Yuda pulang ke rumah esok siang, ketemu Toni yang baru pulang dari kampus. Cowok itu memarkirkan motor, sambil menunggu Yuda membukakan kunci pintu.
"Oh, nginap di luar lagi, Yud?"
"Yoi, biasa."
Toni geleng-geleng kepala. Si Yuda katanya mau tinggal sama mereka, tapi tampangnya jarang sekali kelihatan. Seminggu bisa menginap di luar berhari-hari, sekali pulang pasang muka tak berdosa. Padahal mah penampilan acak-acakan, kelihatan sekali habis melakukan sesuatu yang buruk.
Toni melepaskan helm, merangkul Yuda. Toni tahu kalau Yuda berpacaran dengan sesama cowok, tapi dia tidak berusaha menjaga jarak atau sok menghakimi. Itulah kenapa Yuda betah tinggal dengannya. Hanya saja, sampai sekarang Yuda tak pernah bawa pacarnya kemari, teman pun tak pernah. Makanya Toni kadang merasa cemas, takutnya ini anak ada masalah dan malah dipendam sendiri.
"Udah makan? Mau bakar sate?" Karena Yuda diam saja, Toni mengajak bakar sate siang-siang. Padahal dapur mereka ala kadarnya, tak ada apa pun yang bisa dipakai untuk membakar. Yuda menatap Toni aneh. Bisa-bisanya orang yang hanya bisa masak mie instan itu, mengajak membuat masakan yang tergolong menyusahkan.
"Beli jadi aja, susah amat," tolak Yuda. Dia tak mau repot, malas belanja dan tak mau panas-panasan membakar di bawah teriknya udara kota Jakarta.
"Daging ayam lagi diskon, kalian mau makan apa?" Pas itu, Sam pulang sambil berlari, bawa sekantong ayam mentah.
"Ayamnya udah ada tuh! Ngapain beli lagi." Toni langsung memaksa, semangat berkobar tak jelas.
Yuda menghela napas, tangan kekar Toni tak mau melepaskannya barang sedetik pun. Tahu saja kalau Yuda bakal kabur kalau tak ditahan. Dia bahkan sudah bersemangat sendiri bersama dengan Sam yang katanya, bisa membuat tempat pembakaran alternatif.
Pot bunga di halaman dibongkar, isinya tancapkan begitu saja ke tanah langsung. Udah deh, tinggal dibilas sedikit lalu atasnya taruh besi jaring-jaring yang ditemukan di dapur. Masukan arang, bakar sate yang potongannya besar-besar ditusuk pakai garpu.
"Serius, ini mah bukan sate." Yuda mengeluh. Daging ayam yang dicelup kecap, saus dan mentega mana bisa dibilang sate. Mereka ini suka sekali memaksakan segala sesuatu.
"Ada saus kacangnya kok. Sana tumbuk!" Sudah begitu suruh-suruh lagi, tumbuk kacang pakai ulekan batu.
"Gak mau ah, Kak. Beli jadi sepuluh ribu doang, mau susah-susah." Yuda mana mau, dia rela makan nasi sama keripik doang berhari-hari asalkan tidak ribet masak sendiri.
"Yud, yang namanya homemade tuh di mana-mana juga lebih higienis." Si Toni masih saja memaksa. Sedangkan Sam sudah tertawa-tawa, tak yakin seberapa higienis masakan tiga orang cowok yang membersihkan rumah saja tak becus.
"Bangke, itu pot tadi ada cacingnya. Lo timbun aja pakai arang pura-pura buta bilang higienis. Ngibul banget."
"Nggak lihat berarti nggak ada, bukan ngibul."
"Alasan. Terserah deh, suka-suka lo aja mau bilang apa." Yuda mengomel, tapi masih saja mau menumbuk kacang. Capek sendiri beradu mulut sama Toni.
Akhirnya mereka makan juga sate homemade yang tak jelas bentuk, rasa dan kualitasnya. Memang dasar amatiran sok-sokan mau masak. Jadinya tak enak, setengah gosong dan sausnya terlalu asam. Entah siapa yang memasukkan cuka banyak-banyak. Yuda sudah pasrah, tak peduli lagi apa yang dia makan selama keberadaan Toni dan Sam menghiburnya.
Saat-saat mereka bertingkah tak jelas inilah saat di mana pikiran Yuda paling tenang. Dia tak pusing harus berpura-pura ceria atau berbohong menutupi sesuatu. Teman dekat yang tidak pernah bertanya dan selalu mengerti memang lebih nyaman daripada pacar yang emosinya tak stabil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You, But Love You Too [END]
Teen FictionYuda dan Agustian sudah berteman sejak SMP, hingga mereka mulai dekat dan menjadi sahabat di SMA. Hanya saja Agustian tidak pernah menyadari perasaan cinta Yuda untuknya. Hingga suatu hari saat Agustian tertidur, Yuda yang tidak mampu mengendalikan...