Skype

50 14 3
                                    

Daffa mengguling - gulingkan tubuhnya di kasur empuknya. Sebenarnya ini sering dilakukan seseorang untuk menghibur dirinya yang bosan.

Ia meraih ponselnya dan melakukan hal yang sering ia lakukan akhir - akhir ini. Menghubungi Fyera.

Daffa mencoba menelpon Fyera -lagi- meskipun sebenarnya ia tahu Fyera tidak akan mengangkatnya. Berharap tidak pernah salah kan?

Daffa menatap ponselnya yang masih mencoba menghubungi Skype Fyera. Daffa kira, Fyera tidak akan mengangkatnya. Tapi,
Tik.

"Ada apa Daff?"

Daffa cengo.

Fyera dengan postur berantakannya ala bangun tidur mengangkat Skype dari Daffa. Daffa dapat melihat kamar Fyera yang sedikit berantakan, Biasanya Fyera kan anak yang rapian. Batin Daffa.

Melihat Fyera, Daffa langsung gugup sendiri. Sebenarnya gak ada alasan khusus Daffa menghubungi Fyera. Karena dalam hatinya ia tahu bahwa Fyera tidak akan mengangkatnya.

"Eng- hai ra"

Daffa goblok. Ngomong apaan sih lu.

"Daff, kalau gak ada perlu aku matiin." Fyera mengarahkan jarinya pada tombol pemutus Skype.

"T-tunggu dulu!"

Fyera menatap Daffa bingung.

"Apa?"

"Gue sama Bintang khawatir sama lo, ra" ucap Daffa, akhirnya.

"..."

"Lo ngapain aja sih ra selama ini?"

"..."

"Dan apa bener lo bakal pindah, cih gue bahkan denger kabar itu dari orang lain."

"Aku-"

Fyera memberikan jeda sejenak.

"-iya aku mau pindah. Aku matiin ya Daff"

Tik.

Dan Fyera memutuskan secara sepihak. Dan ini benar - benar membuat Daffa risih.

.

.

.

Aku menatap ponselku bimbang, Ah Daffa lagi.

Aku ingin saja mengabaikannya seperti biasa, namun aku ingat kertas yang tadi ku temukan di tas saat di cafe.

ANGKAT TELPON GUE GAK?

Aku sedikit menaikkan sudut bibirku. Mungkin sekali ini saja.

"Ada apa Daff?"

Dan ya, yang pertama kali kulihat adalah muka cengo Daffa. Jadi dia gak mikir aku bakalan ngangkat ya?

Daffa tiba - tiba sedikt gusar.

"Eng- hai ra" ucapnya.

Hampir saja aku ingin menjawab Daffa, namun tiba-tiba hatiku mencelos kala mengingat bahwa aku masih harus menjauhi Daffa.
"Daff, kalo gak ada perlu aku matiin."

Ya, kurasa cukup pembicaraan ku dengan Daffa kali ini. Atau jika tidak aku bisa saja menunjukkan sisi lemahku pada Daffa.

"T-tunggu dulu!"

Eh?

"Apa?"

Dan Daffa mengatakan sesuatu yang dapat membuatku tertegun, "Gue sama Bintang khawatir sama lo, ra."

Dan ia masih terus memberikan pertanyaan yang tak bisa aku jawab.

"Lo ngapain aja sih ra selama ini?"

"Dan apa bener lo bakal pindah, cih gue bahkan denger kabar itu dari orang lain."

Sungguh, aku harus berkata apa sekarang padanya. Apa aku harus berkata, dia tidak berhak mencampuri urusanku atau apa.

Atau aku harus menjawab bahwa semua ini kulakukan demi Bunda? Demi mengembalikan kesehatan Bunda? Demi mengembalikan orang yang sangat kusayangi padaku? Tidak mungkin kan.

Lagipula aku tidak ingin menarik mereka pada masalahku.

"Aku-"

Sungguh aku tidak tahu lagi,

"-iya aku mau pindah. Aku matiin ya Daff"

Aku memencet tombol putus. Dan kini aku mendekam dalam balutan selimut.

Seharusnya aku tadi tak mengangkatnya, lihat sekarang dia semakin curiga kepadaku. Seharusnya aku tak terbawa perasaan.

Seharusnya aku tidak boleh bahagia. Aku tidak boleh senang. Aku tahu. Aku seharusnya tidak merasa senang walau hanya sedikitpun.

Lagupula aku tidak mungkin mengatakan semuanya, semua yang telah terjadi.

Entah itu tentang Ayah yang entah sekarang berada dimana atau tentang Bunda yang sekarang sudah gila.

FyeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang