Bagian Empat

6.3K 621 31
                                    

Awal Tahun 1990

Aku melihat laki-laki itu lagi, duduk berjongkok di pintu gedung samping rumah Mas Haris, tetangga sebelah rumah Bude Ari. Ia melamun di sore yang sepi. Sesekali tangannya yang kurus mendekatkan rokok ke bibirnya, aku tidak tahu apa yang ia lamunkan setiap hari di tempat itu. Pemandangan itu membuatku gemas. Aku yang tidak pernah bisa diam, rasanya tidak terima jika orang semuda itu hanya menghabiskan waktu dengan duduk melamun. Tatapannya selalu terlihat kosong dan menerawang jauh entah kemana.

Aku melangkah ke rumah Bude Ari hendak menonton televisi karena di rumah tidak ada televisi. Di depan rumah, Mas Haris memanggil dan menyuruhku berkenalan dengan saudaranya. Aku berbelok ke teras rumah Mas Haris. Mas Haris tinggal dengan dua saudaranya. Mas Abimanyu dan Mbak Ami. Mereka orang Jawa campuran Aceh. Diantara teman sebayaku yang tinggal di perumahan, tidak pernah ada yang suka hati atau berkinjug ke rumah Mas Haris, kecuali aku. Mereka menganggap rumah mas Haris itu 'sarang preman' karena banyaknya teman laki-laki Mas Haris dan Mas Abimanyu yang sering berkunjung.

Aku kemudian diperkenalkan kepada laki-laki pelamun itu. Namanya Rizal, orang Manado yang baru datang dari Gorontalo. Rizal baru lulus SMA tahun lalu dan mau kuliah di ISI. Berbicara ISI, mengingatkanku kepada Panji. Aku sambut uluran tangannya, jabatan tangannya begitu kuat, sesaat sorot matanya yang suram itu menghangat. Mas haris memintaku untuk sering mengajaknya ngobrol karena katanya Rizal ini pemalu.

Pemalu?? 

Mas Rizal, begitu aku memanggilnya, sama sekali tidak pemalu. Ia hanya tidak banyak bicara dan pelamun ulung. Ketika aku semakin akrab dengannya, aku mendapati ia sebagai laki-laki yang sangat jujur dalam berpendapat, bahkan terkadang menjadi sangat menjengkelkan karena kejujurannya bisa menyakitkan hati. Contohnya ketika aku menceritakan kedatangan Papaku. Bang Rizal mencolek hidungku dengan telunjuknya dan bertanya apa aku senang.

Aku bercerita tentang rasa sakit hatiku. Aku tadi menemani Aji, adikku berjalan-jalan. Awalnya semua baik-baik saja sampai Aji mengajukan satu pertanyaan yang paling kubenci, yaitu aku ini anak siapa. Aku membisu. Sampai rumah, aku temui Papa. Disana juga ada Yangti dan Mama Ratna. Aku bertanya, apa masalah aku anak siapa juga harus aku jelaskan kepada Aji?? Apa Papa dan Mama Ratna tidak berani menjelaskan dengan jujur?? Aku sendiri bukannya tidak berani, tapi aku tidak mau. Ini bukan kewajibanku. Papa sama saja seperti mamaku, takut mengakui aku sebagai anak.

Aku juga bercerita betapa aku membenci hari lebaran. Setiap kali lebaran tiba, keluarga besar berkumpul dan aku merasa asing karena tidak punya siapa-siapa. Tiap keluarga akan berfoto bersama, sedangkan aku tidak tahu harus masuk ke keluarga siapa. Papaku takut menyapaku. Hanya keluarga Om Hari dan Tante Wiwik yang menerimaku berfoto bersama keluarga mereka. Lebaran tahun kemarin, aku kabur ke kamar dan tidak keluar-keluar karena kesal dengan sikap papa. Ketika sudah agak lama, baru Papa menyusulku ke kamar. Kupikir ia akan memelukku atau apa, ternyata diam saja hanya memberiku uang. Aku melempar uang itu, bukan uang yang kubutuhkan.

Aku menangis ketika menceritakan semua itu, tetapi dengan datar Mas Rizal menyuruhku berhenti menangis. Aku tidak boleh sakit hati karena semua sudah berlalu. Di usia 14 tahun, aku sangatlah perasa. Aku marah kenapa Mas Rizal tidak mengerti perasaanku. 

"Aku memang tidak mengerti kenapa kamu harus selalu menangis."

"Mas punya segalanya dalam hidup!! Mas punya Papa, Mama, Kakak dan Adik. Abang punya semua, sedangkan aku tidak punya apa-apa. Tadi Papa dan Mama Ratna cuma diam waktu aku protes soal Aji. Mengapa mereka semua pengecut begitu??"

"So what??"

"Apa Mas tidak melihat bagaimana aku bisa lewati semua ini dengan baik?? Apa Mas bisa kalau jadi aku?"

Cerita Seorang Bipolar DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang