[6] Hari Yang Tak Biasa.

40 6 1
                                    

Senin, 30 Juli 2012 [Day 15]

Pagi itu nggak seperti pagi yang biasanya. Pagi yang tenang, pagi yang cerah dan indah, pagi yang penuh semangat dan pikiran positif. Tapi pagi itu berbeda. Pagi itu nggak ada kata 'tenang' sama sekali di dalamnya, pagi itu awan gelap menyelimuti kota Jakarta dan pagi itu terlalu dingin menusuk.

"Lexa," sapa seorang perempuan yang memiliki rambut lurus panjang sepunggung berwarna kecoklatan itu.

"Ada apa, Ndah?" balasku seraya tersenyum ke arahnya.

Indah. Salah satu teman yang dapat dibilang cukup dekat juga sejak SMP tapi sayang kita berbeda kelas.

Dengan ekspresi yang iba, Indah pun berkata, "Gue harus ngasih tau lo sesuatu," seraya duduk di sebelah kananku juga dengan Clay yang ada di sebelah kiriku dan Kasih yang berada di depanku.

"Ndah, lu serius-serius amat sih ngomongnya, biasa aja kali." Ceplos Kasih berusaha untuk memecahkan keheningan yang cukup lama.

"Karena ini penting, Kas." Balas Indah.

"Ya udah, Ndah. Ada apa? Ngomong aja," kataku penasaran.

Indah menarik napas sedalam mungkin seraya terus menatapku iba, "Josh lagi deket sama cewek lain, Lex."

Otakku masih berusaha untuk mencerna apa yang baru saja Indah katakan, otakku tak mau menerima perkataan yang barusan dikatakan. Mungkin bukan otakku, tapi hatiku.

"Tunggu--- Gue masih nggak ngerti. Atas dasar apa lo ngomong gitu?"

"Gue liat sendiri buktinya," balas Indah serius.

"Buktinya apa?" kataku sedikit meninggikan suara.

Indah menghembuskan nafasnya sebelum berbicara, "Gue ketemu dia di Jakarta, Lex."

Aku terbelalak kaget sekaligus bingung.

"Nggak mungkin, Ndah. Dia lagi di Bandung, sibuk sama band-nya. Mungkin lo salah liat orang," kataku berusaha untuk tetap berpikir positif.

"Lex, look, gue tau lo mencoba untuk tetep berpikir positif tapi gue sendiri juga terus mastiin diri gue kalo cowok yang gue liat itu bukan Josh. Sampai akhirnya seorang cewek manggil dia dengan nama Josh." Balas Indah berusaha menenangkanku sedangkan Clay hanya bisa terus mengelus pundakku berkali-kali.

"Iya, Ndah. Gue tau niat lo baik, lo sahabat gue. Makasih, Ndah. Tapi gue nggak mau percaya sebelum gue bisa liat dengan mata kepala gue sendiri. Maaf."

"Gue cuma nggak mau lo dipermainin sama dia, Lex." Kata Indah dengan nada yang sangat serius.

"Iya, Ndah. Ngerti. Thanks." Balasku tersenyum seraya merangkul mereka bertiga.

***

Sejak percakapan tadi pagi, aku kehilangan mood untuk melakukan segala sesuatu. Bahkan saat pelajaran aku hanya terus melamun, memikirkan tentang hal itu berkali-kali. Berusaha untuk meyakinkan diriku bahwa orang yang dilihat Indah bukanlah Josh.

"Halo, Sandra si lesung pipi." sapa seorang lelaki seperti biasanya. "Kenapa nih? Murung banget?"

Aku menoleh lalu tersenyum kecil, "Nggak apa-apa, kok!"

"Bohong," katanya dengan nada mengancam.

"Enggak, Stefan. Sok tau deh." Kataku seraya menopangkan dagu pada kedua telapak tanganku.

"Kalo emang nggak kenapa-napa, senyum dong," goda Stefan.

"Emangnya kalo nggak kenapa-napa itu harus senyum?"

Tentang SeseorangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang