Dad and Coffee

55 4 2
                                    

Kopi. Awalnya aku tak begitu menyukainya, tapi semua berubah setelah Ayah menyuruhku untuk terus mengulang mencecap rasanya. Ayah dulu bekerja di salah satu perusahan yang bergerak di dalam bidang otomotif, tapi mimpinya untuk mendirikan kedai kopi tak pernah berhenti. Didalam ingatanku semua terjadi begitu cepat, Ayah keluar dari perusahaan dan lebih memilih membuat kedai kopi seperti impiannya tepat disaat aku lulus sekolah dasar. Aku ingat sore itu mba Alen memelukku, dia berkata bahwa aku harus segera tumbuh menjadi gadis dewasa dan tidak lagi menanyakan dimana keberadaan Ayah kepada Bunda

Dulu saat masih kecil, setiap malam, di depan teras, Ayah sering bercerita tentang bidadari yang terkurung di dalam Bulan, Jaka Tarob yang mencuri selendang, seekor kancil juga tujuh orang kurcaci dan seorang putri,

'Jadi seperti apa putri cantik itu Yah?' Aku menatapnya setelah membenarkan letak dudukku di pangkuannya

'Yah hampir mirip sepertimu lah.' Dia tersenyum lalu mengacak punuk kepalaku.

Semua berjalan semestinya, aku tumbuh dewasa lalu mulai mengerti bahwa perceraian bukanlah alasan untuk menjadikanku perempuan liar. Bunda mencintaiku, dia membesarkanku sendiri tanpa bantuan pria lain di sisinya. Mas Gema dan Mba Alen sesekali mengunjungi rumah, aku tidak lagi berharap bahwa suatu hari nanti kami akan kembali berkumpul bersama. Buku cerita, kaset tape, selendang biru, suling yang berwarna putih gading dan beberapa jaket rajut pemberian dari Ayah dulu masih tetap tersimpan didalam lemari kayu, biarlah semua tetap ada dengan semestinya. Biar saja semua tersimpan rapat-rapat hingga suatu hari nanti Ayah akan datang menjelaskan kepadaku mengapa dia pergi tanpa memberi salam ataupun kata perpisahan. Mungkin, Tuhan membuat semuanya seperti ini karena tahu bahwa yang terbaik tak selalu menjadi sesuatu yang diinginkan.

Ayah sering menyodorkan espresso kepadaku ketika berusia empat tahun, dia akan tergelak ketika aku mengerutkan wajah dan mengadu kepada Bunda. Laki-laki jawa beralis tebal dengan kulit kecokelatan itu selalu membiarkan aku meminum kopi buatannya lebih dulu. Ayah sering kali membawa beberapa biji kopi ketika pulang dari luar kota. Dia menciptakan banyak minuman pahit dengan berbagai macam bentuk dan rasa, kecintaannya membawa ku kepada segelas latte disaat hujan akan turun. Tangan besarnya lihai dalam memasukkan bubuk kopi kedalam mesin.

Ayah menyukai kopi. Dia akan bersorak dan menari dengan gembira ketika mendapat biji kopi arabia atau menciptakan menu kopi baru dirumah. 'Tunggulah sayang, Ayah akan membuat secangkir kopi'

Tak perduli meski ruang dapur sering kali berantakan karena ulahnya, atau stock gula yang habis dengan begitu cepat, Bunda tak pernah mengeluh dan memarahinya.

'Cobalah.'

Senyum mengembang di balik wajah keriputnya membuatku segera mencicipi kopi buatannya, dan saat itulah aku sadar bahwa kopi akan menjadi minuman terbaik suatu hari nanti.

'Kenapa harus disaat hujan, Yah?' Aku bertanya setelah mencicipi latte buatannya untuk yang kesekian kali 'memangnya kenapa?' Aku masih menatap wajah kecokelatannya tanpa mampu memberikan jawaban 'Hujan dingin dan kopi latte ini panas bukannya mereka memang sudah ditakdirkan untuk berjodoh?' Dia mengangsurkan cangkir putihnya kehadapanku lalu tergelak.

Hingga perpisahan di bulan Juli dengan Bunda, dia masih menjelaskan bahwa kopi adalah satu bagian besar dalam hidupnya. Kopi yang telah jadi; entah itu latte, moka, cappuccino ataupun espresso; di bawa ke beranda rumah, tempat kami sekeluarga berkumpul bersama untuk menikmati bintang dan bulan dibelakang rumah sambil sesekali mengerjakan tugas sekolah atau membaca buku cerita.

Diberanda bersama secangkir kopi buatan Ayah memang selalu manis.

Glass At RoadsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang