KENAPA gue payah dalam hal berlari seperti ini? Sampai akhirnya gue telat untuk menelusuri koridor rumah sakit. Bau obat serta beberapa peralatan dokter membuat gue merinding sendiri, apalagi di dalam sana ada Embun yang tengah diperiksa oleh dokter, kiranya beberapa jam kemudian, dokter keluar dengan mengucapkan kalau Embun gak papa, gak separah waktu dulu. Ah syukurlah, hati gue rasanya lega.
Dari sisi kanan gue, terdengar isakan tangis perempuan paruh baya dengan tisu yang ia tangkup pada wajahnya, disampingnya, Riri yang terlihat lebih menenangkan perempuan itu. Sudah lama gue gak melihat perempuan yang notabenenya adalah Ibunya Embun.
Gue melihat, Tante Kisha--Ibunya Embun, tengah memasuki kamar rawat Embun ditemani Riri di sampingnya. Gue menghela napas dengan berat, sudah dua kali gue melihat Embun terkapar di kamar rumah sakit, rasanya gue gak kuat. Dan sebenarnya apa yang di derita oleh Embun ini?
"Gak masuk, Yaz?" tanya bang Dean yang melihat gue meringkuk di kursi koridor.
Gue tersenyum samar melihat bang Dean yang terlihat lelah sejak tadi. "Nanti aja, lo kalau masuk duluan, silahkan."
Bang Dean hanya mengangguk lalu menepuk pundak gue sebelum ia beranjak untuk masuk ke kamar inap-nya Embun. Gue lagi-lagi menghela napas untuk beberapa saat, rasanya ingin mengeluarkan air mata, dan satu kasus lagi, kenapa Embun tadi pingsan di gudang dengan segala bercak darah merah diseragamnya?
-----
Embun.
Aku melihat Mama dengan wajahnya yang lesu, dengan matanya yang sembab, terlihat kalau ... dia terlihat habis menangis. Aku tersenyum hangat melihat Mama dan di sampingnya Riri yang terlihat lelah. Dan sekarang ku lirik, bang Dean yang terlihat menampang cengiran yang sangat aku rindukan, mengingat beberapa hari yang lalu, bang Dean yang terlihat sibuk dengan persiapan UNnya.
"You okay?" pertanyaan hangat terpancar dari mulut bang Dean membuatku melemparkan senyuman hangat kepadanya.
"Ya, i'm okay," jawabku. "Dan, Ma, you look a craying rigth now."
Mama menggeleng manis dengan air mata yang sengaja ia seka sebelum turun pada permukaan pipinya yang mulus. Lagi-lagi, aku tidak ingin melihat Mama dan yang di sekitarku menangis karenaku disini terkapar di atas kasur rumah sakit.
-----
"Mama mau pulang dulu ya, kamu sama Diaz dulu disini," tutur Mama seraya mengusap pelan puncak kepalaku, sedangkan diriku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah Mama. "Nak, Diaz, tolong jaga Embun ya."
Ku lihat, Diaz hanya mengangguk dengan seulas senyuman terbit dibibirnya membuatku juga ikut tersenyum.
"Bun," kini, tatapan Diaz fokus pada diriku, membuatku tak bisa berkata apapun, sorot matanya yang hangat dan memberi kenyamanan membuatku betah untuk berlama-lama menatapnya. Terdengar helaan napas dari Diaz. "Lo ada apa?"
Aku mengernyitkan alisku sejenak lalu malah balik bertanya ke arahnya. "Ada apa?"
Diaz menyisir rambutnya dengan tangannya sendiri dan membuat jambul rambutnya tersisir ke belakang. "Tadi. Di sekolah. Ada apa? kenapa lo tiba-tiba ada bercak merah, dan lihat, sekarang kepala lo sudah diperban akibat pendarahan hebat, dan lo tadi pingsan, Embun ... cerita ke gue, apa masalahnya sampai lo seperti ini?"
Aku tidak mau urusan ini sampai tersebar luas dan hanya aku yang tahu soal ini serta Keith dan para dayangnya saja yang tahu keberadaanku yang tadi. "Gak, Yaz. Gak ada apa-apa."
"Kalau gak ada apa-apa kenapa lo sampai dirawat serta pingsan begitu?"
Aku menghela napas dengan berat. Aku tak bisa membohongi diriku sendiri saat ini, tapi kenapa Diaz sampai mengintrogasiku seperti ini?
"Gak bisa jawab 'kan," terdapat senyuman miring dari sudut bibirnya, "Gue tau lo bohong, Bun."
Ada keheningan menyelimuti kami berdua, kita sama-sama diam, tak ada yang mencari topik apapun, dan sepertinya Diaz menunggu jawabanku.
"Emang jujur membuat lo sengsara?" kalimat itu lagi yang membuatku geram kepada Diaz untuk sekarang, kenapa Diaz mengatakan hal semacam itu sih? aku 'kan gak bisa jawab untuk sekarang. "Oke, kalau lo gak mau cerita untuk saat ini karena gue rasa membuat lo shock, yaudah, gapapa. Intinya sekarang lo istirahat, gak boleh memikirkan apapun. Oke?"
Aku hanya mengangguk, entahlah, aku tidak kuat berbicara banyak untuk sekarang, dan sekarang, rasa pusingku kembali muncul. Lubang hidungku dipenuhi oleh darah, aku harus buru-buru ke kamar mandi untuk membasuh ini. Tapi bagaimana? Aku diinfus sana-sini, serta beberapa alat dokter lainnya yang tak kukenali namanya.
Aku melihat Diaz yang sedang asik menonton televisi di depan tempat tidurku, matanya tetap fokus tanpa ada rasa menganggu. Aku ingin memanggilnya sebelum—
"Bun? Kenapa? lo mau kemana?" Diaz menoleh ke arahku, melihatku bersusah payah untuk bangun, dan Diaz menjerit melihat hidungku penuh dengan cairan kental, aku tak kuat untuk berbicara jadi aku hanya menggeleng.
"Bun, lo kenapa?" tanyanya menghampiriku yang bersusah payah untuk melepaskan selang infusanku, "Lo gak boleh seenaknya melepaskan selang infusan ini, Bun. Dan lo mimisan!"
Dengan segera Diaz menekan tombol panggilan untuk dokter, dengan secepat kilat, dokter muncul dari ambang pintu.
"Kenapa dengan pasien Embun?" tanya dokter dengan penuh perhatian, dokter melihat bagian hidungku, dengan cepat aku digiring untuk mengadah pada langit-langit kamar untuk menghentikan acara mimisanku ini. Yaampun, padahal ini hanyalah mimisan biasa.
"Kamu pasti belum minum obat ya?" tanya dokter setelah menanganiku.
Aku menggeleng, jujur aku malas untuk minum obat. "Be-belum, Dok."
"Ya sudah, kamu harus minum obat Embun, untuk pereda penyakit kamu. Apa kamu tidak mau sembuh?"
"M-mau Dok, tapi-"
"Gak ada tapi-tapian, Embun, lo tuh harus minum obat biar sembuh, lo emang mau terus-terusan sakit kayak gini? Lo mau menderita sepanjang hari karena ini? Ha?" desas-desusan Diaz membuat telingaku sakit sendiri. Bagaimana tidak? Diaz dengan sengaja memotong ucapanku lalu bertingkah layaknya ibu-ibu kosan yang ingin menagih uang bulanan.
Dokter yang ku lihat dari nama yang tertera di kemeja dokter adalah: Briyan. Dokter Briyan tersenyum lalu berujar, "Wah, pacar pasien Embun sangat perhatian sekali ya. Embun, kamu sangat beruntung mempunyai pacar seperti dia, selalu perhatian sama kamu."
Wah, pacar ... Pa? Car? Pacar? Barusan dokter Briyan bilang apa? PACAR?
Terlihat dari mimik wajah Diaz yang merona merah karena pernyataan yang dilontarkan oleh dokter Briyan itu. astaga. Kenapa dokter bilang macam itu sih? padahal aku dan Diaz tidak memiliki hubungan yang ... spesial.
"Gak, dok. Kita gak pacaran," ucapku berbarengan dengan suara khas berat Diaz. Apa-apaan ini?
"Tuh 'kan, bilang kayak gitu aja serempak. Ckck."
Aku mendengus, begitupun Diaz. Karena kami hanya memalingkan wajah karena malu. Ya. Malu karena rona merah dikedua pipi kami. Sedangkan dokter Briyan, menertawakan kami.
++++++
a/n
balik lagi ya? jangan bosen dengan ceritaku ini HEEE...
maklumin saja kalau gue update nya lama. banyak tugas, presentasi, blablabla.
oke, disini Embun sakit lagi): kesian ya?
itu aja. oke? bye
regards,
nisa
24-01-2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything is Okay
Roman pour Adolescents(buku ini dalam masa hiatus) Seorang Embun Kelamarsya, yang pemalu, lemah lembut serta feminim ini, mengalami banyak cobaan dalam hidupnya. Ya, seperti pada umumnya orang kebanyakan. Ia menyukai temannya, namun pria yang ia sukai, malah mencintai te...