Empat // Br(ok)en

61 7 0
                                    

AKU duduk di kursi nyamanku, di bawah langit sore yang nampaknya mendung, diperkirakan malam akan datang hujan dengan lebat, yah seperti hatiku saat ini mendung, aku bilang kepada Riri bahwa aku akan baik-baik saja, nyatanya aku masih menangis setelah aku tahu Rangga mencintai Keith, begitu sebaliknya, aku kaget, shock, dan entahlah aku tak bisa menjabarkan satu persatu.

Aku membalik halaman selanjutnya yang terdapat dalam novel tebalku, sesekali aku membenarkan kacamata yang ku pakai saat ini, saat baca seperti ini, aku memang sengaja menggunakan kacamata baca. Mataku min.

Suara gerontak, pecahan piring, teriakkan, sudah tak asing bagiku, bagiku itu hanyalah hiburan tiap sore menjelang malam seperti ini, kadang pada malam hari, sore yang ku nantikan hilang sudah mendengar teriakkan Mama yang ada di bawah sana. Aku heran dengan kedua orang tuaku, kalau hobi mereka bertengkar setiap hari kenapa gak sekalian pisah saja, dari pada membuat keributan disini, aku hanya terganggu. Sejujurnya aku takut.

Suara ketukan pintu membuatku tambah hilang konsentrasi untuk membaca novelku saat ini, aku menutup novelku dengan pembatas buku, lalu kuletakkan novelku di atas meja di sampingnya aku letakkan juga secangkir teh hangat dan sepiring cookies renyah.

"Ada apa?" tanyaku dengan heran, kenapa tiba-tiba abangku datang ke kamarku, abangku selalu begini, ia juga kadang suka takut, entahlah. "Pasti takut ya?"

Bang Dean hanya menatapku datar lalu menggeleng, ia meminta izin untuk masuk ke dalam kamarku, aku mengangguk seraya menatap bang Dean dengan heran, ada apa dengannya?

"Kenapa sih, Bang?"

Bang Dean hanya menghela napas berat lalu mengacak rambutnya frustasi, "Gue ... gue udah muak dengan tingkah bokap yang selalu nyakitin nyokap, Sya."

Aku hanya memejamkan mataku sejenak dengan butiran air mata yang kutahan sejak dari tadi, aku tau maksud dari perkataan bang Dean itu, aku beranjak dari dudukku, aku mencoba berani untuk keluar kamar dan mendapati Mama yang tengah di tampar habis-habisan oleh Papa, sungguh menyakitkan.

"PAPA CUKUP! MAMA GAK SALAH APA-APA KENAPA PAPA SELALU NYAKITIN MAMA! KENAPA PAPA GAK PUAS DENGAN SEMUA YANG SUDAH PAPA DAPAT?" teriakku takut-takut, jujur aku sangat takut akan hal ini, sudah beberapa kali kedua orangtuaku selalu bertengkar tetapi ku diamkan sesaat nantinya juga bakalan mereda, tapi kali ini beda, ku lihat raut wajah Mama menegang seolah takut nanti apa yang Papa perbuat lagi, sedangkan Papa dagunya mengeras, kepalan tangannya siap menerkamku seolah akulah mangsanya.

"KAMU INI!" teriak Papa dari arah bawah, dengan cepat papa menaiki anak tangga, aku disini, di atas, di anak tangga ketiga dari atas, telapak tangan Papa hampir melayang di pipiku tapi dengan cepat ada yang menangkap tangan Papa.

"Apa-apaan kamu Dean?" geram Papa, aku kaget, sejak kapan bang Dean ada di belakangku, aku nyaris saja tersedak dengan insiden ini, semua nampak tegang, termasuk diriku.

"Papa gak cukup buat Mama kesakitan? Sekarang malah Marsya yang buat Papa menderita kayak Mama, apa Papa juga mau nyakitin anak Papa sendiri?" Dean menanyakan itu dengan sesantai mungkin, bang Dean melepaskan tangan Papa seraya menatap tajam sang Papa.

Papa menggerontakan giginya dengan keras, ku rasa Papa benar-benar marah kali ini, entahlah aku juga tidak tau soal hubungan orangtuaku saat ini, Ma, Pa, tolong berhenti buat adegan seperti ini, aku takut. Ma, Pa, tolong baikkan.

"Kamu gak usah ikut campur Dean!" gertak Papa dengan keras, bang Dean menarikku sekencang mungkin agar Papa tak menampar kami berdua, aku takut dengan situasi seperti ini, tapi bagaimana dengan keadaan Mamaku? Apa dia baik-baik saja? Ah sudah kutebak dia sekarang sedang ketakutan, jujur aku sayang dengan orang tuaku, tapi entah kenapa waktu merubah semuanya. Ya, semuanya.

Aku menangis dikala itu, aku takut, aku ... butiran air mataku menetes di kedua pipiku, seolah bayangan orang tuaku teringat kembali, bang Dean menenangkanku dari mimpi burukku ini, bang Dean membawaku ke lantai tiga, tempat favoritku bersama bang Dean, disini, ya rooftop aku suka sekali dengan tempat ini, membuatku damai.

"Jangan nangis lagi, oke?"

Aku menghapus air mataku, hatiku terasa sesak, sakit bagaikan ketimpa besi yang berkilo-kilogram, aku takut kalau penyakitku kambuh, entahlah, setiap aku menangis dadaku selalu sesak tak bisa napas, seolah ada yang mengganjal, aku benci dengan kata menangis, apa lagi sekarang aku melakukan kata itu.

Aku tersenyum kepada bang Dean dengan senyum ala diriku, Marsya, yah itu nama panggilanku di rumah. "Ok," aku mengancungkan jempol di bagian kanan lalu beralih pada jalanan komplek dan disekitarnya dikelilingi oleh gedung pencakar langit.

Bang Dean membalas senyumanku dengan abadi dan tenang, kepalaku kuletakkan pada bahu bang Dean, aku dan bang Dean sangat menikmati sore menjelang malam seperti ini.

++++++++

author's note

hm

gimana dengan bagian ini?

pendek? memang.

itu aja cukup.

salam,

nisa

28-12-2015



Everything is Okay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang