CURSE. 07

645 74 9
                                    

"Hampiri dia! Cepat!" Teriak Rachel menyuruhku sambil mendorong badanku untuk berdiri dari kursi ku.

"Kau gila? Tidak! Aku benci dia." Balasku membentak Rachel. Aku memalingkan pandanganku dari Harry. Aku tak peduli lagi dengan si aneh itu. Walaupun jujur saja aku masih sangat penasaran dengannya. Tapi sikapnya tadi pagi sudah membuat ku sakit hati.

Dengan kesal dan juga sedikit rasa takut, aku memilih untuk menghabiskan makanan di depan ku dan mencoba berpura-pura tak tau bahwa ada Harry disekitar ku.

"Oh ya Tuhan. Aku akan pergi aku akan pergi." Tiba-tiba Rachel berdiri dari kursinya dan pergi seperti orang melihat hantu. Kulihat ia segera menuju dapur untuk bergabung dengan ibu ku. Merasa begitu penasaran dengan sikap aneh Rachel, aku menoleh ke arah belakang ingin tau apa yang telah ia lihat.

Rasanya aku juga ingin segera pergi menyusul Rachel setelah mengetahui bahwa Harry mendekat ke arah ku. Demi Tuhan aku merasa seperti sesuatu menduduki tubuhku saat ini. Rasanya begitu berat hingga aku tak bisa berdiri untuk menghindari Harry.

Jantungku berdetak begitu cepat dari detakan normal ku. Rasanya seperti habis berlari puluhan kilo. "Hai," Sapanya. "Boleh aku duduk?" Tanyanya yang hanya ku jawab dengan anggukan canggung. "Finn, jangan ganggu dia." Ucapnya sekali lagi yang kini seperti seseorang sedang berbisik.

Dan anehnya, beban berat yang menimpaku pelan-pelan hilang begitu saja. Hal ini semakin membuatku ketakutan. Tuhan kumohon tarik semua permintaan ku untuk dekat dengan Harry. Aku sudah tidak mau berdekatan dengan pria aneh ini. Pria keriting yang menatapku dengan sangat tajam ini membuatku semakin takut untuk duduk di dekatnya.

"Aku Harry." Ia memperkenalkan dirinya sekali lagi. Dan ya, aku hanya tersenyum antara ketakutan dan juga entahlah aku tidak tahu senyum apa ini. Rasanya aku hanya ingin pergi saja. Atau Harry saja yang pergi dari sini karena sungguh kini aku merasa sangat ketakutan. "Apa aku membuat mu takut?" Ia bertanya seakan mengerti apa yang ku fikirkan. Apa dia juga bisa membaca pikiran? Apa dia sehebat itu? Ya Tuhan buat aku pergi dari sini. Kumohon. Kumohon.

"Maaf aku membuat mu takut. Aku hanya ingin meminta maaf pada mu soal kejadian di sekolah tadi." Ucapnya kemudian setelah beberapa menit berlalu kami hanya berdiam diri.

Aku bingung harus menjawab apa. Bukanya aku tidak senang atau tidak menerima permintaan maafnya. Tapi rasanya begitu aneh. Apa dia memang bersikap keras dan misterius jika di sekolah? Berarti dia hanya membangun image yang membuat semua orang enggan mendekatinya. Eh, benarkah apa yang kupikirkan? Jika memang benar, berarti kutukan yang selama ini dibicarakan banyak orang itu sebenarnya tidak betul-betul terjadi.

"Kau begitu marah hingga tidak mau memafkan ku ya?" Tanya sekali lagi yang membuatku tersenyum konyol di depannya.

"Aku uhh aku memafkan mu." Ucapku singkat.

"Bagus." Ucapnya. Begitu saja? Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya? Ya Tuhan dia kini membuatku menjadi sebal dengannya.

Rasa sebalku seakan lebih kuat dari rasa takutku. Kini aku tak peduli lagi jika ia akan mengutukku atau apalah semacamnya. Aku benar-benar kesal karena dia seakan sama sekali tidak peduli terhadap hal sekecil ini. Maksudku, wanita mana yang akan menolak jika seorang lelaki memohon pada mereka untuk memafkannya. Ah masa bodohlah dengan dia.

"Oh hey nak, kau temannya Kara ya?" Dengan tiba-tiba nenek sudah berada di antara aku dan juga Harry. "Dia belum pernah berduaan dengan teman laki-laki semenjak ya kau tau kan." Aku dengan segera menyenggol kasar tangan nenek ku dan membulatkan mata ketika ia menatapku.

Aku bisa semakin gila melihat tingkah laku kedua orang ini. Belum habis rasa kesal ku pada Harry, kini nenek ku sudah menambah rasa kesal itu dengan kadar yang jauh lebih tinggi.

"Jadi Kara, kau tidak memperkenalkan ku pada pria tampan ini?" Tanya nenek sekali lagi seraya menatap ku dengan antusias.

Aku menghela nafas panjang. Berusaha menahan rasa sebalku pada mereka berdua. "Baiklah nenek ini teman ku Harry. Dan Harry kau pasti bisa menebak, dia nenek ku." Ucapku.

"Uhhh dan aku ibunya Kara, Kristen. Senang melihat mu Harry."

Aku memandang seorang wanita yang sudah berada di sebelah nenek, menyela jabatan tangan nenek dengan Harry. Apa salahku Tuhan? Kenapa mereka berdua hari ini begitu menyebalkan. Ini bukan acara perkenalan murid baru. Kutuk aku! Kutuk aku sekarang juga!

"Dan hey Harry, aku mengenal mu tapi aku sangsi kau akan mengenal ku juga."

"Rachel, benarkan?"

"Oh ya Tuhan. Kau juga? Terserahlah. Ya Tuhan ampuni dosa mereka bertiga."

Aku memukul-mukul kepala ku pelan dengan sendok yang masih di tanganku. Tapi aku sedikit lega, karena ini kali pertama aku melihat Harry tersenyum. Dan ia tersenyum padaku. Rambut panjangnya tidak menutupi senyuman yang terukir di wajahnya. Dan jujur saja, aku sudah menandai senyumannya sebagai bagian favoritku dari dirinya.

"Baiklah, cukup acara perkenalannya." Ucapku dengan segera sebelum aku tak mampu lagi menahan senyuman yang akan segera terukir di wajahku.

Ibu mengangguk menyetujui ucapan ku. Ia lalu mengajak Rachel untuk membantunya setelah ia mengucapkan selamat tinggal pada Harry. Entah ini memang sifat asli Harry atau bukan, tapi sungguh ia terlihat begitu ramah. Jika kau baru pertama kali melihatnya seperti ini, kau tidak akan mengira betapa misterius dirinya.

Hanya tersisa kami bertiga yang masih ada di meja kecil ini. Nenek yang masih asik menatap Harry seakan tak membuat pria ini risih. "Nak, kau lelaki yang tampan. Tapi rambut yang panjang dan wajah mu yang kaku membuat aura mu tidak terlihat. Sangat di sayangkan." Ucap nenek pelan.

"Nenek!" Aku terpekik mendengar ucapan nenek yang begitu terus terang. Entah kenapa otakku mencerna bahwa ucapan nenek tadi sama saja mengatakan bahwa ia tidak suka rambut panjang Harry. Dan itu bisa saja membuat Harry tersinggung. Aku hanya tidak mau nanti nenek malah mendapat kutukan dari Harry.

"Aku suka rambutku seperti ini." Ucap Harry dingin sebelum nenek pergi meninggalkan kami berdua dan masuk kedalam dapur.

"Maafkan nenek ku, dia tak bermaksud menghina mu." Ucapku cepat-cepat sebelum Harry salah sangka terhadap nenekku.

"Menghina ku? Nenek mu berkata jujur. Aku menyukainya."

Ia tersenyum padaku, untuk yang kedua kalinya setelah beberapa menit aku duduk bersamanya.

Hey kurasa dia tidaklah buruk. Kurasa aku akan menyukai hubungan pertemanan kami berdua. Ya jika itu akan terjalin nantinya. Tapi ada keyakinan dalam hatiku, aku dan dia akan cocok.

CURSEWhere stories live. Discover now