Daffa mengguratkan tangannya di atas sebuah kertas pada mejanya. Mengetuk-ngetukkan pena pada kepalanya dan kembali menulis.
Raut wajahnya nampak serius, dan sesekali ia menghapus tulisannya dan menulis kembali.
"Ngapain Daff?"
Daffa menengok kearah suara. Wanita berkuncir kuda. Siapa lagi, tentu saja Bintang.
"Bikin surat." Daffa bahkan tidak lama-lama menengok ke arah Bintang. Dan segera memalingkan wajahnya lagi.
Alis Bintang bertaut menatap Daffa.
"Buat apaan? Surat cinta ya?"
Daffa melirik kecil, pada Bintang. "Dih, bukan lah. Gue gak perlu bikin surat begituan cewek - cewek juga bakal klepek - klepek liat gue."
"Najong amat bang." Bintang menatap Daffa jijok, dengan sedikit tersenyum.
Daffa tertawa mendengarnya. "Hahahaha,"
Bintang mendudukkan dirinya di bangku sebelah Daffa. Sebenarnya, itu tempat duduk Reo, tapi ah Reo nya juga sedang tidak ada. Tidak masalah bukan Bintang berada di sini sementara?
"Gue buat ini buat Fyera,"
Bintang yang baru terduduk dan sebenarnya agak kurang connect menatap Daffa bingung. "Ha? Apaan?"
"Ish." Daffa menjitak kepala Bintang.
Yang membut Bintang sedikit meringis memegangi kepalanya, "Sakit bego."
"Makanya dengerin orang lagi ngomong."
Kini Daffa yang menatap sebal kepada Bintang.
"Ngomong apaan deh, udah ngomong tinggal ngomong." dan Bintang selalu begitu.
Daffa memasang wajah pasrahnya, berurusan dengan Bintang membuat kepala Daffa pusing. "Gue bikin ini buat Fyera,"
Daffa menghentikan perkataannya sejenak menatap kertas yang berada di hadapannya. Kali ini sepenuhnya menatap Bintang.
"Abisnya gue telpon sms, gaada yang direspon. Makanya gue coba kasih surat gitu terus selipin di tas dia. Mungkin dia bakal angkat telpon gue," Daffa mengangkat bahunya pelan. Seolah yang akan dilakukannya ini adalah tindakan yang pandai
Memang beberapa hari terakhir ini Daffa mencoba keras menghubungi Fyera. Apalagi setelah mendengar kabar bahwa Fyera akan pindah. Tapi tak ada respon dari sang empunya. Dan lagi, setiap ada waktu sedikit saja Fyera langsung aja lolos dari pandangan Daffa dan Bintang. Sepertinya dia benar - benar menghindari mereka.
Sedangkan Bintang hanya menatap Daffa aneh, "Daff, bukannya itu namanya terror ya? Semua orang juga ngerti kali Daff itu teror. Bukannya di respon, si Fyera malah ketakutan entar. Bego banget sih lu?"
"Udah sih, liat aja ntar. Jangan bawel deh Bin." Daffa kemudian bangkit dari duduknya. Tengok kanan - kiri. Setelah dikiranya keadaan aman, alias tidak ada tanda - tanda keberadaan Fyera. Daffa langsung saja berjalan kebangku Fyera dan menyelipkan kertas itu pada tas Fyera.
Setelahnya Daffa dengan cepat langsung kembali ke tempat duduknya.
"Beres." ucap Daffa dengan senyum di wajahnya.
"Gila lo."
.
.
.
Setelah mendengar bel pulang, aku dengan cepat segera mengambil tasku dan langsung pergi.
Untuk beberapa hari ini, setiap mendengar bel istirahat ataupun pulang aku memang langsung meninggalkan kelas. Untuk apa lagi? Tentu saja, untuk menjauhi Daffa dan Bintang.
Dan hari ini seperti hari lainnya, aku harus jalan kaki di siang yang terik ini. Mengingat tidak ada yang bisa jemput aku juga. Dan kalau naik angkot juga, jujur aku buta arah. Aku takut dibawa kemana - mana sama supir angkot. Takut diculik.
Tapi meskipun buta arah begini, kalau urusan arah rumah dari sekolah atau sebaliknya. Aku ingat seratus persen deh. Pasalnya dulu waktu awal - awal sekolah, aku udah berusaha keras banget ngingetin jalan ini. Tersesat puluhan kali dan kebingungan ratusan kali.
Dan pada akhirnya, aku sudah hapal sekarang. Hapal banget.
Aku melangkahkan kakiku meninggalkan sekolah. Tak lama lagi, aku bakal pindah dari sini. Bukan karena apa, aku cuma mencegah sesuatu terjadi.
Singkat kata, demi kebaikan kami semua.
Mungkin bukan saatnya aku membahas hal itu sekarang, setidaknya berjalan kaki ini ada manfaatnya juga. Toh aku bisa sekalian refreshing.
Kruyuk~
Ahem, kayaknya aku mulai lapar.
Tepat sekali, aku berada di dekat cafe di daerah ini. Mungkin sebaiknya aku mampir, lagi pula, di rumah juga tidak akan ada makanan.
Aku melangkahkan kakiku memasuki cafe, yang sepertinya dikenal dengan nama Risalah Hujan ini. Saat aku mulai memasukinya aku disambut oleh para pelayan cantik yang sebenarnya membuatku sedikit iri. Tunggu, bukan saatnya aku memikirkan itu.
Aku mengambil tempat duduk di dekat jendela. Setidaknya, aku harus menikmati waktuku disini. Seingatku sudah sangat lama aku tidak menikmati waktuku dengan baik, sejak kejadian itu.
"Ingin pesan apa?" seorang pelayan mendekatiku.
"Lemon tea satu, sama nasi goreng satu." ucapku sembari membolak-balikkan buku menu yang kini bertengger di tanganku.
Pelayan itu mencatat pesananku dan kemudian tersenyum kecil. "Tunggu sebentar ya."
Pelayan itu pun meninggalkanku. Ah, sepertinya pelayan itu memang benar-benar cantik. Aku memang merasa iri.
Sembari menunggu makanan siap, aku mencoba merogoh tasku. Mencari ponsel. Mengingat terdapat tulisan di ujung jendela yang menyebutkan area free wifi, kenapa tidak dimanfaatkan?
Aku memasukkan tanganku ke dalam tas.
Tapi, tunggu.
Apa ini?
Kertas apa ini?
Aku membuka lipatan kertas itu dan segera membaca tulisan di dalamnya. Mataku membulat menyadari tulisan dengan huruf kapital itu kini terpampang di hadapanku. Dan isinya-
ANGKAT TELPON GUE GAK?
-begitu.
Aku mengangkat sudut bibir kiriku. Hanya tersenyum kecil.
Aku menutup mataku dengan cepat, lebih tepatnya mencegah air mataku lolos.
Ya, aku sudah sangat mengenal tulisan ini. Siapa lagi kalau bukan cowok antah - berantah yang begonya gak ketulungan. Dan bisa - bisanya ngasih surat teror macem ini, kalau bukan Daffa?
"Daff, kamu gak berubah ya. Tetep aja absurd kayak biasanya," aku tersenyum.
Aku menarik nafasku sedikit berat, menundukkan kepalaku menatap kertas itu, lagi.
"Maaf ya. Mungkin aku terlalu buat kalian khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fyera
RandomTidak biasanya Fyera seperti itu. Tidak biasanya Fyera membolos sekolah. Apa karena semua ini, ia akan menyerah? Menyerah pada takdir, dan menyerah pada hidupnya. Bukankah itu cara yang benar-benar bodoh untuk dilakukan? Bahkan, Daffa dan Bintang ti...