[5] Hari Dimana Aku Mengenalnya.

62 7 4
                                    

Jumat, 27 Juli 2012 [Day 12]

Ini jam ketiga. Istirahat masih jam kelima. Aku sudah sangat bosan mendengar cerita nggak jelas yang diceritakan oleh guru sejarah ini. Sebenarnya, aku sangat menyukai pelajaran sejarah. Hanya saja, kebanyakan guru sejarah sangat membosankan dan terus mengulang hal-hal yang tidak begitu penting. Bukannya mengajar, malah cerita hal nggak jelas. Kebetulan teman sebangkuku, Bagas, tidak masuk hari ini. Ya sudah, aku menggambar saja.

"Pssst," terdengar bisikan seorang lelaki dari arah depanku. Aku tak mengacuhkannya.

"Pssst," bisiknya lagi.

Aku mendongak dan menatapnya, "Apa?"

"Gapapa, gue bosen aja," katanya sambil terus memperhatikanku menggambar. "Gambar lo bagus. Suka seni ya?"

Aku melirik ke arah Stefan sebentar lalu melanjutkan gambarku.

"Iya, lo?" tanyaku balik padanya.

"Gue? Jangan ditanya.."

Aku langsung berhenti menggambar dan menatap ke arahnya dengan mata yang berbinar dan excited, "Kenapa? Lo suka juga?"

Aku sangat senang jika menemukan seseorang yang memiliki kesamaan denganku entah dalam passion atau apapun itu.

"Enggak, maksud gue bukan nggak suka, biasa aja gitu. Gue lebih ke sport, futsal terutama.." balas Stefan. "Tapi gue suka gambar juga kok."

Aku yang mendengar balasannya langsung kembali menggambar dengan hati yang sedikit kecewa. Berharap dia memiliki minat yang sama dengan diriku.

Mungkin memang sangat terkesan egois untuk berharap semua orang memiliki minat yang sama dengan diriku, tapi aku hanya tidak ingin merasa sendiri di dunia ini.

Mungkin sebenarnya banyak yang memiliki minat sama dengan diriku, tapi percayalah sekolah ini bukan tempatnya. Atau bisa jadi banyak yang memiliki passion dalam seni tapi tidak ingin menunjukkannya.

Aku sendiri juga nggak begitu memamerkannya sih. Ya sudah lah.

"Lo itu kenapa sih, San?" tanyanya lagi menyadarkanku dari lamunan.

"Kenapa apa? Gue nggak apa-apa," balasku sambil membereskan buku dan pensilku. Sepertinya memang Stefan ingin sekali mengajakku bicara.

"Lo.. susah ditebak. Lo cuek banget. Setiap gue ngerasa udah berhasil buat lo nggak cuek, lo selalu ngebuktiin kalo perasaan gue itu salah. I mean, gue pengen bisa kenal lo lebih baik lagi. Apa jangan-jangan lo punya pacar ya?" tanya Stefan dengan santi.

Orang ini terlalu frontal. Aku tekankan lagi, TERLALU FRONTAL. Untuk ukuran seseorang yang baru kenal denganku, Stefan cukup berani mengutarakan isi hatinya secara tersirat maupun tersurat.

Tapi mau bagaimanapun, aku nggak ingin berbohong. Aku nggak ingin menutup-nutupi tapi aku juga nggak ingin mempublikasikannya. Biarlah orang-orang akan tahu dengan sendirinya. Entah melalui bertanya maupun mencari tahu sendiri.

"Iya, gue punya pacar, tapi bukan itu alasan sepenuhnya gue bersikap dingin dengan orang lain," balasku singkat tapi to the point.

Stefan terlihat kaget. Mungkin tak menyangka bahwa tebakan asalnya itu ternyata benar.

"Wow, sebenernya nggak heran sih. Untuk seorang kayak lo, nggak mungkin nggak punya pacar" balas Stefan dengan tampang sok cool-nya itu.

Ambigu. Pernyataannya sangat ambigu.

"Maksud lo?" tanyaku melotot.

"Eh, sorry. Maksud gue bukan begitu. Maksud gue, ya intinya adalah lo seseorang yang worthy gitu, gimana sih ya bahasanya. Worth of love deh pokoknya," balasnya kelabakan.

Tentang SeseorangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang