Tiga // Tatapan

71 9 0
                                    

AKU bingung dengan tatapan itu, seolah ada benang yang mengaitkanku pada jarum, entah aku benangnya apa aku jarumnya, yang pasti, aku hanya melihat dirinya dengan mata cokelat cerahnya menghiasi matanya yang sedikit sipit itu, dengan bulu mata yang nampak dari jauh tak terlihat oleh mata, serta alis tebalnya seolah pelengkap bagian wajahnya yang ... tampan.

Senyumnya juga terlihat dimataku, jarakku dengan dirinya hanyalah beberapa senti saja, aku hanya menatapnya dengan kalimat ketusku yang sengaja ku utarakan kepadanya.

"Bodo amat, gue gak peduli!" ketusku, dia masih saja menatapku, sedangkan Riri hanya melihat adeganku saat ini bersamanya dengan kekehan kecil.

"Oh Embun, lo galak banget ya." alisnya tampak bertaut dengan senyuman mengukir dibibirnya saat ini.

Aku hanya memutarkan kedua bola mataku dan melipat tanganku mengadah di bawah dada, aku bahkan tidak peduli dengan teman di hadapanku, seolah aku ingin menerkamnya saat ini.

"Lo pergi sana."

"Lo tadi nyolot sama gue, sekarang lo ngusir gue, apa mau lo Embun di pagi hari?" tanyanya penuh menatapku saat ini, tatapan yang tak bisa ku paling, entah kenapa awalnya aku merasa biasa saja dengan tatapan ini, tapi lama-lama jantungku seolah berdetak lebih dari biasanya, lalu karena jantungku berdetak melebihi ritme kuputuskan untuk berpaling dari tatapan itu, aku takut. Apa? apa ada yang salah dengan perasaanku ini? Tidak, tidak.

Terdengar kekehan pelan dari lawan bicaraku, aku menatap Diaz dengan percaya diri, kupukul bahunya dengan tonjokkanku yang kuat, tapi entahlah itu terasa sakit atau tidak, yah menurutku pukulanku tak berarti apa-apa.

Diaz tidak sama sekali menolehku, ia lalu beranjak pada anak tangga yang membawanya pada kelasnya-kelasku juga, aku menatap Riri seolah bertanya dengan kejadian tadi, tapi Riri malah tertawa dengan tatapanku, ah entahlah.

"Apa yang lo rasain?" tanya Riri di sela-sela perjalanan kami.

Aku tampak berpikir akan perasaanku tadi, yah aku tak bisa mengutip apapun, aku hanya bisa berkata jujur kepada sahabatku, mungkin memang ini lebih baik. "Jantung gue seolah berdetak lebih cepat."

Riri tersenyum dengan seolah aku bertanya dengan senyuman yang Riri berikan kepadaku, aku tak tahu menau soal ini, yah bisa kalian tebak, aku bukanlah orang yang mudah jatuh kepada orang lain, dan aku bukanlah orang yang suka gonta-ganti pasangan, yang kalian pastikan adalah aku tak pernah dan tak berkeinginan sekali saja untuk mempunyai pacar, ah entahlah.

"Berarti lo mulai jatuh sama Diaz," jawabnya asal dengan tatapan Riri fokus pada arah anak tangga selanjutnya,

"Kok gitu?" aku bertanya penasaran.

"Apa lo masih ada perasaan pada Rangga? Yang telah menyakiti diri lo, Bun?" Riri bersikeras untuk menanyakan yang, yah menurutnya lebih dari tidak penting.

"Oh ayolah, kenapa lo bahas orang itu lagi? Bahkan gue gak sama sekali ada perasaan sejak ...."

"... sejak lo tau kalau Rangga cintanya sama Keith, bukan sama lo," lanjutnya membuatku bungkam setengah mati, rasanya seperti beribu-ribu jarum yang menancap di bagian tubuhku, seolah aku mati rasa dengan semuanya.

"Bangkit kawan, lo gak harus fokus di satu titik itu aja kok, banyak yang harus lo perjuangin setelah ini," kata Riri menyemangatiku, tapi ku balas dengan senyumanku saja, itu lebih baik.

"Tapi bukankah lebih baik diperjuangkan dari pada memperjuangkan?" koreksiku setelah itu, yah nampaknya memang perempuan perlu di perjuangkan, sudahlah, lupakan hal itu.

+++++++

a/n

hai, please leave vote and comment ya!

terimakasih!

salam

nisa

27-12-2015




Everything is Okay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang