Enam Belas // Kesialan

50 4 0
                                    

Embun.

SENIN pagi, seperti biasanya, melakukan aktivitas keseharianku. Yap sekolah. Dengan wajah ceriaku yang biasa aku pancarkan setiap saat. Mengingat betapa bodohnya diriku yang sekarang hanya tersenyum gila karena perihal kemarin saat aku diantarkan pulang oleh Rangga. Ah rasanya tak bisa melupakan moment itu.

"Bun?" panggil seseorang yang sepertinya memberi jeda untuk kalimat selanjutnya, "lo gak papa 'kan?"

Aku terkesiap melihat Riri yang sekarang sedang menaikkan salah satu alisnya karena kelakuanku yang sangat aneh saat ini. Dengan segera Riri menempelkan punggung tangannya pada dahiku, saat itu juga aku mendengus kesal dengan perilakunya, aku menyingkirkan tangannya dari dahiku sekarang juga.

"Gue gak papa, Ri," ujarku dengan kesal.

Riri terkekeh dengan omonganku. "Ya lagi, lo senyum sendiri di ketenangan kelas hari ini, yang untungnya lo gak diliatin sama Pak Dendi."

Aku hanya bisa mendengus pelan, beruntunglah diriku hanya Riri yang menyadari kalau sejak tadi aku tidak memperhatikan Pak Dendi menerangkan di depan, malah aku hanya senyum sendiri. Bertingkah bodoh.

Riri menyipitkan matanya ke arahku, memandang aura wajahnya yang sepertinya sekarang me-intimidasiku, aku mengernyitkan alisku melihat Riri yang seaneh itu.

"Kenapa lo?"

"Lo utang cerita, Bun, sama gue," jawabnya berpikir sebentar untuk kalimat selanjutnya, "ada apa dengan lo, Bun?"

Aku tergelonjat kaget mendengar pernyataannya barusan, aku hanya menggeleng dan segera ku alihkan tatapanku pada arah depan, yah mau tak mau aku harus melihat Pak Dendi menerangkan pelajaran kimia, yang membuatku pusing setengah mati.

-----

Diaz.

Gue memainkan pulpen gue seraya menggerakkan arah pulpennya di atas kertas kosong, menggambarkan sosok perempuan dari arah belakang yang sedang memperhatikan Pak Dendi menerangkan yang entah apa yang diterangkan. Ya perempuan itu adalah Embun.

"Yaz," gue menoleh malas, melihat Ojan yang terlihat betenya sama seperti gue.

"Apaan?"

"Lo ngerti gak apa yang Pak Dendi terangin?" tanyanya dengan sangat amat malas, gue rasa.

Gue nyegir selebar mungkin. "Alhamdulilah."

"Iya?"

"Iya, Alhamdulilah gak ngerti."

Gue tertawa melihat Ojan yang sangat kaget dengan jawaban gue, dengan cepat Ojan menoyorkan kepala gue dengan seenak jidatnya, yeh. Emang lo kira kepala enggak di fitrahin apa Jan?

"Cabut yuk, Jan," perkataan gue membuat Ojan terkesiap dan membulatkan bola matanya lebar-lebar.

"Lo gila!"

"Kenapa emangnya?"

"Lo lihat, Pak Dandi adalah guru ...."

"... Paling galak seantero sekolah dan gak ada yang berani dengannya, dan satu hal lagi. Kalau ada yang berani cabut saat pelajaran dia, apalagi saat dia sedang menerangkan pelajaran yang membuat semua murid bosan, orang itu akan dipanggil ke ruang kepsek," lanjut gue. Yah, gue selalu tau saat Ojan mengatakan hal itu. Sudah beberapa kali gue mengajak cabut saat pelajaran Pak Dendi pada Ojan, ia malah mengelak dan mengucapkan perkataan yang sama seperti apa yang gue ucapkan tadi.

Everything is Okay Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang