KARA's POV
"Kara, tunggu diluar dan jangan buat masalah. Ibu akan bicara pada kepala sekolahnya." Ucap ibu tegas. Aku memilih menyandar di sebelah pintu ruang kepala sekolah dan memasang earphone-ku. Memilih lagu- lagu beraliran keras hingga aku sama sekali tak mendengar apa-apa. Aku malas harus berpindah sekolah sebanyak enam kali selama dua tahun terakhir.
Hal ini terjadi karena perceraian ayah dan ibuku. Perceraian mereka yang tiba-tiba, maksudku, aku bahkan tak pernah mendengar mereka saling berteriak satu sama lain. Mereka begitu romantis dan kami keluarga yang bahagia. Bahkan aku sangat terkejut dan tidak terima ketika ayah menggeret koper berisi barang-barang ibu dan juga barangku keluar dari rumahnya. Aku tak pernah menyangka ayahku akan sekejam itu.
Ya selama hampir lima belas tahun ia bersama ku, ia tak pernah berlaku kasar. Bahkan ketika ibu harus marah padanya, ia tak pernah marah pada ibu. Ayah adalah sosok yang paling sabar dimata ku. Setidaknya ia menunjukan itu selama lima belas tahun.
Aku menunggu ibu dengan malas. Ibu bilang ini sekolah yang paling cocok untukku di Manhattan. Jika dipikir-pikir, ibu juga bilang 6 sekolah sebelumnya juga sekolah yang paling cocok untukku. Tidak semua mengeluarkanku. Satu sekolah di San Fransisco yang dengan sangat kejamnya mengeluarkan ku, itu karena aku menonjok murid senior mereka setelah ia menghina ku habis-habisan. Juga satu sekolah di Tampa, Florida. Aku membuat masalah kecil disana, setelah dengan sengaja aku mendorong wanita bernama Ellen hingga baju yang ia kenakan sobek. Sebenarnya hal sepele, aku juga tidak dikeluarkan dari sekolah. Hanya saja ibuku memutuskan untuk memindahkan ku ke New York. 4 sekolah mengeluarkan ku karena kelakuanku yang di luar batas.
Sebenarnya aku gadis yang cuek dan tidak mau tau. Hanya saja dari keenam sekolah ku sebelumnya, tidak ada satu orang pun yang mau berteman denganku. Mereka malah mengejek orang tuaku, ikut campur kedalam masalah keluarga ku.
Ya memang awalnya aku bersikap biasa saja, sampai akhirnya mereka para penindas itu sudah keterlaluan ikut campur dalam urusan pribadi ku. Entah darimana mereka tau tentang perceraian kedua orang tuaku, sampai mereka tau ibuku yang berselingkuh dengan pria lain hingga ayahku murka. Hingga mereka bilang aku anak terkutuk. Mereka bilang aku bukan darah daging ayahku sendiri. Mereka bilang aku anak dari perselingkuhan ibu ku.
"Kara Pearce! Kau dengar ibu tidak?" Lamunan ku buyar seketika karena ibu menepuk-nepuk pipiku. Aku membuka earphone-ku. "Jangan panggil aku dengan nama belakang itu. Aku membencinya, bu." Ucapku muram. Ibu tau aku tidak suka dipanggil seperti itu. Tapi ia selalu bilang 'Itu nama ayah mu, sayang. Itu menunjukan bahwa dia ayahmu.' tapi aku selalu mengelak tidak suka.
Ya terkadang aku beranggapan bahwa Thomas Pearce bukan ayah kandungku, entah setan darimana yang membisiki ku hingga aku beranggapan pria yang dituduh menjadi selingkuhan ibulah ayah kandung ku sebenarnya. Tapi ibu selalu mengelak. Ibu selalu bilang bahwa pria itu hanya rekan kerjanya. Pria yang sering ia panggil Josh. Ibu selalu bilang bahwa ayahku gelap mata. Ayah tidak mau mendengar penjelasan ibu maupun Josh. Ayah hanya benci, ia cemburu melihat ibu yang menghabiskan waktu lebih banyak dengan Josh.
"Sayang, apa ibu harus menambahkan nama belakang kakek mu? Kakekmu bukan ayahmu, Kara." Jelasnya seraya mengelus rambutku dengan sabar.
"Jika nama kakek tidak membuatku terpuruk, aku mau menggunakan nama Reither." Balasku. Ibu hanya mendengus lelah.
"Baiklah terserah kau saja. Sekarang pulanglah karena besok kau baru bisa sekolah disini, dan ingat kau harus menjemput nenekmu jam lima sore di kedai. Ibu tidak bisa terus-terusan mengantarnya pulang ketika kedai sedang ramai. Dan satu pesan ibu, ini sekolah ketujuh mu. Jangan buat masalah hingga kau harus dikeluarkan atau pindah sekolah. Tolong mengertilah bahwa ibu tidak bisa terus-terusan mencarikan sekolah untukmu. Ibu menyayangi mu Kara, Kara Elizabeth Reither"
"Baik ibu. Aku menyayangi mu ibu, nyonya Kristen Marie Reither."
_________________________
HARRY's POV
"Harry kau tidak sekolah?" Bibi Jojo berteriak dari arah dapur. Ya setiap pagi aku enggan pergi ke sekolah karena sekolah benar-benar membosankan. Bukan hanya pelajarannya, guru dan murid-muridnya juga sama membosankannya. Aku memilih untuk tetap berdiam diri di halaman belakang rumah. Tepat dibawah pohon besar. Udara disini sejuk. Dan aku bisa merasakan suatu kenyamanan yang selalu hadir bersama angin. "Harry, hentikan dulu angin dan teman khayalan mu yang lain. Bibi mencari uang untuk membiayai sekolahmu yang tidak murah." Bibi menepuk bahuku membuatku terkesiap.
"Ya lima menit lagi setelah aku mendengar apa yang angin ceritakan." Balasku tanpa membuka mata menikmati angin yang sedang bicara padaku.
"Harry Styles, tolonglah." Ucap bibi memohon. Aku membuka mataku dan menatapnya. Ada banyak harapan yang ia tampakan di matanya. Harapan akan hidupku. Aku mengangguk sebelum bibi pergi meninggalkan ku. Wanita berumur 62 tahun yang sudah merawatku semenjak aku berumur sepuluh tahun. Satu-satunya wanita, satu-satunya kerabat ibu yang mau merawatku, mau menerima ku dengan segala keanehan yang ada dalam diriku. Sedang ibu dan suami barunya harus pergi entah kemana meninggalkan ku. Ayahku? Dia sama menyedihkannya dengan ku. Dia pergi ke Indiana untuk menyendiri. Membuka bengkel disana. Menghabiskan uang yang ia punya untuk membeli botol minuman. Mabuk sepanjang malam. Mungkin ia lebih menyedihkan dari aku setelah ibu menyia-nyiakan hidup ayah. Ibu menceraikan ayah dan pergi bersama kekasih barunya yang lebih mapan dari ayah.
Angin selalu menceritakan keadaan ayah padaku. Aku selalu khawatir dengannya. Aku selalu ingin berada disampingnya. Tapi bibi selalu menolak. Ia tak memperbolehkan ku pergi mengunjungi ayah. Apalagi dengan keanehan yang aku alami, rasanya akan semakin membuat ayah depresi.
"Harry habiskan sarapan mu dan segera naik ke mobil. Bibi akan mengantar mu." Bibi tersenyum setelah aku mengangguk mengiyakan permintaannya. Aku segera menghabiskan pancake dan juga bacon buatan bibi. Ya memang rasanya tidak begitu sempurna. Kadang bibi membuatnya terlalu matang, kadang juga tidak matang. Hanya saja aku ingin menghargainya. Ya tentunya setelah ruh pamanku mendatangi dan mengatakan bahwa bibi Jojo sudah sangat tua untuk berusaha memberi yang sempurna untukku. Paman juga selalu mengatakan bahwa aku harus menuruti apa kata bibi, tidak boleh membuatnya kecewa dan khawatir.
Bunyi klakson mobil membuyarkan lamunan ku. Aku segera menuju mobil di depan rumah. "Bagaimana dengan paman mu?" Tanyanya ketika aku memasang sabuk pengaman ku.
Aku terdiam sebentar. Melihat kearah pintu rumah. Tersenyum kepada ruh pria tua, paman. "Selalu sama. Dia mencintai mu, bi." Ucapku tanpa memalingkan wajah kearah rumah. Aku tersenyum ketika bibi mengacak-acak rambutku.
Jarak sekolah dari rumah bibi Jojo hanya sekitar 20 menit jika bibi sedikit menambah kecepatan mobilnya. Tapi karena bibi sudah terlalu tua untuk ngebut-ngebutan dijalan, kami memakan waktu sekitar 45 menit untuk sampai di sekolahku. Waktu yang baik untuk mendengar beberapa ruh menyapa ku.
"Harry, aku akan menjemputmu jam 3 sore." Ucap bibi sebelum aku turun dari mobilnya. Aku terdiam sambil melihat langit.
"Tidak. Bibi harus tiba dirumah sekitar jam 1 siang, akan turun hujan lebat. Aku bisa pulang sendiri. Jam 4 aku akan tiba dirumah." Ucapku setelah menerawang.
"Baiklah, aku mengerti. Jaga dirimu, aku mencintaimu." Bibi meletakkan tangannya di bibir merahnya lalu menempelkan tangannya tadi ke pipiku. Ya bibi Jojo tau aku benci dicium atau mencium. Karena aku tak pernah merasakan hal itu dari ibuku.
"Aku mencintaimu, bi."
_________
So, cerita malik aku hapus karena itu cerita sama sekali ga berkesan buat aku. Ribet aja gitu ngelanjutinnya gimana jadi mending aku hapus dan aku ganti cerita baru.
Oke disini Harry nya beda ya, dia bukan si brengsek kayak di story sebelumnya. Dia disini jauh banget sama kata-kata "Bad Harry" malahan mungkin dia dapet julukan baru "Harry Weirdo"
So kalau penasaran, add story ini di library kalian ya.
xx key

YOU ARE READING
CURSE
Fanfiction"Hey kau murid baru ya?" Harry mendekati seorang wanita yang sedang duduk di bangku penonton di area lapangan bola basket. "Ya, Kara Reither." Wanita itu tersenyum pada Harry. Ia berfikir bahwa pria yang kini duduk disampingnya ini akan menjadi tem...