"Apa ini Fyera? Kau pikir pantas menunjukkan hal ini kepadaku?"
Aku hanya meringkuk di sudut ruang sambil terus memeluk lutut dengan bahuku yang terus bergetar. Aku terisak. Tanpa suara.
"Aku menyesal memiliki anak seperti dirimu!"
Brak
Aku mendengar lagi suara lemari terjatuh. Sudah, kumohon sudah. Aku tidak tahan lagi. Aku ingin pergi dari sini.
Aku tahu aku memang tak berguna. Aku tak bisa mencegah apa yang sudah terjadi. Seharusnya aku tidak ada di dunia ini. Seharusnya aku tidak pernah lahir.
Entah kapan dunia damaiku berubah seperti neraka. Apa aku mati saja agar mendapat kehidupanku yang lebih indah? Apa sudh takdirku mendapat akhir dari kehidupan yang menyedihkan?
Aku ingin bebas. Aku muak. Aku kesal. Tapi aku tidak dapat melakukan apapun.
Aku memang tidak berguna.
Aku tidak bisa menjaga yang kumiliki. Kenapa tuhan, cobaan apa yang kau berikan. Apa yang harus kulakukan.
Bukan ini bukan salah siapapun, ini salahku. Aku.
.
.
.
"Daff, lo ngerasa ada yang aneh sama Fyera gak sih?" gadis berkuncir kuda ini memutar kepalanya pelan. Meski kini arah pandangnya jadi sedikit mendongak, mengingat lawan bicara yang nampaknya lebih tinggi darinya.
Pria yang diajak bicara, mengangkt kepalanya menghadap langit-langit. Seolah mengingat sesuatu. "Iya juga sih. Dari kemarin dia ngehindarin gue mulu. Sikapnya jadi berubah dingin gitu,"
"Gue takut,"
Daffa, cowok itu, memiringkan sedikit kepalanya menatap Bintang. Gadis yang sedari tadi mengajaknya bicara. "Takut kenapa?"
"Gue takut, ada yang terjadi sama Fyera yang kita gatau. Mungkin itu masalah yang besar." Bintang menunjukkan ekspresi sedikit ragu, hingga sebuah tangan memeluk bahu Bintang dari samping dengan sedikit menarik.
Saat Bintang menengok, ia hanya mendapati cengiran Daffa yang menyambutnya. Senyuman khas Daffa yang seakan berkata bahwa semua akan baik - baik saja.
"Lo kenapa sih, Bin? Tenang aja. Fyera kan emang gitu orangnya. Waktu pertama kita kenal, dia orangnya dingin juga kan? Ya mungkin aja nih, dia lagi kangen balik jadi dirinya yang dulu. Udah, lo gausah bingung. Gue yakin, semua bakal baik - baik aja." ucap Daffa masih dengan cengirannya.
Bintang yang menatapnya sedikit demi sedikit mulai memunculkan cengirannya pula. Lagipula, perkataan Daffa tidak sepenuhnya salah. Mengingat sejak awal mereka mengenal kawab penggemar warna biru itu, Fyera, sikapnya memang begitu.
"Eh iya sih Daff, Fyera kan emang gitu. Kita kasih waktu aja ya buat dia?"Daffa mengusap cepat rambut - rambut Bintang. Mengacaknya. Membuatnya terlihat tak beraturan. "Ih Daffa! Berantakan tau!" Bintang yang dengan sewotnya, menangkis tangan Daffa ganas.
Jika tatapan bisa membunuh, mungkin kini Daffa tergeletak karna tatapan maut Bintang.
"Hahahaha," Daffa mulai tertawa melihat ekspresi cemberut Bintang.
"Udah deh, jangan cemberut. Mau ke kantin aja gak? Laper nih. Ini perut udah nyanyi minta diisi." Daffa mengusap perut pelan. Bersikap seperti orang tua sehabis menikmati mandi air panas.
Sedangkan Bintang yang menatapnya hanya bergidik, seolah memandangnya agak jijik. "Jangan ngusap-ngusap perut gitu deh. Lo kayak orang tua."
Daffa merengut, "Tapi ya Bin," nada bicara Daffa mulai melembut.
Dari nada bicara Daffa yang barusan, Bintang sudah tahu apa yang diinginkan laki-laki penggemar kopi susu tersebut. Sudah pasti dia mau itu. "Gue gak bakal traktir." Bintang menyela dengan cepat.
Sedangkan Daffa yang merasa dicela ucapannya langsung menyahut cepat.
"Eh, sebagai teman yang baik. Lo harus memperdulikan kondisi kesehatan kawan tercinta lo ini kan?" ucap Daffa sedikit drama. Agak tidak terima, juga penuh pengharapan.
Bintang menyatukan kedua alisnya, "Apaan sih lo, gajelas banget lo. Garing lagi." Bintang mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Daffa yang masih terduduk di bangkunya.
"Eh, Bintang! Ayolah Bin, lo kan temen gue yang baik. Ya-ya?" Daffa langsung mengejar Bintang dengan rengekan mautnya yang benar saja, membuat Bintang dengan segera menutup telinganya.
"Daffa ih berisik!"
Bintang masih terus berjalan mendahului Daffa, sedangkan Daffa yang masih terus mengikuti Bintang. Kini sudah dapat ditebak, kerisihan Bintang pasti sudah berkali-kali lipat rasanya.
Kian lama, figur mereka nampak menghilang. Mereka terus mengikuti jalan menuju kantin tanpa menyadari, ada yang sejak tadi memperhatikan mereka. Mendengar seluruh percakapan mereka.
Disudut ruang kelas ini, ia terlihat menundukkan kepalanya hingga sebagian poninya menutupi dahi. Sembari terus bergumam kecil.
"Aku harap ini semudah itu, tapi nyatanya ini tidak baik - baik saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fyera
RandomTidak biasanya Fyera seperti itu. Tidak biasanya Fyera membolos sekolah. Apa karena semua ini, ia akan menyerah? Menyerah pada takdir, dan menyerah pada hidupnya. Bukankah itu cara yang benar-benar bodoh untuk dilakukan? Bahkan, Daffa dan Bintang ti...