Chapter 3

362 121 1
                                    

Datanglah Nasib Baik
.
.

.
.
.

Hembusan nafas keluar dari hidung wanita yang sedang meredakan emosinya dan juga menahan rasa perih pada lukanya. Kakinya tengah di obati oleh temannya yang bernama Sintya Henas.

"Rit, kenapa engga pake sepatu gue aja sih?." ucap Sintya seraya mengolesi obat merah pada kaki Rita.

Rita menyengir, "gue lupa, Sin."

Kedua wanita itu berada di kedai kecil milik keluarga Sintya. Namun, saat kedua orangtua Sintya meninggal. Wanita itu mulai melanjutkan usaha yang di tinggalkan oleh kedua orangtuanya. Kedai itu sudah tutup.
Sintya yang sudah selesai mengobati kaki Rita menaruh betadin di atas meja.

"Rit, gimana tes hari ini? Berhasil?." tanya Sintya penasaran.

Rita menghela nafas berat, "Gagal lagi." sungutnya.

Sintya menepuk-nepuk pelan punggung temannya itu, "lo kan calon ibu rumah tangga." ujarnya berusaha menyemangati.

Rita menundukkan kepalanya, "sepertinya akan membutuhkan waktu yang lama." sahutnya tersenyum namun air matanya menetes begitu derai.

"Apa terjadi sesuatu?." tanya Sintya.

"Kozy baru saja menyudahinya, dia sudah mencintai wanita lain." ucap Rita.

Sintya memindahkan kepala Rita pada bahunya, meminjamkan bahunya untuk menyender.

"rasanya ingin gue patahin lengannya." gerutu Sintya.

Rita menyeka air matanya, "lo ini." ucapnya dengan terkikik.

"Baju lo kotor banget." kata Sintya yang menyadari kalau baju Rita begitu kotor.

Rita sedikit menundukkan kepalanya, dia pun melihat bajunya yang kotor. Dia mendengus lalu mengangkat kepalanya, "Lo harus tau, Sin. Seorang pria menyebalkan itu mengendarai motornya di becekan dengan lajuan kencang ya terus gue kena cipratannya." gerutunya.

Sintya terkekeh, "terus?."

"dia nyamperin gue terus memberikan cek tanpa meminta maaf dan dia meledek dengan mengatakan kalau pakaian gue itu murahan." ucap Rita kesal.

Sintya tersenyum, "wah, lo membuat gue penasaran."

"semakin mengingatnya semakin emosi gue memuncak." gerutunya.

Sintya menatap Rita, "Apa pria itu masih muda? Wajahnya tampan?."

Rita tertawa, "dia sudah tua, wajahnya pun keriput."

•••

Ryan membasuh wajahnya lalu menutup kran pada wastafelnya. Dia meraih handuk kecil yang tergantung disamping cermin kemudian dia mengelap wajahnya. Dia yang melihat dirinya dari cermin menyengir lalu menepuk-nepuk pipinya dengan tangannya.

Ponselnya berbunyi, membuatnya beralih untuk mengambil ponselnya.
Ryan yang melihat ada telphone dengan cepat menerima panggilan itu.

"Halo." suara wanita yaitu Verona, kekasihnya.

Ryan menselonjorkan tubuhnya disofa, "Kamu lagi apa?." tanyanya.

Namun, wanita itu tidak menjawabnya.

"Jangan terlalu bekerja keras, kesehatanmu itu sangat penting buatku." ucap Ryan cemas.

"Aku tau. Kamu sudah makan?."

"Bagaimana aku bisa makan jika kamu aja terlalu bekerja keras." sungut Ryan.

Terdengar wanita itu tertawa, "Aku sudah mengisi perutku. Kamu harus makan karena saat aku tidak ada disisimu. Aku tidak bisa merawatmu jika sakit." ucapnya.

Ryan mendesah lalu berkata, "luangkan sedikit waktumu itu untuk calon suamimu."

"Sudah dulu ya." ucap wanita itu lalu telphone itu dimatikan sepihak.

Ryan menaruh ponselnya asal di sofa. Di memejamkam matanya, hidungnya berhembus lelah.
"Jika terus diam seperti ini akan membutuhkan waktu yang lama untuk meraih nasib baik." gumamnya.

•••

Rita memasuki kamarnya, hari ini sangat membuatnya lelah. Wanita itu menaruh sepatunya di rak kemudian menaruh tasnya di kursi. Dia terduduk disisi tempat tidurnya, matanya mengarah pada beberapa foto yang menempel dinding.

Rita beranjak lalu mengambil pelastik yang berada diatas lemari. Dia mulai mencopoti foto-foto itu kemudian memasukkan kedalam kantung plastik, baginya foto itu hanyalah kenangannya bersama Kozy yang harus di lupakan.

Dia berjalan menuju dapur. Wanita itu membuangnya di tempat sampah.
Sintya yang sedang ingin mengambil air lantas dia melihat Rita berdiam diri.

"Lagi ngapain, Rit?." tanya Sintya.

Rita menggaruk tengkuknya, "Engga ko, Sin." jawabnya lalu berjalan menuju kamarnya.

Sintya yang melihat tingkah Rita merasa sedih karena tak bisa membantunya.

When I Meet RitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang