“Mati lu.”
Daffa mendengus senang menatapku. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku kalah dengan permainan yang aku pilih sendiri? Menyebalkan.
Aku mengembungkan pipiku kesal. Astaga, bahkan Bintang yang kini terduduk di belakang ku dan Daffa sedang tersenyum penuh kemenangan. Evil, mereka evil.
“Gue bilang apa coba? Kalo lo nyerah dari awal, lo gak akan semalu ini Ra. Kalah di game pilihan lo sendiri,” Bintang mencoba menahan tawanya. Namun bahunya yang bergetar itu tak dapat mengelabuhiku. Aku tahu dia sudah tertawa di balik tangannya itu.
Aku membanting pelan stik ps yang berada di tanganku. “Eh kok dibanting?! Sayang tau Ra. Ah, stik ps gue~” Daffa meringsut memungut stik yang tadi kulempar.
Ah biar.
Aku bete.
“Si Fyera gak selow. Gak terima kalah ini ceritanya?” poni Bintang bergerak ke sana ke mari mengikuti gerakan badannya yang mulai menggeser-geser mencari posisi nyaman pada sofa yang didudukinya.
Aku menatap Bintang kesal. Ah, menyebalkan. Padahal tadi aku sendiri yang menantang mereka. Tahu begini, aku pasti tidak akan menantang mereka tadi.
Dan, bagaimana aku bisa lupa? Daffa sering memenangkan kejuaraan gamer antar sekolah. Meski kebanyakan game-game semacam counter strike atau semacamnya. Tapi sama saja 'kan? Dia tetap juara.
Dan di game kali ini, hanya game yang memerlukan ketelitian. Hei, aku sudah yakin menang, oleh karena itu aku memilih game ini.
“Kalian curang, pokoknya curang!”“Curang apaan, lo liat sendiri 'kan? Gue curang dari mana coba,” Daffa nyengir. Ah aku tahu dia curang. Dia pasti curang.
Bintang mengibaskan rambutnya pelan, “Sesuai perjanjian. Lo ngikutin mau kita.”
Perjanjian itu …
Seharusnya aku tidak setuju!
Pagi itu, seperti beberapa hari sebelumnya aku masih berusaha menghindari atau lebih tepatnya menjauh dari Daffa dan juga Bintang. Biarlah, lagipula tak lama lagi aku akan pindah 'kan? Aku tak perlu melihat mereka lagi.
Aku melangkahkan kakiku cepat menuju tempat yang sudah tidak asing bagiku akhir-akhir ini. Jujur saja, selama beberapa hari terkahir aku selalu mengungsikan diriku dalam tempat penuh buku itu.
Baru saja aku ingin mencari tempat di ujung perpustakaan atau lebih tepatnya di tempat yang entah sejak kapan menjadi tempat favoritku. Tapi…
“Yo Ra!”
Aduh.
Mereka lagi.
Mengingat-ingat kejadian sebelumnya, saat aku bertemu mereka di jalan raya. Dan tentang aku yang berteriak-teriak tak jelas tentang pria penghancur hidupku, aku sekarang makin tidak tahu lagi bagaimana menghadapi mereka.
Sebaiknya aku pergi.
Secepatnya.
“Eit, mau kemana?”
Ah, bagaimana Bintang bisa bergerak secepat ini untuk menghalangiku?
“Ra, kita punya berita penting buat lo. Tapi lo harus ikut kita,” Daffa ikut bangkit dari duduknya.
Aku menggelengkan kepalaku kuat. “Gak mau.”
“Tapi ini penting … janji deh, setelah ini kita gak ganggu lo lagi.”
Aduh, pertanyaan menjebak. Gimana dong sekarang?
“Atau kita bikin taruhan aja gimana?”
Kali ini aku menatap Daffa seolah kepalanya terbelah dua. Ta-ru-han. Menyebalkan, aku benci taruhan.
“Kalo lo gak terima, berarti lo pengecut. Gue bisa aja nyebarin ke semua orang kalau lo itu pe-nge-cut.”
Ah.
“Gue bukan pengecut! Apa tantangan kalian? Gue terima!”
Daffa dan Bintang saling menatap penuh arti, “Main ps, di rumah gue. Kalo lo kalah, lo harus ikutin mau kita.”
“Gue yang pilih game nya.”
Daffa menautkan alisnya pelan, “Oke. Deal?”
“Deal!” aku berteriak lumayan keras. Mengabaikan aku sedang berada di salah satu tempat yang mengharuskan pengunjungnya harus tenang.
Daffa dan Bintang tersenyum penuh kemenangan.
“Oke Ra, nanti pulang sekolah ke rumah gue. Kalo gak dateng lo pengecut.”
“Kita duluan deh kalo gitu, bye Ra.”
Setelah itu, mereka pergi. Keluar dari perpustakaan.
Dan saat itu juga, aku merutuki diriku. Karena telah terjebak oleh kata-kata mereka.
“Ah, menyebalkan!” aku menggenggam tanganku kesal. Baiklah, aku kalah. Tapi setelah ini apa?
Apa yang akan dilakukan oleh dua makhluk di hadapanku ini kepadaku?
Memang benar, seharusnya aku tidak menerima taruhan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fyera
RandomTidak biasanya Fyera seperti itu. Tidak biasanya Fyera membolos sekolah. Apa karena semua ini, ia akan menyerah? Menyerah pada takdir, dan menyerah pada hidupnya. Bukankah itu cara yang benar-benar bodoh untuk dilakukan? Bahkan, Daffa dan Bintang ti...