Jahitan Bunda

60 5 0
                                    

Bunda memiliki darah Jawa, tanpa campuran apapun. Matanya sipit dan kulitnya kuning langsat, yang bila ditempa lampu atau sinar matahari terlihat lebih putih dari biasanya. Tubuhnya kecil dan lebih pendek dariku, giginya tersusun rapih dari balik bibir tebal merahnya. Perempuan yang selalu memotong rambut lurusnya tiap kali melewati bahu itu mencintai bahan, benang dan jahitan. Sesekali aku mendapatinya membuat gaun selutut dari potongan kain katun berbunga. Ditengah kesibukannya yang bekerja disalah satu garmen, dia tak pernah mengeluh jika aku mengalami masuk angin atau sekedar terkena flu. Tangan keriputnya cekatan membuat jahe hangat dan memijat punggungku sesekali bila aku lelah karena jam sekolah dan kegiatan ekstrakulikuler yang padat.

Entah itu blouse, gaun selutut, rok, cardigan, celana, ataupun kebaya yang sudah jadi digantungnya selalu di salah satu dinding dengan senyum senangnya.

"Jadi desainer saja La, lalu nanti Bunda yang menjadi penjahitnya." Malam itu, dikamar Bunda menatapku riang, dia membawa secangkir cokelat panas dan dua potong bolu gulung rasa pandan yang diwadahi piring kecil berwarna coral.

"Aku mau kerja di rumah sakit Bun, boleh kan?" Aku menatapnya takut-takut, diantara tumpukan buku soal tebal yang memberi cara ampuh untuk dapat lulus SNMPTN atau SBMPTN itu berada. IPS lah yang justru menarik minat ku, sekali lagi sepertinya aku harus mengecewakan Bunda.

"Dokter atau perawat?" dia tersenyum hangat lalu mengusap punuk kepalaku.

"Psikolog Bun. Aku mau jadi psikolog." Jawabku nyaris seperti bisikan.

"Bunda mendukungmu." Dia menepuk pundakku pelan, lalu berlalu dan hilang dari balik pintu cokelat gelap kamarku.

Perempuan itu tak pernah menuntutku, apapun yang ku inginkan akan selalu didukungnya selagi semua masih dalam batasan yang baik. Cinta dan kasih sayangnya membuatku tanpa sadar tak lagi mengharapkan keberadaan Ayah, dia selalu pulang setiap sore dan membawa kue kering atau sekantung buah-buahan segar. Sesekali aku menunggunya di stasiun kereta api, diantara lalu lalang orang yang berebut masuk dan keluar Bunda hadir sebagai salah satunya, kakinya melangkah cepat, senyumnya mengembang sempurna meski guratan lelah terlihat dengan jelas ketika dia mendapatiku berdiri diantara orang-orang yang menunggu.

Bunda adalah perempuan hebat yang begitu ku kagumi, saat masa-masa sekolah menengah pertamaku tiba tak sedikitpun dirinya terlihat terpuruk dan menyalahkan kepergian Ayah. Saat kacamata ovalnya membingkai cantik dan bertengger manis dibatang hidung, dia akan menjelaskan tusuk pipih, tikam jejak, silang dan berbagai macam bahan agar aku mendapat nilai sempurna dalam pelajaran tata busana. Sesekali sosoknya ku temukan dibalik ruang jahit, bunyi mesin terdengar dan beberapa kali dia akan berteriak girang "Trella, La ayo coba baju buatan Bunda." Tangannya mengangsurkan gaun yang terbuat dari bahan satin pastel dengan hiasan brokat dibagian dada dan lengan, panjangnya menutupi mata kaki dengan bentuk rok payung yang akan bergoyang bila ku kenakan dan kakiku melangkah.

Ruangan jahit itu diberi warna es krim yang sejuk; vanilla, rum, dan madu, dilengkapi dengan mebel sederhana, tirai tipis tembus cahaya , dua atau tiga tangkai mawar putih segar didalam gelas dimeja bundar sudut ruangan. Mesin jahit, border, dan kancing itu berjejer. Tiga kursi kayu johar dengan balutan bantal bercorak bunga yang didominasi rum itu berdiri tepat dihadapannya. Terdapat sebuah meja kecil berbentuk bundar yang bisa di pergunakan untuk meletakkan satu-dua cangkir kopi disudut ruangan. Bila bunda menjahit, benang dan bahan itu akan bertebaran dimana-mana, menutupi lantai yang tertutup parquet cokelat muda.

Aku mencintai Bunda sedikit lebih besar dibanding cintaku pada Ayah, namun dia mematahkan hatiku lagi untuk yang kesekian kali, sama seperti yang Ayah lakukan dulu.

Glass At RoadsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang