[3] Hari Dimana Aku Bertemu Dengannya.

85 11 0
                                    

Senin, 23 Juli 2012 [Day 8]

Aku terbangun dari tidurku yang nyenyak, mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi untuk siap-siap. Aku memakai seragamku dan turun ke bawah untuk memakan sarapanku.

"Baru pagi-pagi gini aja, udah pada gak ada di rumah," gumamku sambil memakan rotiku.

Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari luar rumah. Ternyata Alex sudah menunggu, aku langsung menghabiskan sarapanku dan bergegas untuk berangkat.

"Lama banget sih, telat nih gue. Masih bagus lu gue tungguin," protes Alex.

"Maaf. Masih jam 6.15 juga kok. Telat darimana coba? Ngomong-ngomong, orang-orang rumah pada kemana? Sepi banget."

"Ya seperti biasa lah, Lex. Udah pada berangkat kerja," balas Alex sambil menhembus nafas dalam-dalam. "Kamu gapapa kan?" tanya Alex memastikan diriku baik-baik saja sambil terus fokus pada jalanan.

"Gapapa sih, Kak. Aku juga ngerti, mereka kerja keras tuh buat kita. Bukan berarti mereka gak mau perhatiin kita lebih lagi, kan?" balasku dengan lembut dan tulus seraya membentuk senyuman yang hangat.

***

Aku berjalan menelusuri lorong sekolah dengan terburu-buru karena aku harus cepat-cepat bertemu Clay untuk menceritakan hal penting. Tetiba saja...

DUG!!

Sial, aku menabrak seseorang.

"Maaf, maaf. Aku nggak bermaksud. Maaf banget," aku langsung bangkit dari jatuhku dan mendapati seorang cowok memasuki kedua tangannya ke saku celananya dengan santai sedangkan aku sedang kesusahan disini. Bagaimana mungkin kau diam seperti itu?!

Mungkin memang aku yang salah, tapi tidakkah kau akan membantuku untuk berdiri setidaknya? Oh, don't blame me! Blame your athletic body!

"Woy, Bas! Cepet kesini!" terdengar teriakan seorang lelaki dari kejauhan. Lelaki yang dihadapanku ini menoleh dan memberi tanda tunggu sebentar pada laki-laki itu.

Yang dapat kuketahui, lelaki di hadapanku ini namanya memiliki sepenggal kata Bas.

"Iya. Lain kali jalan tuh liat-liat." jawabnya padaku dingin seraya pergi meninggalkanku setelah memastikan bahwa aku tak apa-apa.

***

Hari ini udah mulai belajar biasa layaknya anak kelas 10 setelah Masa Orientasi Siswa. Aku duduk di barisan ketiga dari belakang dekat jendela. Tempat duduk kita semua ditentukan oleh wali kelas kami, Bu Guty, guru Bahasa Indonesia. Untung nggak dapet wali kelas yang galak. 

Untungnya juga Clay duduk nggak jauh dari bangku ku, dia tepat ada di serong kanan depanku yang sebenarnya aku harapkan Clay akan duduk persis di depanku tapi Bu Guty bilang akan ada anak lain lagi yang masuk. 

Sedangkan sebelahku adalah seorang lelaki yang bernama Bagas. Badannya cukup atletis. Aku dapat berasumsi bahwa dia sangat menyukai bola atau futsal karena sangat jelas di tasnya banyak batch logo klub bola. Semoga anaknya menyenangkan dan tidak menyebalkan, karena anak itu akan duduk bersamaku selama kurang lebih satu semester.

Tetapi karena ini merupakan hari pertama, maka kami diberikan free class seharian. Bagus lah. Kebetulan aku sedang malas-malasnya. Aku kembali membuka novel kesukaanku, The Maze Runner dengan earphone terpasang di kedua telingaku melantunkan lagu dari iPod-ku. Sedangkan Bagas sedang berkumpul dengan rombongan laki-laki lainnya membicarakan tentang liga sepak bola.

Tetiba saja sebuah tas mendarat tepat di atas mejaku. Aku menoleh ke arah kananku dan mendapati seorang lelaki yang cukup tampan parasnya dengan alis yang cukup tebal dan mata coklatnya yang berbinar tapi.... datar.

"Permisi," aku mendongak seraya melepaskan satu earphone dari kupingku. Suaranya sangat dingin. Gak ada ramah-ramahnya. Baru juga ketemu, udah bikin kesan buruk aja. Sebenarnya ada apa sih dengan cowok-cowok dingin ini?! Apa emang lagi zamannya cowok berbondong-bondong berubah sifat jadi dingin agar digilai para wanita?

Aku memiringkan muka dan mengernyit bingung, "Maaf, lo siapa?" tanyaku sebisa mungkin tetap dengan nada yang ramah.

Lelaki itu gak membalas pertanyaanku. Sombong, pikirku. Dia memberi tanda untuk memajukan kursiku agar ia dapat lewat dan duduk di sampingku. Aku menoleh ke arahnya lagi masih dengan pikiran yang entah kemana dan penuh pertanyaan. Ini siapa sih? Anak kelas sini? Nyebelin amat baru juga pertama ketemu. Gayanya tinggi banget. Sok kegantengan. Sok dingin. Begitu banyak pertanyaan yang membuatku terpaku terlalu lama.

"Jangan terlalu lama ngeliatin gue. Nanti lo terpesona sendiri. Oh, dan gak baik berasumsi tidak baik pada orang yang lo gak begitu kenal." Ucapnya dengan singkat, padat, dingin seraya membalas tatapanku dengan santai.

Apa maksudnya? Apa dia bisa membaca pikiranku?

Belum sempat aku membalas lagi, dia sudah angkat bicara.

"Sudah banyak orang yang bilang gue ganteng dan sombong jadi lo nggak perlu untuk bilang itu lagi," ucapnya dengan nada yang super pede. Aku masih sangat bingung dan tak tau harus membalas apa.

"Maaf, tapi di sebelah gue udah ada orang dan lo mungkin gak seharusnya duduk disini," balasku dengan santai kembali.

"Lah? Lo kali yang salah. Gue duduk disini kok," katanya membela diri.

"Loh kok malah lo yang ngeyel? Gue sama temen gue disuruh duduk disini sama Wali Kelas. Mungkin lo salah, harusnya lo duduk di depan gue, bukan di samping gue. Sepengen itu ya duduk di sebelah gue?" balasku dengan nada yang cukup menjengkelkan.

Aku terkekeh kecil melihat ekspresi wajahnya saat tersadar bahwa dia telah salah. Ingin rasanya aku tertawa kencang di hadapannya tapi aku kasihan karena mukanya yang sudah memerah, langsung mengambil tas dan pindah tempat duduk ke depanku.

Selang setengah jam setelah kejadian tadi, tiba-tiba lelaki itu membalikkan badannya ke arah ku.

Aku pura-pura tak acuh dan tetap membaca novelku, aku dapat merasakan bahwa dia sedang menatapku.

"Maaf ya," ucap lelaki yang duduk di depanku ini dengan suara yang.... cukup lebih hangat dari sebelumnya. Aku terus berpura-pura tidak mendengar. Aku hanya kurang suka diganggu saat sedang dalam duniaku sendiri.

"Woy, gak usah pura-pura nggak denger deh," lelaki itu mencabut earphone yang ada pada telingaku secara tiba-tiba. Aku meletakkan novelku dan menatapnya tajam.

"Maaf untuk apa?" kataku seraya menutup novelku dan meletakkannya ke dalam laci mejaku. Aku sudah kehilangan mood untuk membaca karena lelaki satu ini.

"Wow, maaf. Galak sekali. Ya maaf aja. Tadi gue udah ngeyel gitu. Dan maaf mungkin gue ganggu lo?" balasnya dengan sedikit ragu. Mungkin laki-laki ini memang cukup mahir dalam membaca pikiranku. Buktinya daritadi dia bisa membaca gerak-gerik dan perilaku-ku dengan baik. Hebat, pikirku.

Belum sempat lagi aku membalas, dia sudah angkat bicara.

"Nama lo siapa?" tanyanya langsung to the point.

"Umm, Alexandra, Alexandra Luna." balasku dengan singkat.

"Nama yang cukup bagus. Nama gue Stefan. Stefan Alvaro, tepatnya. Terserah lo mau manggil gue apa, tapi lebih baik cukup Stefan aja nggak usah pake panggilan-panggilan sayang gitu," ucapnya dengan sangat pede.

"Hah? Garing banget lo daritadi deh. Males banget juga kali gitu," balasku seraya memutar bola mataku.

Stefan terkekeh kecil.

"Gue manggil lo Sandra aja, ya?" kata Stefan.

Sungguh. Orang ini sungguh-sungguh aneh. Disaat orang-orang lebih senang memanggilku Lexa atau Luna, dia malah memanggilku Sandra. Sungguh aneh... tapi unik.

"Oke, I take your silence as a yes," katanya seraya membalikkan badannya ke depan lagi.

Dasar aneh. Cowok sok misterius kepedean yang terlalu aneh.

A/N: Halo, semua! Maaf aku telat post sehari karena aku kemarin sibuk dan nggak sempet buka laptop hehehe. Aku minta maaf juga kalo terlalu membosankan karena aku masih sangat amatir dalam hal ini. Aku dengan senang hati menerima kritik&saran kalian di comment! Terima kasih!

- A.N

Tentang SeseorangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang