Yuda POV
Hari ini malam minggu. Dulunya tiap malam minggu gue pergi nongkrong sama Tian, tapi sekarang udah gak lagi. Gue nongkrongnya sama anak geng, kami lagi BBQ-an tengah malam di sebuah gudang milik pemimpin geng motor ini. Tempat nyimpan motor dan spare part buat keperluan balapan. Karena ini hari gak ada ajakan buat tanding, makanya kami cuma BBQ-an.
Mendadak datang seorang teman kami dengan paniknya, dia berlari sambil berteriak, "Bos, gawat!! Gawat!! Cewek bos diganggu sama kelompoknya Hendri!!"
Mendengar itu Kak Sam, nama bos geng kami langsung murka. "Anjing!! Cari mati si Hendri!! Kalian buruan, kita habisin keparat itu!!" Perintah Kak Sam penuh murka.
"Habisin!! Habisin!!" teriak kami ramai-ramai, membalas. Kami pun bergegas masuk ke gudang mengambil senjata berupa arit, tongkat bisbol, rantai, kayu berpaku sama pisau. Terus naik ke motor masing-masing, dengan berkonvoi cabut ngeyerbu geng Hendri yang sudah jadi musuh berbuyutan Kak Sam jauh-jauh hari.
Tauran kayak gini sudah sering terjadi antar kelompok geng motor cuma karena hal kecil. Sebenarnya gue gak terlalu suka ikutan yang kayak gini, tapi mau gak mau atas nama setia kawan semua anggota mesti bantuin kalau ada perkelahian kayak gini. Walaupun masih baru, gue juga mesti ikutan. Biarlah... toh kalau kenapa-napa juga gak ada yang peduli.
Tanpa bisa dicegah kami saling adu jotos, saling pukul dan tendang. Lawan kami jumlahnya gak jauh beda dengan kami sekitar 20 orang, tapi gak lama datang bantuan di geng musuh. Melihat itu, sebagian anggota kami kabur. Karena posisi gue di tengah dekat Kak Sam, gue gak sempat kabur. Perkelahian yang tadinya imbang jadi berat sebelah, kami habis dikeroyok anak buah Hendri. Tak terkecuali Kak Sam yang sudah babak belur. Gue hanya bisa nglindungi kepala gue, gue gak mau sampai gegar otak. Alhasil badan gue bonyok semua. Beruntung lawan kami udah puas dan pergi tinggalin kami begitu aja.
"Lo gak apa-apa, Yud?" tanya Kak Sam yang terkapar di samping gue.
"It's okay, Kak. Emang sudah risikonya bonyok kalau ikut berantem," jawab gue pelan, sadikit meringis.
"Sorry ya, padahal lo baru gabung. Gue gak nyangka anak-anak pada kabur tinggalin kita," ucap Kak Sam lagi dengan nada bicara kecewa.
"Gak setia kawan! Penghianat gitu tar kita keluarin dari geng aja," timbal Kak Toni, wakil bos geng kami.
"Wajar Kak, di dunia ini gak ada yang abadi. Begitu juga persahabatan, ada saatnya kita ditinggalin di saat keadaan gak menguntungkan," ucap gue. Mendadak wajah Tian terbayang di dalam kepala gue.
"Lo juga Tian, tinggalin gue saat tahu perasaan gue," tanpa sadar keluhan itu lolos begitu saja dari bibir gue, barengan dengan air mata gue jatuh. Padahal selama ini gue gak pernah nangis sekalipun.
"Maksud lo apaan Yud? Siapa Tian? Lho...lho... lo kenapa nangis?" Kak Sam jadi panik sendiri.
"Eh, lo cowok. Jangan karena bonyok terus nangis begitu," tambah Kak Toni, gak kalah paniknya.
Ternyata suara gue yang kecil terdengar oleh Kak Sam. Kak Sam dan Kak Toni jadi berusaha menenangkan gue. Mereka udah duduk di samping gue, terlihat bingung banget. Merasa malu dan gak enak, gue buru-buru hapus air mata gue lalu tersenyum.
"Gue gak apa-apa, luka gini sih gak bikin gue nangis. Yuk kita bawa anak-anak yang terkapar ke rumah sakit," ucap gue sambil senyum.
"Oke," balas Kak Toni acak-acakin rambut gue, sedangkan Kak Sam hanya balas senyum. Mereka menghargai gue, enggak berusaha membuat gue jadi sulit dengan terlalu kepo saat sadar kalau gue tak mau melanjutkan pembicaraan ini lebih lanjut.
Gak sulit bawa teman-teman kami ke rumah sakit. Soalnya cuma tinggal enam orang selain gue, Kak Sam dan Kak Toni. Tiganya bisa bangun sendiri, jadi cuma tinggal tiga orang yang pingsan. Setelah itu kami mutuskan buat iket yang pingsan tadi ke badan kami, lalu bonceng ke rumah sakit. Soalnya, kan geng motor, jadi gak ada yang bawa mobil.
Setelah dua jam, semua udah keurus. Keluarga yang luka udah pada datang, Kak Sam dan Kak Toni kena marah habis-habisan oleh bonyok keenam anak itu, soalnya mereka masih pada SMA dan kuliah. Setelah abis kena marah, berhubung kami bertiga gak ada yang patah tulang dan dokter udah kasih izin untuk pulang, kami langsung cabut ke KFC. Sudah jam tiga subuh, gak ada yang buka lagi soalnya.
"Bonyok lo ke mana, Yud?" tanya Kak Sam kemudian.
"Emangnya kenapa?" tanya gue balik, heran dengan pertanyaan Kak Sam. Buat apa tanya soal bonyok segala, itu bukan pembicaraan yang asik saat nongkrong.
"Ya... kami mau minta maaflah, udah bikin lo bonyok." Kak Sam garuk-garuk tengkuknya gak gatel. Ternyata itu maksudnya, baru kali ini gue ketemu anak geng yang peduli amat sama maaf-maafan.
"Hum... gue gak punya keluarga. Toh kalian juga bonyok, santai ajalah," jawab gue yakin. Gak terlalu peduli sebenarnya, gue lebih peduli dengan menu yang tersisa buat diorder. Cuma ada ayam sama nasi, burgernya udah habis stok.
"Ups. Sorry gue gak maksud," kata Kak Sam, lagi-lagi merasa bersalah.
"Gak apa-apa. Kasih traktiran aja udah cukup kok," balas gue sambil nyengir.
"Dasar lo, Yud!" Kak Toni lagi-lagi mainin rambut gue. Hobi banget kayaknya, berasa abang-abangan perhatian.
"Ikr, Kak Toni resek! Gue bukan bocah!" protes gue.
"Ya udah abis ini mau ke mana? Mau ikut pulang ke rumah kami?" Ajak Kak Sam. Gue pun heran, rumah kami? "Kalian bersaudara?" tanya gue mulai kepo. Merasa mereka gak ada mirip-miripnya sama sekali.
"Nggaklah. Kami sahabatan dari kecil, sekarang tinggal bareng gitu. Daripada ngekos sendiri, mending patungan sewa rumah," jelas Kak Sam.
"Jadi mau ikut gak?" tambah Kak Toni.
"Oke. Sekalian gue ikut numpang tinggal," ucap gue. Niatnya bercanda, tapi malah ditanggapi dengan serius.
"Boleh. Daripada ngekos, tinggal bareng kami aja. Patungan bayar air sama listrik cukup kok," tawar Kak Sam. Gue menatap keduanya berbinar-binar, merasa senang karena diterima dengan mudah oleh orang yang belum lama gue kenal.
"Beneran!?" seru gue, bertanya memastikan. Keduanya anggukin kepalanya. Gue balas dengan tersenyum. "Thanks banget Kak. Gak enak ngekos, gak ada teman. Hore! Dapat kakak baru!!" Gue sampai sedikit menjerit karena kesenangan.
Habis makan, kami mampir ke kos-kosan gue dulu ambil barang sekalian balikin kunci ke bapak kos. Kami sampai di kos gue udah jam empat pagi. Bapak kos mah udah bangun jam segitu, jadi gak ngeganggu. Barang gue juga gak banyak, cuma dua buah koper walaupun gue tinggal bertahun-tahun di sini gue gak simpan banyak barang. Buku dan alat sekolah disimpan di loker kelas sih. Jadi saat ini juga, gue bisa cabut pindah ke rumah kakak-kakak baru gue.
***
Agustian POV
Jam sembilan pagi gue sama Fabian udah sampai dikos-kosan Yuda, sekali lagi gue terkejut. Bapak kos bilang Yuda udah pergi dari sini tadi subuh, bareng teman premannya dengan tubuh penuh luka. Hati gue langsung tertohok! Kenapa? Kalau gini apa gue bisa ketemu Yuda lagi? Gimana kalau dia gak pernah ke sekolah lagi?
Saat sadar kalau mungkin saja selamanya gue gak bakal ketemu Yuda lagi, dan mengingat gimana parahnya hidup dia sekarang ngebuat gue ngerasa sakit. Gue nyesel gak beri dia kesempatan, gue nyesel gak maafin Yuda.
"Fab, gue mesti gimana?" Tanpa sadar air mata gue jatuh, gue nangis.
"Udah Gus, udah," hibur Fabian. Dia sendiri terlihat agak cemas, sama bingungnya dengan gue.
"Makasih Pak, kalau gitu kami pamit ya." Fabian berpamitan mewakili kami, berhubung gue masih mewek.
"Iya Nak, hati-hati di jalan. Kalau nanti Yuda balik ke sini, bapak akan hubungi kalian," balas bapak kos ramah, berbaik hati memberi bantuan juga.
Setelah itu kami pergi meninggalkan kos-kosan yang dulu ditinggali Yuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You, But Love You Too [END]
Teen FictionYuda dan Agustian sudah berteman sejak SMP, hingga mereka mulai dekat dan menjadi sahabat di SMA. Hanya saja Agustian tidak pernah menyadari perasaan cinta Yuda untuknya. Hingga suatu hari saat Agustian tertidur, Yuda yang tidak mampu mengendalikan...