Bagian Duapuluh

4.1K 334 19
                                    

Aku harus dihadapkan pada kenyataan dan orang-orang di sekelilingku. Rasa sakitku ini menjadi cobaan, semua membawaku ke tepi jurang kehancuran. Aku sadar dengan diagnosis dokter kalau aku adalah seorang penderita gangguan jiwa. Aku mungkin harus menelan hujatan, cacian, sumpah serapah, hinaan, rasa takut, luka, pedih, kehilangan, putus asa, kecewa, amarah, dan semua rasa terburuk yang bisa dirasakan hati manusia. Kalau aku berdiri di batas yang diciptakan orang lain, penghakiman bahwa Tuhan memberiku rasa sakit dan penderitaan, itu artinya aku bukan orang baik dan benar, tetapi karena dihukum dengan sakit dan penderitaan.

Apa yang disebut 'baik' dan 'benar' bagi manusia mungkin berbeda dengan apa yang menjadi kuasa Tuhan. Itulah yang menjadi masalah beratku. Ada saat-saat di mana aku memang pingsan puluhan kali dalam sehari, ketakutan, gemetaran, sesak napas, sampai sakit kepala yang tidak tertahankan, tetapi ada pula saat-saat di mana aku terlihat dengan sehat. Itu yang tidak bisa diterima oleh orang-orang di kantorku. Aku mengalami kendala dalam mendapatkan izin sakit. Meskipun dokter Roy Nusa dan dokter Dhio dengan suka rela memberiku surat izin sakit sebayak apa pun yang kuperlukan, tetapi memperbaharuinya setiap tiga hari sekali sangat menyiksaku.

Aku harus bolak-balik Solo – Salatiga hanya untuk selembar surat izin sakit setiap tiga hari sekali. Itu memakan waktu, biaya dan yang terberat adalah tenaga. Aku beruntung memiliki Mas Fardhan dengan kesabaran dan cintainya, juga sahabat-sahabat serta sepupuku Dendy yang selalu setia memberiku semangat. Mas Harry bahkan rela bolak-balik tiga hari sekali mengembalikan surat izinku ke dokter dan mengantarkannya ke kantor. Padahal dokter Dhio dan aku menharapkan pihak kantor datang menemui dokter untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut tentang penyakitku.

Kantor bisa memberiku cuti sakit dari hasil keterangan dokter, sehingga aku tidak perlu bolak-balik ke dokter hanya untuk selembar surat izin. Mas Fardhan datang khusus daru Balikpapan untuk bertemu dengan dokter Dhio, sebagaimana beberapa sahabatku yang suka rela bertemu dokter Dhio untuk menanyakan kondisiku yang sebenarnya. Mas Fardhan banyak bertanya tentang penyakitku secara detail. Sebagai seseorang yang mengaku sangat mencintaiku. Mas Fardhan merasa harus terlibat dalam proses penyembuhanku.

"Bipolar disorder ini pada waktu tertentu terdiri dari peninggian suasana atau mood perasaan serta peningkatan enegri dari aktivitas mania atau hipomania. Pada waktu lain bisa berupa penurunan suasana perasaan serta pengurangan energi dan aktivitas atau depresi. Mood yang dimaksud dalam bipolar disorder adalah alam perasaan yang menetap dan dirasakan secara internal dalam bentuk suasana hati depresi yang dapat memengaruhi perilaku dan persepsi seseorang terhadap lingkungannya. Perasaan ini timbul pada episode atau keadaan mood di waktu tertentu dan biasanya terjadi sangat cepat dan berlangsung seumur hidup." terang dokter Dhio kepadaku dan Mas Fardhan ketika kami bersama-sama datang menemuinya.

"Sebetulnya ada beberapa banyak episode atau mood dalam bipolar disorder ini dok??" tanyaku.

"Ada lima mood dalam bipolar disorder. Pertama, depresi, Mas akan merasa sangat sedih dan menganggap diri Mas negatif, lalu menarik diri dari lingkungan. Kedua, mania, yaitu jika merasa sangat senang dan bersemangat sampai-sampai Mas ingin melakukan banyak aktivitas sekaligus tanpa berpikir panjang. Tiga, hipomania yang terjadi saat mas merasa cukup senang, tetapi masih bisa mengontrol keinginan. Empat, eutumia yaitu saat suasana hati berada dalam keadaan biasa dan normal. Lima campuran yaitu gabungan dari depresi dan mania."

"Saya pernah mengalami semua itu, dok..." gumamku.

"Kalau ada lima mood, kenapa disebut bipolar disorder, dok?? Bukankah bi itu dua??" tanya Mas Fardhan.

"Pada intinya, bipolar disorder terdiri dari dua mood utama yang dominan, yaitu mania dan depresi. Pada manic atau mania, gejala-gejalanya sudah cukup berat hingga mengacaukan hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial. Harga diri membumbung tinggi dan terlalu optimis, perasaan mudah tersinggung dan mudah curiga. Bertolak belakang dengan hipomanic, gejala pada depresi terjadi sebaliknya. Suasana hati diliputi perasaan depresif, tidak ada minat dan semangat, aktivitas berkurang, pesimis dan timbul perasaan bersalah dan tidak berguna."

Cerita Seorang Bipolar DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang