First Meet

26 1 0
                                    

Ayra's POV

Akhirnya setelah menetapkan jadwal latihan sekaligus bikin malu di cafe, kita semua bergegas pulang kerumah masing-masing. Seperti yang aku bilang tadi, malam ini aku ada acara bersama Darren, jadi aku harus segera pulang.

"Eh ini udah kan 'rapat'nya? Darren nelfonin gue mulu nih dari tadi, gue duluan yaa," kataku memberi tanda petik pada kata rapat.

"Yaudah Ay pulang aja, gue masih mau disini, kan lumayan wifi gratis," kata Xyl sambil nyengir tidak jelas.

Xyl memang selalu seperti itu. Asal ada wifi gratis, pasti susah diajak pulang. Ckckck... Xyl doang emang.

"Okay, terserah lo lah mau sampe mati disini juga gue gak peduli. Nah, lo Aze? Mau bareng gue apa nggak?" kataku karena kebetulan rumahku dan rumah Aze tidak terlalu jauh, yaa hanya berbeda dua blok. Itulah mengapa Aze sering 'nebeng' denganku.

"Hmm... ya udah deh gue bareng lo Ay. Lumayan lah itung-itung hemat ongkos," ucap Aze sambil nyengir tak berdosa. Aku yang melihatnya hanya memutar mata.

"Xyl, yakin mau disini aja? Aze ikut gue lho," tanyaku memastikan.

"Iya iya udah sana lo berdua, hati-hati di jalan," ucap Xyl tanpa menengok ke arah kami. Pandangannya fokus kepada benda pipih dihadapannya. The Power of Free Wi-fi.

"Okay, bye Xyl," kataku.

"Hati-hati nanti digodain om-om pedo" ucap Aze sambil cekikikan. Xyl langsung memberikan death glare nya yang tentu saja selalu gagal.

Menurutku wajahnya terlalu 'manis' untuk sekedar memberi death glare kepada orang lain. Terkadang aku merasa tubuh kami-aku, Aze, dan Xyl- tertukar. Maksudku, lihatlah kelakuan kami. Aku merasa seseorang dengan sikap sepertiku harusnya memiliki wajah yang 'manis' seperti Xyl. Bukannya aku merasa paling 'manis' di sini, tapi memang kenyataannya aku lah yang paling waras di antara kami bertiga. Orang yang cerewet dan heboh seperti Aze seharusnya memiliki wajah sepertiku, sedangkan orang yang careless plus dingin seperti Xyl harusnya memiliki wajah seperti Aze. Apakah kalian menangkap maksud dari pernyataanku barusan? Jika tidak, maka abaikan saja.

Berjalan menuju tempat parkir bersama Aze, kami masuk ke dalam mobil kesayangan ku ini, menyalakan mesinnya dan pulang.

"Thanks ya Ay, udah mau nganterin gue," ucap Aze sambil turun dari mobil.

"Astaga Aze, lo kayak baru pertama nebeng aja. Kan biasanya juga lo nebeng mobil gue, lagian rumah kita deket, santai aja," kataku. Aze hanya menyengir, untuk kesekian kalinya.

"Yaudah gue pergi yaa. Hati-hati itu pintu kamar lo diputer dulu kenop nya jangan langsung di dorong kayak waktu itu, hahaha," lanjutku sambil terkekeh geli.

Aku teringat kejadian beberapa minggu lalu. Ketika kami bertiga sedang menghabiskan waktu di kamar Aze. Waktu itu Aze ingin keluar dari kamarnya untuk mengambil cemilan, namun ia tidak bisa MEMBUKA PINTU KAMARNYA SENDIRI karena bukannya diputar dulu kenopnya, ia malah langsung mendorong-dorong pintunya yang tentu saja tidak akan berhasil sampai kapanpun.

Aze memasang tampang cemberutnya.

"Eh tai lo ngingetin gue sama kejadian itu. Udah ah gue mau masuk dulu. Bye," ucap Aze sambil melambaikan tangan.

Aku langsung menancapkan gas ke arah rumahku. Sesampainya dirumah aku memarkirkan mobilku di garasi. Biasanya aku memarkirkan mobilku di halaman tapi kali ini karena aku dan Darren akan jalan-jalan memakai mobil sport yang aku selalu ngiler bila melihatnya milik darren, jadi lebih baik aku memarkirkan mobilku di garasi. Setelah turuh dari mobil, aku masuk ke rumah melalui pintu yang ada di garasi, pintu itu menghubungkan antara garasi dan dapur, alhasil aku ke dapur dulu untuk mengambil cemilan di kulkas.

When Friendship Becomes LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang