Sembilan Belas // Pulang

43 3 0
                                    

SENANG rasanya jika sudah bebas dari jeratan peralatan dokter, terbebas dari infusan dan sebagainya. Ya, benar sekali. Aku boleh pulang sejak tiga hari yang lalu aku dirawat inap disini. Tubuhku memang sudah stabil sekarang. Dan kemungkinan aku juga sudah boleh bersekolah esoknya.

"Kamu pokoknya gak boleh jajan sembarangan, makan harus teratur serta tidur kamu yang di jaga ya, Sya," pinta Mama kepadaku. Yang Mama lakukan sekarang adalah membereskan baju-bajuku, melipatnya rapih lalu memasukkan ke dalam tasku.

Aku mengangguk, mataku tak lepas dari novel yang semenjak dari kapan tau aku ingin baca tapi tak sampai.

"Sya? dengar ucapan Mama 'kan?" tanya Mama yang membelakangiku. Pantas saja Mama tak tau jawaban singkatku itu.

"Iya, Ma."

"Ya sudah, Pak Kiki sudah nunggu di lobby. Kamu ke sana duluan aja, Mama mau ngecek administrasi dulu," ujar Mama dan diberi anggukkan olehku.

-----

Diaz.

Katanya Embun pulang sekarang. Tapi dari tadi, gue cek mondar-mandir di teras gak ada mobil Embun yang memasuki pekarangan rumahnya.

"Cari apaan sih, Yaz?" tutur Zaneth melihat gue yang mondar-mandir gak jelas gini. "Komi ada kok di dalem, lagi nonton tv sambil makan popcorn."

Apaan sih, siapa juga yang nyari Komi? Gue bahkan gak tertarik sama sekali dengan Komi. "Gue lagi nunggu Embun pulang."

"Wah! Embun pulang sekarang?" tanyanya dengan suara cemprengnya itu.

"Iya, Neth."

Zaneth masuk ke dalam, entah untuk ngapain, gue juga gak peduli dengan urusannya dia. Yang gue pikirkan adalah lagi apa Embun disana, dan apa dia sudah makan? Oke-oke, gue memang bukan siapa-siapanya dia. Gue juga gak berani nembak dia. Entah kenapa. Padahal dalam hati gue sudah bilang kalau gue sayang dia, mulut dan hati seakan belum seirama, ya jadi gue akan menunggu waktu yang tepat.

Lama gue melamun suara klakson mobil memecah keheningan gue. Gue melirik mobil fortuner coklat milik keluarga Embun yang berada di balik gerbang rumahnya. Dan asisten rumah tangganya yang gue ketahui bernama Bi Iyem itu membukakan gerbang. Dengan cepat gue berlari ke arah tembok yang membatasi antara rumah gue dan Embun.

Gue tersenyum senang melihat Embun yang turun dari mobil, dengan tangan tak lepas dari novel fiksi favoritnya itu, bahkan gue berasumsi kalau Embun memiliki ratusan novel fiksi kesukaannya di rak bukunya.

"Embun!" gue melambaikan tangan pada pembatas tembok. Ya memang tidak terlalu tinggi untuk gue gapai.

Embun membalas lambaian tangan gue dengan seruan senang. dia mengampiri dimana gue berdiri, lalu ia tersenyum senang. "Diaz, ke rumah Embun sini,  Bi Iyem masak banyak."

"Wah, makan-makan dong!" teriak gue seperti anak kecil. Aduh, maklumi saja kalau gue memang seperti anak kecil.

"Iyalah," jawabnya dengan senyuman tak lepas dari wajah yang imut itu. "Sekalian ajak Zaneth ya, Yaz."

"Pasti."

"Aku tunggu," ujarnya seraya berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Aku tunggu.

Oh, kata itu seakan memang Embun menunggu gue, dan apalagi dengan kalimat 'aku' gue berasumsi kalau Embun menyukai gue. Eh? Apa-apaan gue berharap lebih seperti itu? gak gak, gue yakin Embun masih mencintai Rangga yang notabenenya sudah memiliki Keith.

Everything is Okay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang