Chapter 4

53 3 0
                                    

  "Halo," Maya memekik kegirangan kala mendengar suara serak diseberang sana.

"Ah, malam Genta." Maya mencoba berbicara se-kasual mungkin. Namun jantungnya tetap berdegup kencang, seakan menelpon Genta adalah hal yang tidak pernah dia lakukan.

"Ta, besok kita bisa ketemuan nggak? gue mau ngomongin sesuatu," Maya diam sejenak, lalu melanjutkan ketika Genta tak urung membalas. "Besok kan minggu."

Butuh waktu lama hingga Genta menjawab. "Lo nggak inget motto gue, Don't disturb me while sunday resting," Genta menguap lebar. "Dan lo perlu tau seberapa posesifnya nyokap gue."

Maya mengerang, lalu memutuskan telepon setelah mengucapkan selamat malam satu sama lain, seperti
biasanya.

Maya kembali sibuk mengulir layar ponsel dan sesekali melihat download-an di laptopnya. Begitu terus hingga satu ide terlintas di benaknya.

@@@

Maya tersenyum kearah seorang satpam yang berdiri di depan rumah besar itu. Setelah bertanya sana-sini dan dia sama sekali tidak punya jadwal di hari minggu, akhirnya Maya memutuskan untuk langsung mengunjungi Genta.

Maya segera memarkirkan mobil setelah menyampaikan maksud dan tujuannya. Maya mengamati rumah megah milik keluarga Genta.

Begitu kakinya menapaki rerumputan di sekitar rumah itu, Maya kembali memperhatikan dandanannya. Ibunya selalu mengingatkan untuk memberi kesan yang baik di setiap pertemuan pertama.

Cewek itu masih terus celingak-celinguk hingga seseorang menepuk pundaknya pelan. Maya tersenyum kearah seorang wanita paruh baya--yang Maya yakini sebagai salah satu pelayan rumah Genta--lalu melirik kearah dua kantung kertas penuh belanjaan di kedua tangan wanita itu.

"Nyari sia--Ah, pasti Mas Genta," Wanita itu tersenyum kecil, "Pacarnya ya Mbak?"

"Saya selingkuhannya," Maya tersenyum lebar melihat perubahan raut wajah lawan bicaranya. "Genta-nya ada nggak, um-"

"Panggil saya Mbok Sersih aja, Mbak."

"Se-seksih?"

"Sersih Mbak, S-E-R-S-I-H."

"Ah, Hahaa. Maaf Mbok," Maya tertawa canggung, "Bisa anterin Maya nggak? Ah, sini sekalian Maya bantu bawain." Maya segera mengambil alih sebagian belanjaan yang ada di tangan Mbok Sersih, lalu melangkah masuk bersama.

Dapur begitu sepi. Maya berasumsi bahwa semua pelayan tengah sibuk pada pekerjaannya masing-masing, tipikal hari minggu. Namun ada seorang wanita berperawakan tinggi langsing yang terlihat tengah sibuk membuat sesuatu.

Wanita itu tiba-tiba menoleh, mungkin merasakan derap langkah mendekatinya. "Lho, Mbok. Ada tamu kok nggak diajak masuk lewat depan aja?" Wanita yang kira-kira seusia ibunya itu tersenyum. Dia memiliki mata  hitam seperti Genta, rambut lurus sepunggungnya pun berwarna senada. Dari ciri fisiknya, Maya yakin dialah yang mewariskan darah Yunani pada Genta.

"Ini selingk-"

"Saya temennya Genta, Tante." Sahut Maya cepat, lalu melirik Mbok Sersih yang terlihat bingung. Lalu wanita itu tiba-tiba mengangguk, seakan menangkap makna bahwa selingkuhan bukanlah status yang membanggakan.

"Gentanya ada tuh, mungkin masih tidur," Wanita itu menyiapkan dua cangkir teh hijau dan sepiring camilan. "Yuk ngeteh bareng Tante."

"Boleh," Maya ragu sesaat, namun Ibu Genta dapat memahami raut wajahnya.

"Viersha," Wanita itu kembali tersenyum, bahkan senyumannya mampu membuat Maya merasa nyaman. "Kamu boleh manggil Mama kok, kalo mau. Lagian Genta udah sering cerita tentang kamu."

Maya merasa wajahnya panas seketika. Malu! Memangnya cerita apalagi yang akan diceritakan Genta selain aib-aibnya?

Mereka berjalan menyusuri tiap ruangan. Rumah besar itu memiliki beberapa pilar besar, dan sejauh yang Maya lihat, semua interior rumah berkombinasi warna magenta dan brokenwhite. Saat melewati beberapa ruangan, terlihat para pelayan yang sibuk bekerja. Viersha akhirnya mengajak Maya duduk di sudut yang pemandangannya langsung mengarah ke taman belakang rumah.

"Seneng deh, udah lama Tante nggak punya temen ngobrol di rumah," Viersha menyesap teh yang masih mengepulkan asap. "Maya kok nggak pernah main kesini?"

Maya tersenyum canggung, lalu teringat akan Marla. Mamanya itu persis seperti Viersha yang mudah akrab dengan siapa saja. "Maunya sih gitu Tan, cuma Maya lagi sibuk-sibuknya sama tugas sekolah."

"Oh ya? kok Tante nggak pernah liat Genta sibuk sama tugas?"

Genta mah, nggak ngerjain pe-er juga nilainya udah bagus, Sahut Maya dalam hati.

"Mungkin Tante aja yang nggak pernah liat dia bikin tugas," Maya meraih cangkirnya yang masih penuh. "Dia kan introvert."

Viersha tertawa, dan di mata Maya tawa itu anggun sekali. "Emang orang-orang introvert ngerjain tugas secara tertutup, gitu?" Mereka tertawa. Mereka berbincang-bincang tentang banyak hal, dan Maya mereka mulai akrab satu sama lain.

Dan di saat itulah Genta muncul dari arah kolam renang, lengkap dengan rambut yang masih basah, hanya mengenakan celana renang, dan selembar handuk menutupi tubuhnya. Ketika melihat Maya, secara refleks Genta mundur, dan kembali berjalan kearah kolam renang.

Viersha tertawa kecil melihat ekspresi mereka yang menurutnya lucu. Sedangkan Maya hanya terlihat sibuk menutupi wajahnya yang memerah.

Genta yang telah kembali setelah memakai pakaian lengkap langsung duduk disamping Maya dan menyesap teh milik ibunya. "Buat aku mana, Ma?"

"Bikin sendiri sana." Sahut Viersha secara bangkit dari duduknya sambil menenteng sebuah majalah. "Mama ke kamar dulu, Ya."

Genta segera menoleh kearah Maya. "Mama? Jadi kita berbagi Mama nih, ceritanya?" Maya menoleh tanpa berkata apa-apa.

"Jadi ada apa nih, pagi-pagi udah nongol?" Tanya Genta, alih-alih bertanya dari mana Maya tau alamatnya. Dia kembali menyesap teh hijau yang mulai dingin.

"Lo mau nggak, jadi pacar gue?" Tembak Maya langsung, dan kontan membuat Genta tersedak. Panik, Maya segera menepuk-nepuk punggung Genta.

"Lo gila ya?" Sembur Genta setelah batuknya mereda. "Kayaknya lo kesambet setan yang sama."

"Kata lo cewek nembak cowok nggak tabu? Kok sekarang gue dibilang gila!"
Gerutu Maya sebal. "Terus, setan yang sama? Setan yang mana?"

Genta menyugar rambutnya yang masih setengah basah. "Gue nggak mau."

"Please, Ta. Sampe mama gue pulang aja kok," Mata Maya melebar, cara khasnya membujuk Genta. "Setelah makan bareng Mama, terserah lo deh hubungan kita mau diapain." Maya menarik-narik ujung kaos Genta. "Lagian kan cuma makan malam, apa susahnya sih?"

Genta mengusap wajahnya, "Entahlah. Yang jelas, perasaan gue nggak enak soal ini."


@@@

Tbc

20 Januari 2016

Dunia Maya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang