Prolog

78 5 0
                                    

Kali ini seperti minggu sebelumnya, supir taksi membawaku kejalan Paringwirungan di kota Bandung. Setelah menutup pintu, aku berlari-lari kecil sambil menadahi punuk kepala dengan punggung tangan karena rintik-rintik hujan mulai berjatuhan.

Coffe Triple 'S

Tulisan tersebut tertulis pada selembar papan kayu yang tergantung di langit-langit bangunan. Bangunan itu tak begitu besar, bertema vintage klasik dengan nuansa kuno yang antik. Pintu dan jendela yang terbuat dari kaca membuat jalan yang terbentang di sekelilingnya tampak jelas terlihat, sebelum mencapai pintu terdapat beberapa undakan tangga yang terbuat dari beton, juga sebuah kursi kayu panjang dengan rangka-rangka besi berwarna tembaga di sudut sisi. Dinding luarnya di dominasi dengan warna cokelat tua, beberapa bunga kertas berwarna putih berderet sejajar berdampingan.

Ketika membuka pintu, lonceng berdencing lembut seperti memberi ucapan selamat datang. Harum perpaduan biji kopi dan esense vanilla membuat siapapun yang menghirup mengembangkan senyuman. Di langit dinding ruangan yang berwarna putih gading terdapat tampilan polos beton yang tidak di plafon, dan untuk melunakkannya dibuatlah sejenis plafon drop dari bahan kayu oak yang melingkar-lingkar. Penempatannya berada tepat pada posisi balok-balok struktur plat lantai, pada celah drop diberi lampu untuk memperkuat keberadaan kayu oak, dikombinasikan dengan wallpaper hitam putih bertema kontemporer.

Dinding sebelah kanan mencemantel sketsa-sketsa berpigura. Tepat di hadapanku bar mini tempat barista meracik kopi dan minuman yang terbuat dari beton ekspos dan juga lantai marmer itu menetap. Lampu-lampu bergelantungan, sebuah kabinet dari kayu di beri warna coklat pastel memberi tumpuan pada etalasase kaca yang berisi cangkir-cangkir bening kecil dengan aneka bubuk kopi didalamnya. Ada meja panjang dan jejeran kursi berkaki tinggi khas kedai kopi Italia. Posisinya menghadap langsung dengan coffe bar. Lalu, tepat di depan meja panjang ada empat buah kursi yang disusun melingkar dengan meja ditengahnya. Dan tepat disebelah, dekat kaca yang menghadap keluar terdapat dua kursi yang disusun untuk dua orang.

Dari jarak dua meter lebih terdapat rak putih yang tingginya nyaris mencapai langit dinding. Stoples kaca besar berderet apik, menyajikan biji kopi arabika, robusta dan lainnya. Beberapa mesin espresso di biarkan terpajang seperti syphon, Vietnam drip, pour over dan French press. Salah satu keunikan dari kafe ini, terdapat sekeranjang rotan yang dijejali plastik gula-gula, disisinya puluhan cookies dan cokelat berderet, terlihat dari balik toples kaca yang dilingkari pita satin diujungnya.

Pilihanku jatuh pada sebuah meja bundar di sudut kiri, tepat berada disamping kaca jendela. Ada dua kursi yang terbuat dari kayu mahoni dengan bantalan persegi balutan bahan berwarna merah bata. Sore ini tidak ada janji dengan seseorang, ataupun sesuatu yang kutunggu, tapi mungkin Joe akan menemaniku seperti minggu-minggu sebelumnya. Bercerita tentang kopi sembari membuatnya dengan teliti. Seperti minggu kemarin, laki-laki itu menjelaskan cara membuat caramel macchiato, minuman kopi yang di campur dengan sirup vanilla creamy lalu ditambahkan dengan topping busa susu dan sirup karamel. Perpaduan antara manis dan pahit yang meneduhkan.

Seseorang berjalan menghampiri.

Diko

Nama itu tertulis dari bordiran putih di atas saku kaus hitam kerjanya, laki-laki itu menggunakan celemek berwarna hitam dan celana panjang warna senada. Dia berdiri disampingku dengan tinggi yang nyaris mencapai 180 centimeter setelah beberapa menit aku memandangi jendela. Kulitnya putih bersih, matanya nyaris hilang jika senyum tertampil di garis wajah tegasnya. Wangi kayu manis menguar, rambut hitam pekat selembut sutera membuat banyak perempuan nyaris menjerit frustasi karena rasa iri. Barista berbakat dengan senyum hangat. Begitulah perkiraanku nantinya.

"Kali ini caramel macchiato lagi?" Dia mengangsurkan daftar menu, aku tersenyum kecil ketika mendengar sapaan awal.

"Mungkin kali ini aku harus coba espresso." Aku mendongak, dia mengangguk dan segera menulisnya.

"Ah ya, juga croissant dan apple pie." Aku mengangguk-anggukan kepala, seolah berkompromi dan bersepakat dengan diri sendiri.

"Mau melihat cara pembuatan kopinya?" Dia mengambil buku menu tersebut dari angsuran tanganku setelah menyelipkan bolpoin kedalam notes kecil yang saat ini sudah bertengger manis di saku baju.

"Tentu." Aku tersenyum lebar. Dia mengangguk dan segera berlalu.

****

Aku menyapu pandangan kearah lorong kecil yang berada di ujung kiri bangunan, dindingnya terdapat wall conving yang unik, yaitu ban sepeda yang di daur ulabg sedemikian rupa dengan hiasan lukisan kecil ditengahnya. Ketika aku mengintip dibalik lorong, empat meja dengan kursi duduk ditata untuk memberikan kesan privat privacy yang kental.

Espresso memiliki warna hitam pekat dengan aroma yang kuat. Secangkir espresso bisa dinikmati dengan menekan bubuk kopi didalam portafilter. Penyajiannya murni hanya seduhan kopi yang digiling dengan air mendidih. Aku mulai memperhatikan Diko yang sudah memulai racikan kopi tersebut dengan teliti. Ketika tubuh tingginya merunduk, bibir berwarna merah itu membuatku berfikir kemungkinan-kemungkinan pemakaian gincu atau pewarna bibir yang di sapukannya agar terlihat menggiurkan.

"Espresso sering disebut shot karena kopi ini berasal dari proses menekan kopi giling." Dia meletakkan cangkir kopi berwarna putih polos itu tepat di hadapanku.

"Kopi ini dibuat dengan cara mengekstraksi biji kopi menggunakan uap pada tekanan tinggi." Aku mendengarkannya sambil menghirup wangi kopi ini dalam-dalam.

"Bahasanya gak usah formal gitu kali lah." Aku masih memejamkan mata dan menikmati wangi kopi ini sebelum suara bass seraknya membuat hatiku sedikit berdenyut nyeri.

"Bagaimanapun juga kamu tamu, dan saya pelayannya." Dia masih berdiri tegap tanpa bergeser seinci pun. Dan jelas, bukan keinginannya untuk tetap berada di sampingku.

Barista tidak meninggalkan tamu sebelum mendapatkan pesanannya terpenuhi.

Peraturan berat di kafe ini tertulis dengan text huruf tebal berwarna hitam diatas selembar papan besi logam yang tergantung di sebelah rak putih. Itulah alasan mengapa laki-laki bermata sipit yang sudah dua kali menjadi barista pembuat kopiku mematung layaknya patung lilin dengan hidung bangir yang menghirup oksigen.

"Moka disini beneran paling enak. Jadi apa rahasianya?" Aku menatapnya dan mengalihkan topik, lalu mengambil ponsel dari balik tas ransel biru muda. Hanya sekedar ingin tahu apa Bunda akan meminta barang bawaan lagi seperti biasa juga sekaligus mencairkan suasana.

"Kami menambahkan kokoa didalam lalu menggunakan bubuk kayu manis diatasnya. Mungkin itu yang membuat cokelat panas disini terasa sedikit berbeda." Dia masih menjawab dengan bahasa kaku dan formalnya. Aku mendesah pelan. Ku kira setelah pertemuan kedua dia akan lebih banyak tersenyum manis dan menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk di mengerti.

Dan aku tentu tahu moka merupakan campuran espresso, susu dan cokelat. Jenis cokelat yang ditambahkan pada kopi pun beragam, mulai dari kokoa manis, susu cokelat, sirup cokelat, dan cokelat hitam. Selain itu moka sendiri sering disebut dengan cokelat panas yang ditambah sedikit espresso.

"Joe hari ini gak masuk?" Aku kembali mendongak untuk melihat laki-laki disampingku. Dia menggeleng tanpa bersuara. Salah satu tipe laki-laki menyebalkan yang nyatanya irit bersuara. Salahkan mengapa aku bisa memprediksi dia menjadi pria hangat nantinya.

"Kenapa? Dia sakit? Atau apa?" Aku mulai menyesap kopiku sesudah memutar-mutar cangkirnya.

"Dia menikah." Jawabannya membuat kopi yang mulai tercecap di lidah dan nyaris masuk kedalam kerongkongan tersedak keluar.

Aku melotot tak percaya, mataku membulat dengan sempurna kemudian berganti rawut wajah untuk memastikan apa laki-laki disampingku sedang memulai umpan candaan. Tapi wajahnya datar tanpa ekspresi, mata sipitnya menatapku dalam. Dan aku tersadar, dia tidak berbohong juga tidak membuat candaan. Setidaknya dengan perkataan yang baru saja terlontar dari bibir merahnya.

Glass At RoadsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang