Benefit Friend

20 0 0
                                    


Aku melihat piring-piring porselen bergambar ranuculus tergantung di dinding bercat lavender, setiap sudut sisinya tergantung empat hingga lima buah balon warna warni dengan ujung kertas krep berwarna biru laut. Terdapat meja yang dipenuhi dengan cupcake dan permen warna-warni serta satu kue ulang tahun bertingkat dibawah balon-balon yang tersusun membentuk cemetery sign.

Acara sudah selesai saat kakiku melangkah kedalam ruangan, diantara tumpukan kado berbagai macam bentuk dan karpet beludru berwarna biru skandanvia itu tergelar. Jo dan Lo datang menghampiriku, keduanya mengecup punggung tanganku dan mengambil bingkisan kado yang kubawa.

"Terimakasih Tante Ela." Kedua anak kembar itu memiliki tubuh dan wajah yang serupa, Jo memakai kemeja berwarna navy sementara adiknya Lo, memakai warna gravel dengan padanan yang masing-masing menggunakan celana jins selutut berwarna biru tua. Wanda menghampiriku, dia memberikan pelukan kecil, rambutnya disanggul tipis dan wajahnya sedikit diberi polesan make up. Tetap cantik, meski sudah nyaris kepala tiga.

"Maaf telat, kerjaanku ternyata nggak bisa di tinggal." Aku mengatakan dengan rasa sedikit menyesal.

"Nggak apa-apa. Kamu hadir aja aku sudah senang. Ayo duduk." Wanda menggamit tanganku dan mempersilahkan aku duduk diatas sofa karamelnya. Dia berisyarat 'sebentar ya'  Yang ku jawab dengan anggukan. Jo dan Lo masuk kedalam ruangan meninggalkan aku sendiri diruangan ini.

Selepas kepergian Wanda ke dapur, aku melihat ruangannya dengan seksama. Selain piring-piring porselen yang menempel di dinding, terdapat kumpulan figura. Wanda dengan Fanyo yang menggunakan setelan pengantin, Jo dan Lo yang terlihat saling mencubit saat balita, serta beberapa foto lainnya. Ada satu foto pernikahan yang tergantung di paling atas, terlihat jauh lebih mewah dan megah, bingkainya berlapis warna emas dengan ukiran sulur-sulur tanaman yang rumit. Ada Om Gani, Tante Renata dan juga sepasang orang tua dari pihak laki-laki, ditengahnya Wanda dan Fanyo tersenyum manis dengan balutan baju pengantin adat Sumatra.

Lantai berkeramik putih, tiga buah sofa caramel mengelilingi meja panjang berkaki tembaga yang permukaannya terbuat dari kaca mika tebal, dua bunga krisan terbingkai apik didalam vas bunga berwarna koral ditengah meja itu memenuhi ruang tengah, begitulah desain ruangan rumah Wanda yang kuamati. Pintu kaca disamping sofa yang ku duduki, memperlihatkan beranda rumah Wanda yang berada disamping. Tamannya yang cukup luas ditanam beberapa bunga alamanda dan matahari, mawar biru dan melati yang paling mendominasi, dilangit-langit atap, bunga lobelia menggantung cantik, sejak kecil Wanda memang menyukai bunga, terutama bunga-bunga yang berwarna biru.

Ada dua kursi yang terbuat dari besi yang dicat warna caramel, sandarannya berbentuk sulur-sulur tanaman, ditengah-tengahnya terdapat meja kecil berbentuk bulat yang permukaannya juga terbuat dari kaca. Ada beberapa yang berbeda sejak terakhir kali aku memasuki rumahnya ketika SMA. Semua terlihat tampak baru dan terbuat dari tembaga. Padahal rumah besar ini dulu dipenuhi dengan berbagai macam perabotan yang terbuat dari kayu, atas sebab om Gani yang memang bekerja sebagai tukang kayu atau kecintaan Tante Renata terhadap mahoni.

"Maaf lama, ini minum dulu tehnya La." Wanda meletakkan cangkir keramik dan sepotong kue ulang tahun yang baru saja dipotongnya, menginterupsiku dari kegiatan mengamati taman kecilnya.

"Makasih. Nggak usah repot-repot Nda." Aku tersenyum tipis dan mengambil cangkir teh yang dibuatnya. Wangi teh tubruk mulai tercium, hangat dan menenangkan, pas untuk mendung di sore ini.

"Nggak ngerepotin kok." Dia menggeleng, menepuk pelan kakiku.

"Denger-denger kamu mau resign dari RSJ?" tanyanya.

"Iya akhir bulan mungkin, aku mau jadi dosen tetap. Dan itu pasti menyita banyak waktu, aku nggak mungkin bisa membagi dua waktuku, antara rumah sakit dan kampus lagi." Jawabku.

Bunda pasti memberi tahunya, dia masih saja senang bercerita tentangku pada banyak orang.

"Dari dulu kelihatan kok kalau kamu memang cocok jadi guru." Jawabnya sembari membuka toples kaca berisi kue cokelat yang bertengger cantik diatas meja.

"Kamu sering menjuarai lomba debat, menang SI waktu classmeeting dulu dan yang paling ku ingat waktu ternyata kamu berhasil menang speak contest di Jakarta." Tambahnya lagi, kemudian mengangkat kakinya keatas sofa dan bersila. Kebiasaan yang sering dilakukannya sejak kecil.

"Kenapa acaranya nggak ditaman Nda?" Aku tak begitu suka di puji. Aku melirik kearah taman, tidak terlihat ada bekas-bekas hujan. Lantas hal apa yang membuat perempuan ini memilih mengadakan acara tersebut didalam rumah?

"Dari tadi pagi tuh mendung banget. Maka dari itu aku minta EOnya buat dekor di dalam, takut-takut kalau sore hujan. Eh ternyata sampai mau malam begini nggak hujan." Keluhnya panjang di sertai dengan tegukan teh yang dibuat untuk dirinya.

"Semenjak Virsya ninggalin Bandung, dan kamu milih untuk ngejar mastermu di luar aku ngerasa benar-benar kangen kalian banget tau nggak sih." Aku tersenyum kecil mendengar ucapan Wanda kembali. Kami berpelukan sesaat. Rasa sesak dan hangat mengalir begitu saja, aku menguraikan pelukan sebelum moment seperti ini membuat air mataku jatuh. Aku rikuh dalam suasana seemosional ini.

"Virsya masih di Lombok?" aku bertanya, lalu menutup toples kaca yang berisi kue kering tersebut dengan perlahan. Ah, apa kabar perempuan cerewet itu. Rasanya sudah begitu lama aku tak melihat mata bulan sabitnya yang sering kali tertutup karena derai tawa membahana dan lirikan tajam sinisnya.

"Iya. Bisnis Real Estafet milik Afif kan yang paling berkembang disana, pusatnya juga disana. Beberapa kali Virsya ke Bandung sih, itu juga kalau pas hari raya. Tante sama om Seno kan masih disini. Dua kali aku ke Lombok juga ketemu sama dia, soalnya aku numpang nginep gratis di hotelnya." Ucapnya sembari memamerkan tawa kecilnya.

"Ngirit budget ya Nda?" ledekku disusul dengan kekehan darinya.

"Banget. Buat apa punya temen kaya kalo nggak di gunain kan?"

"Dasar." Ku tepuk pelan lengannya.

Fanyo datang, laki-laki bertubuh tinggi itu tersenyum lebar. Kacamata minusnya masih bertengger manis di pangkal hidung. Laki-laki yang sempat menjadi incaran banyak gadis saat SMA ini masih segagah dulu. Laki-laki yang membuat Wanda bermusuhan dengan Alana. Laki-laki yang sempat membuat Wanda menangis hujan-hujan dan memilih menginap dirumahku meski jarak dari rumahnya hanya sejengkal. Laki-laki yang dicintai Wanda dengan amat sangat.

"Hey La, apa kabar?" Aku bersalaman dengannya.

Meski sudah satu tahun kembali ke Indonesia. Aku memang baru pindah kerumah Bunda setelah delapan bulan berlalu, jarak rumah sakit di Jakarta dengan rumahku yang ada di Bandung cukup jauh. Aku malas bila harus menghabiskan waktu hanya untuk memadatkan kendaraan di jalan.

"Baik. Masih kurus aja sih, udah punya anak dua harusnya laki-laki itu gemuk loh." Ejekku.

"Wanda nggak suka laki-laki yang gendut La. Buncit itu nggak seksi katanya sih." Fanyo melirik jail kearah suaminya, sementara yang dilirik justru memutar kedua bola matanya.

Aku terkekeh kecil, sedari dulu Fanyo memang suka sekali meledek Wanda. Nyatanya, dulu atau saat ini memang tidak ada yang banyak berubah.

Glass At RoadsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang