Chapter 6

32 2 0
                                    

Maya masih menatap ibunya lekat-lekat, hal yang selalu dilakukannya saat Marla bertindak diluar kebiasannya.

"Maksud Mama apa sih? Mama bilang masih harus ngadain rapat? Dan lagi, apa sih masalah Mama sampe harus marah-marah gitu di depan Genta?" Maya kesal setengah mati. Dia takut Genta masih menunggu di luar.

Marla menghela napas, lalu duduk di sofa terdekat sambil memijit pelipisnya, membuat maskernya sedikit terkelupas. "Maya, tolong jangan dekat-dekat dia lagi," Sekuat tenaga Marla menahan tangisnya, tapi Maya masih memalingkan wajahnya kearah pintu.

Maya ikut-ikutan menghela napas, bahkan lebih keras dari ibunya, "Atau jangan-jangan Genta itu pacar Mama?"
Tebak Maya asal. Marla lantas meraih koran pagi yang masih tergulung diatas meja, lalu memukul kepala Maya pelan.

"Dasar, bocah tengik,"

Maya mengusap kepalanya sambil memasang ekspresi tersakiti, "Kan cuma ekspektasi Ma," ujarnya, lalu berbalik kearah pintu lagi. "Lagian kalo kata orang-orang ya, jika seseorang marah karena suatu pernyataan, biasanya pernyataan itu memang benar adanya." Kata Maya sok bijak. Marla sibuk merapikan maskernya, menyadari banyak masker yang rontok di bagian pelipisnya. Maya gondok setengah mati.

Maya menguap lalu memperhatikan ibunya. Setelah melirik jam besar disudut ruang tamu, Maya memilih naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Ia lalu duduk di sofa dekat tangga sambil sesekali melihat pergerakan Marla. Setelah pintu kamar ibunya berderik tanda dibuka, Maya menunggu hingga Marla mematikan lampu kamar.

Tepat setelah Marla menutup pintu, Maya berlari kecil menuju pintu depan, memutar kunci sepelan mungkin, lalu melongokkan kepalanya. Genta tak ada disana, dan hal itu membuat Maya tak enak hati.

Karena selama mereka berteman, tak pernah sekalipun mereka berpisah tanpa saling mengucap salam perpisahan.

@@@

"Mayaaaa,"
"Mayaraa,"
Tingtongtingtong

"Arggh," Maya bangkit dari tempat tidur, lalu mengikat rambutnya asal-asalan. Teriakan Marla dan bunyi jam bekernya memang tak pernah menjadi pepaduan yang indah.

Maya berjalan terhuyung ke arah wastafel di sudut ruang makan. Setelah membasuh wajahnya, ia duduk di meja makan dengan kepala diatas meja.

Saat Maya hampir ketiduran, Marla yang tengah meletakkan sepiring roti panggang melihat Maya yang tidur di meja makan, masih lengkap dengan piyama pula!

Maya langsung duduk tegak ketika tiba-tiba sebuah koran pagi menyentuh kepalanya. Ia meraih selembar roti lalu mengolesinya dengan nuttela sambil berpikir bagaimana cara melenyapkan koran-koran pagi yang kerap menjadi senjata andalan ibunya itu.

Marla melihat kalender yang sengaja ditempelnya di dinding dapur--yang biasa digunakan untuk menandai jadwal belanja Mbak Tini--lalu menyadari jika tanggal hari ini telah ditandai Maya dengan note : ujian kelas 12 besar-besar.

Marla berjalan cepat kearah meja makan, lalu menarik piring Maya yang berisi roti panggang yang baru dimakan setengah. Maya jelas-jelas mempertahankan piringnya, karena roti itu sudah diolesinya dengan nuttela hingga meluber.

"Duh,, Mama minta maaf ya, nggak baca note kamu," ujar Marla masih berusaha merebut piring Maya, "Mama bikinin makanan spesial deh."

Jengah, Maya melepas piring makannya setelah mengambil roti panggangnya, "Yaudah bikin aja sih, kenapa pake acara nyulik rotiku segala Ma?"

"Ya kan nanti kamu kekenyangan kalo udah makan roti, masakan Mama malah nggak terjamah."

"Nggak kok, kalo buat masakan Mama rela deh, perut karet."

Maya lalu memperhatikan ibunya yang berjalan kearah dapur lalu mulai memasak bersama Mbak Tini. Selalu seperti ini, hanya ada dia, Marla, dan Mbak Tini. Bahkan Maya tak ingat jika ia pernah sarapan bersama ayahnya.

Ia hanya tau, bahwa ayah dan ibunya bercerai saat ia masih berusia dua tahun. Dan ayahnya akan datang menjenguk di awal tahun.

"Ma," Maya bangkit dari posisi tidurnya begitu Marla duduk dihadapannya sambil meletakkan dua piring nasi bakar ke atas meja.

"Kenapa Mama sama Papa cerai? Maksudku, bukankah setiap orang yang bercerai pasti pernah bertengkar dalam waktu yang lama?"

"Maya, memang seharusnya begitu. Orangtua yang sudah 'diambang batas' memang tidak boleh menunjukkan  pertengkaran mereka, apalagi didepan anak-anaknya. Karena saat mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan mengalami hal yang sama."

Maya memerhatikan ibunya yang mulai membuka bungkus nasi bakar mereka, "Tapi Maya kan juga butuh Papa, Ma. Maya-"

"Maya, kamu punya Mama. Cukup kita berdua. Asal ada kamu, Mama nggak butuh siapa-siapa lagi," Marla menyodorkan sepiring nasi bakar yang telah disiapkannya, "Kecuali kalo proyek pacaran kita ini berhasil, dan itu juga harus ada persetujuanmu. Gimana? Kamu udah nemu, belum? Bentar lagi akhir tahun lho, Betah amat jomblonya."

Halah, kemaren gua keluar malem sama Genta aja naik tensi. Lah sekarang gua disuruh nyari pacar, dasar ibu-ibu labil. Sungut Maya dalam hati.

"Iya iya, ini juga lagi diusahain."

"Haha diusahain? Kayak nggak laku aja." Ledek Marla.

"Ih, aku tuh nyari yang bagus Ma," Jawab Maya sambil menyendok sarapannya, "Kalo nyari yang ngabal mah, banyak tuh di sekolah."

"Termasuk cowok yang kamu bawa kemarin?"

"Ah, kenapa Mama marah-marah waktu liat dia?" Tanya Maya.

Mendengar pertanyaan itu, Marla terdiam. Cukup lama hingga isi piring Maya hampir ludes. "Sebenarnya, dia itu-"

Bel rumah tiba- tiba berbunyi nyaring. Melihat Mbak Tini masih sibuk mencuci peralatan masak, Maya berinisatif untuk menbukakan pintu.

Saat Maya mengintip dari lubang pintu, Tampak ayahnya yang berdiri di depan pintu.

@@@

Tbc

12 Mei 2016

Sorry for the late update. Sbmptn udah di depan mata dan jadwal bimbel makin padat.

Ryolla💋

Dunia Maya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang