Chapter 5

49 4 0
                                    

Maya mengusap kedua telapak tangannya pada permukaan gelas yang berisi vanilla black tea latte yang masih mengepulkan asap. Dihadapannya, Genta sibuk mengulir layar ponsel sambil sesekali tertawa sendiri. Sama sekali tidak mengijinkan Maya ikut berbaur ke dunianya.

Saat dilihatnya tangan Genta mulai meraih minumannya, Maya menggeser gelas miliknya dan menukarnya dengan gelas milik Genta. Cowok itu sama sekali tak melihat gelas yang diraihnya.

Dan ketika minuman panas itu memasuki kerongkongannya, Genta terkejut setengah mati. Sedangkan si pelaku malah tersenyum lebar dan bersorak dalam hati.

"Perasaan gue mesennya dingin deh," Ujar Genta sambil melirik Maya yang masih tersenyum bahagia. "Apa sekarang minuman dingin jadi panas kalo kelamaan didiemin?"

Maya meraih gelasnya kembali, meniup dan menyeruput isinya pelan-pelan. "Bisa jadi,"

Setelah habis-habisan membujuk Genta untuk makan malam bersama dirumahnya malam ini, siangnya setelah Maya pamit sehabis makan siang bersama Viersha dan Genta, Marla menelpon dan memberitahu Maya bahwa ia masih harus menghadiri rapat penting di Riau. Dan disinilah mereka, duduk bak pasangan namun Maya malah merasa sama sekali dihiraukan.

"Ya," Genta duduk dengan menopang sikunya diatas meja. "Lo tau nggak, kalo kita minum dari gelas yang sama, berarti secara nggak langsung kita udah-"

"Yaya apa kata lo deh," Serobot Maya, lalu meraih gelas Genta dan meminum isinya. "Tuh, udah dua kali."

Genta tertawa. Menggoda cewek baper memang selalu menyenangkan.

@@@

Jam sudah menunjukkan angka 10 saat mereka memutuskan untuk pulang. Namun jalanan hari ini begitu padat untuk ukuran selasa malam.

Maya membongkar isi laci mobil Genta, mencari-cari CD milik band kesayangannya yang sengaja dia tinggalkan di mobil Genta. Setelah menemukannya, Maya malah mengacung-acungkan CD itu di depan muka Genta, membuat cowok itu hampir menabrak becak yang lewat di depan mobilnya.

Lagu clouds milik One Direction mulai terdengar. Maya menaikkan volume suara, lalu bernyanyi dengan nada yang tak beraturan.

Jam 10 malam, dengan suara volume tinggi dan Maya bernyanyi gila-gilaan, Genta yakin orang-orang akan mengira bahwa dia dan Maya adalah pemabuk dan semacamnya.

"Ya, kecilin dong,"

"Ta, yang namanya konser mana ada yang suaranya kecil-kecil." Sahut Maya, lalu kembali melanjutkan 'konser'nya.

Genta mematikan VCD-nya. Hening seketika. Maya menghidupkan kembali, lalu Genta yang mematikan. Begitu terus sampai Maya gondok sendiri.

"Ih, aku turun nih!"Jerit Maya.

"Turun sana, turun." Sahut Genta tak mau mengalah. Genta memberhentikan mobilnya di samping trotoar.

Maya, yang memang harga dirinya terlalu tinggi segera menuruti. Maya turun lalu berjalan lurus tanpa sekali pun menoleh ke belakang. Barulah ketika mobil Genta melaju melewatinya dan segerombolan preman mulai berjalan ke arahnya, Maya panik. Apalagi saat mobil Genta melaju melewatinya.

"Hai cantik, ditinggal cowoknya ya?" Ujar seorang cowok sambil menarik lengan Maya. Anggotanya yang lain mulai ikut mendekati Maya.

Maya frustasi. Keringat dingin mulai bermunculan di dahinya. Namun dia terus berdoa supaya ada cowok yang berbaik hati menolongnya, seperti adegan-adegan film yang sering di tontonnya bersama Marla.

Maya hampir menangis ketika tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. "Gimana Mbak, udah ketemu belum kuncinya?"

Segerombolan cowok-cowok itu menoleh kearah Genta. "Siapa lo? Cowoknya?" Tanya seseorang yang Maya yakini sebagai ketua.

"Oh, dia kakak gue," Sahut Genta, yang membuat bahu Maya merosot seketika. "Kalian ada perlu apa sama dia?"

"Ah, gapapa kok," si ketua melirik Maya, "Cuma mau ngajak kenalan doang." Dengan begitu, kelompok itu berjalan menjauh hingga akhirnya hingga di kegelapan malam.

Maya masuk ke mobil dan menutup pintunya agak keras. Genta mengikutinya.

"Kenapa kakak?" Maya mengusap peluhnya dengan selembar tisu. Tadi itu benar-benar uji nyali bagi Maya, "Dimana-mana tuh, cowoknya bakal ngaku-ngaku sebagai pacarnya si cewek, terus ceweknya baper dan akhirnya mereka jadian."

Genta berdeham, "Lo pernah liat nggak, adegan gitu yang nggak berakhir ke si cowok harus ngadepin tuh preman?"

"Ya namanya juga pengorbanan, palingan juga bonyo-"

"Dibanding hayalan lo yang nggak jelas itu, lo tau nggak kenapa mereka nggak nyerang gue?" Genta melirik Maya yang tak kunjung menjawab, "Kalo gue bilang lo pacar gue, mereka berpikir bahwa peluang ngedapetin lo masih banyak."

"Tapi kan kalo gue nggak mau sama mereka, sama aja," Maya bersidekap, "Mana ada hubungan yang nggak ada timbal-baliknya?"

Genta menghiraukan Maya, "Kalo pacar, gue belum tentu bisa milikin lo selamanya. Tapi kalo lo kakak gue, sampai kapan pun lo tetep milik gue,"

"Gimana kalo nanti gue punya-"

"Meski lo punya orang lain nantinya, gue selalu punya celah di hati lo."

"Terus kenapa mesti kakak sih? Kenapa bukan adik?" Maya tetap bersikeras.

"Hm, muka lo kan lebih tua dari gua,"
Maya mencubit lengan Genta keras-keras. "Aww, sakit! Dasar cewek brutal,"

Genta berhenti tepat di depan gerbang rumah Maya. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.

Genta  turun untuk membuka pintu di sebelah Maya. Dia mengantar Maya hingga ke depan pintu rumahnya.

Saat Genta akan berjalan kembali ke mobilnya, pintu depan rumah Maya dibuka dari dalam. Marla keluar, mengenakan gaun tidur dan wajah yang penuh dengan masker. Maya dan Genta sama-sama menoleh.

"Kenapa baru pulang? Nggak inget jam malam yang udah kita sepakati?" Suara Marla masih rendah, tapi Maya tau ibunya sedang marah besar. Keluar malam apalagi bersama seorang cowok yang sama sekali tak dikenalnya, ibu mana yang tak marah?

"Ini salah Maya, Ma," Maya menarik lengan Marla, "Tadi Maya yang ngajak Genta, karena kita udah ke rumah tapi Mama belum pulang."

Marla menatap Maya, sama sekali menghiraukan keberadaan Genta, "Pokoknya, kalo ini menyangkut perjanjian kita, Mama nggak suka-" Marla dan Genta sama-sama terkejut saat keduanya melihat satu sama lain.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Marla menarik Maya masuk, lalu menutup pintu, "Mama nggak suka kamu deket-deket dia."

"Kalian udah saling kenal? Padahal Maya bar-" Maya berhenti saat Marla menepuk kedua bahunya, "Mama nggak setuju."

Di luar, Genta terpaku menatap pintu yang tertutup. Dia ingat betul siapa wanita yang barusan dilihatnya.

Genta berjalan ke mobilnya tanpa menoleh.

@@@

Tbc

31 Maret 2016

Hah, akhirnya setelah hiatus hampir setahun, ide cerita ini malah muncul menjelang UN. Jadi, belum tau kapan bakal dilanjutin.
Thanks buat yang udah nyempetin baca, dan aku pengen tau dong gimana pendapat kalian tentang cerita ini. Vo-mentnya ditunggu ya!

Danke!

Ryolla🐾

Dunia Maya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang