar kami. Begitu sampai ke belakang sekolah, "Sialan lo! Apalagi mau lo!" Tian langsung ngebentak gue.

Gue pun menatapnya dengan pandangan sedih. "Gue minta maaf, Tian. Please ... jangan jauhin gue. Lo lupain saja ucapan gue kemarin, kita kembali sahabatan ya," pinta gue setengah memohon. Asli gue gak sanggup dijauhin biar baru sehari. Kalau gak bisa jadi pacar, gue ikhlas balik jadi sahabatnya asalkan kami bisa dekat kembali.

"Cih! Gak sudi gue! Jijik gue sama lo! Jangan pernah tunjukkin muka lo lagi ke gue, sekalian keluar dari klub. Toh lo juga gak bisa main basket, ganggu pemandangan saja," cibirnya.

Jlep!! Hati gue kembali tertohok. Sebegitu jijiknya dia ke gue? Sampai bisa mengabaikan kedekatan kami selama ini.

Dengan harapan terakhir gue kembali berkata, "Gue sayang sama lo Agustian. Please beri gue kesempatan. Gue gak maksa lo terima perasaan gue, gue hanya mau kita berbaikan, gue pengen dekat lagi ke elo."

"Gue gak mau! Gue benci ke elo! Ngerti gak sih! Mana bisa gue sahabatan dengan cowok homo yang liatin gue dengan niat mesum kayak lo! Udah gue pergi," bentak Tian. Pergi ninggalin gue begitu saja. Kaki gue langsung lemas, seolah semangat gue lenyap gitu saja. Gue pun tersunggur jatuh ke tanah. Begitu menyakitkan ... kalau bisa gue juga gak mau jadi homo. Siapa sih yang mau menjalani cinta yang sulit, kalau bisa juga gue mau sukanya sama cewek saja.

***

Sejak itu gue gak pernah lagi ikutan kegiatan klub, di kelas juga diam doang. Mengabaikan pertanyaan anak-anak yang heran lihat gue dan Tian tiba-tiba musuhan. Dia masih setia ngejauhin gue. Tiap kami gak sengaja bertatap muka, Tian langsung membuang mukanya, menganggap seolah kami tidak saling kenal.

Sebulan berlalu dengan keadaan seperti itu. Gue gak sanggup lagi bertemu dengannya dan mendapatkan perlakuan kayak gitu. Gue putuskan buat bolos sekolah saja, gabung ke sebuah kelompok geng pecinta motor. Tiap hari gue nongkrong di jalanan, sampai ikutan balap liar bareng anak-anak geng.

***

Agustian POV

Sudah satu minggu Yuda gak masuk sekolah, padahal dia tipe anak teladan. Sebenarnya gue merasa gak enak dengan keadaan kayak gini. Padahal sebelumnya kami dekat banget, gue sudah anggap Yuda kayak saudara gue sendiri. Kalau saja dia gak ngrepein gue, kalau cuma sekadar nyatain cinta, gue gak bakal perlakuin dia sejahat ini. Salah Yuda sudah ngelecehin gue, setelah gue memberi dia kepercayaan. Gue kecewa berat dibuatnya, padahal dia tahu gue homophobic, walaupun nggak sampai separah dulu.

Sekali lagi gue ngelirik ke arah bangkunya yang kosong dan menghela napas. Apa gue terlalu kejam memperlakukannya? Apa gue maafin saja ya? Balik jadi sahabat kayak dulu. Keadaan kayak gini gak enak. Jujur saja gue ngerasa sedih tiap kali menyadari Yuda yang menatap gue dengan tatapan sedihnya. Dia terlihat sangat terluka dengan sikap gue.

Hate You, But Love You Too [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang