Secangkir Cokelat Panas

45 3 0
                                    


Latte, merupakan jenis espresso yang di tambahkan susu dengan rasio antara susu dan kopi 3 berbanding 1. Aku belajar banyak tentang cara pembuatan kopi dengan Ayah. Seperti pagi mendung ini, dokter Farah menelfonku hanya untuk mengatakan bahwa ada seorang klien yang harus ku temui pukul 12 siang nanti disana. Aku memasukkan bubuk cokelat diatas foam latte yang sudah merata dan mengambil soufflé coklat yang baru saja keluar dari dalam panggangan. Mulai mencoba menyendoknya hingga kepulan asap terlihat dan membuat lelehan coklat itu jatuh keatas piring kecil berwarna putih gading. Bolu berisi krim kental khas Perancis itu memang paling enak dimakan bersama dengan secangkir latte kayu manis sambil diiringi lagu sendu.

Aku membawa kopi dan kueku diatas nampan berwarna tembaga, dengan hati-hati ku letakkan nampan tersebut keatas meja. Meja itu bundar dan terbuat dari besi yang dicat camel, berdampingan dengan sofa baca berwarna biru pupus. Permukaannya ditutup dengan taplak bertinta emas bergambar sulur tanaman disetiap pinggirnya dengan tiga kuncup bunga tulip yang berkilauan dibawah sinar lampu dipertengahan. Salah satu dinding tersebut dilapisi panel kayu yang dicat duco, yang lainnya berlapis kertas dinding krem bercorak bunga. Lantainya tertutup parquet coklat gelap dan karpet berwarna gray asparagus. Terdapat meja tulis didekat jendela dan rak buku besar diseberangnya. Lagu Westlife kecintaan Mba Aylen menggema diruang baca, sesekali terdengar rintikan hujan dari balik kaca jendela yang diberi tirai brokat. Aku duduk dibibir jendela, kedua kakiku menjulur keluar dan bergelantungan diatas permukaan tanah berumput. Udara menggerakan helai helai rambutku, sesekali tetesan air hujan membasahi tubuhku. Pandanganku terpaku pada rumah minimalis bercat abu-abu yang menampilkan sepasang suami istri dengan dua anak kembar. Jo dan Lo. Dulu, saat aku masih kecil rumah tersebut dihuni oleh Tante Renata dan Om Gani. Namun waktu sepertinya menggerus habis masa-masa itu, sang istri- Wanda adalah satu-satunya anak semata wayang mereka yang seumuran denganku. Perempuan cantik yang sama-sama memiliki keluarga harmonis.

Sepeninggal laki-laki dewasa dan kedua anak kembar itu, cukup lama aku terdiam. Aku tidak melakukan apa-apa selain melihat Wanda yang melambaikan tangan kearahku. Cangkir kopi milikku yang masih penuh tidak kusentuh. Panggilan masuk dari Dean yang datang berulang kali juga tidak ku gubris. Aku bukan tengah meratapi kesedihan dan menyesali mengapa kenangan-kenangan indah itu tak kunjung terhapus meski waktu mencoba menggerusnya, melainkan tercengang apa kelak aku akan mampu seperti Wanda, memiliki keluarga utuh di balik rumah yang sederhana.

"Besok ulang tahun si kecil, datang ya Trella."

Lamunanku buyar, aku berpapasan dengan Wanda yang memakai payung berwarna jingga dan mengangsurkan sebuah undangan yang terbalut amplop berwarna biru laut. Perawakannya tinggi-kurus, rambutnya hitam lurus sebatas bahu, dan kulitnya agak kecoklatan. Ketika berbicara tadi, dia memamerkan gigi putihnya dengan senyum lebar.

"Pukul empat sore kalau kamu lupa."

Aku mengambil undangan tersebut lalu membuka amplopnya dengan perlahan, undangan tersebut berbentuk persegi panjang dengan gambar balon-balon disudut kirinya. Ulang tahun ke tujuh mereka, begitulah yang ku tahu.

"Mampir yuk Wanda." Aku menatap mata bulatnya, kemudian berbalik badan dan masuk kedalam rumah.

"Bolehkah?" mata perempuan itu semakin terlihat bersinar, aku mengangguk dan mencoba tersenyum hangat. Setidaknya aku masih cukup punya waktu untuk berbincang bersama sebelum keadaan menginterupsiku untuk kembali bekerja.

Setelah beberapa waktu pintu yang terbuat dari kayu keruing itu terbuka, Wanda menutup payungnya dan menyampirkannya di sudut sisi, tubuh tingginya terbalut jaket rajut sesiku dengan celana bahan berwarna cinnamon.

"Cokelat panas, teh, atau kopi?" aku bertanya setelah masuk kedalam dapur, dia mengikutiku dan melihat-lihat rumah yang sudah ku rombak beberapa bulan lalu.

"Godiva?" dia tersenyum kucing sementara aku tergelak.

"Aku bisa miskin kalau kamu sering mampir kemari." Aku mulai menyeduh cokelat panas tersebut ke dalam cangkir.

"Bagaimana rasanya tinggal di Jerman La?" pertanyaannya membuatku beralih fokus, perempuan muda itu mulai duduk diatas kursi berkaki tinggi yang memiliki dudukan bulat berpelitur hitam pekat. Dapur ini menggunakan meja kaca tempered, dan lemari kayu sebagai penyimpanan minuman atau makanan. Disudut kiri sengaja ku buat mini bar dengan meja berbahan kaca bening.

"Menyenangkan." Aku mengangsurkan cokelat panas, dia mengambilnya dan menggumamkan kata "Terimakasih."

"Kapan terakhir kali kita mengobrol seperti ini ya? Dua, tiga, atau malah empat sampai lima tahunan?" dia menyesap cokelat panasnya, sementara aku berlalu masuk kedalam ruang baca untuk mengambil nampan yang berisi latte dan soufflé coklat yang sudah mengempis, lalu kembali kedalam dapur. Wanda sudah sibuk memakan kue kering yang menumpuk rapih dari balik toples kaca, pipi tirusnya sedikit menggembung dan bunyi 'kress' terdengar sesekali.

"Bunda sering mengunjungi rumahku ketika Mamah dan Papah berkunjung, dia banyak bercerita tentangmu dan berharap bahwa gadis kecilnya segera kembali. Ketika kamu memutuskan untuk mengontrak kerja disana, dia sempat kehilangan harapan, kamu tahu?"

"Aku hanya tiga tahun disana." Jawabku pelan.

"Tiga tahun sendiri dirumah besar dan bertahan untuk tetap tegar itu tidak mudah La." Timpalnya lagi.

Glass At RoadsideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang