CURSE. 06

914 87 10
                                    

KARA's POV

Sudah dua hari sejak kejadian di belakang sekolah itu rasanya setiap kali aku berpapasan dengan Harry, ia selalu menunduk atau melihat kearah lain sehingga aku sulit untuk menatapnya lagi. Tentu saja itu semakin membuatku penasaran dengannya. Belum terfikirkan cara yang pas untuk berteman dengannya. Rachel pun juga sama sekali tak punya ide untuk mendekatinya.

Memang belum waktunya untuk ku menyerah, tapi jika percobaan ku kali ini gagal maka aku menyerah. Aku juga harus menjaga harga diri ku di sekolah baruku.

"Kara, kau tidak bisa turun? Kita sudah sampai." Rachel membuyarkan lamunanku dengan mendorong lenganku, menyuruhku keluar dari mobilnya. Ya hari ini memang aku menumpang mobilnya karena nenek sedang demam dan ibu harus mengurusnya.

Aku segera turun dan berjalan berdampingan dengannya menuju loker ku. Sebelum sampai di loker, aku melihat Harry sedang berjalan juga menuju lokernya. Rambutnya yang terurai lumayan panjang dan berantakan seperti memperlihatkan bahwa itu adalah tanda pengenalnya.

Aku tersenyum lebar pada Rachel ketika otakku mengharuskan aku melakukan rencana ku sekarang juga. Yang kulihat Rachel hanya memandangku bingung dan terus bertanya.

Pun aku meninggalkan Rachel yang masih bingung dan menuju ke arah Harry. "Hai, aku Kara." Ucapku seraya menjulurkan tanganku untuk berjabat tangan dengannya.

Harry tak merespon apapun. Ia hanya menatap tanganku lalu menatapku dengan wajah yang sulit ku artikan. Raut wajahnya begitu kaku seperti orang yang tidak bisa tersenyum. Apa mungkin orang tuanya memberikan lem super kuat disekitar wajahnya hingga ia susah untuk tersenyum?

Ia hanya memandangku seperti pembunuh berdarah dingin yang sering ku lihat di serial televisi. Aku hanya bisa mencoba tersenyum tanpa merasa takut dengan wajah seriusnya itu.

"Hei, aku Kara. Kau mendengarku kan?" Ucapku sekali lagi. Tanganku masih tetap berharap untuk dijabat olehnya. Tapi kurasa itu percuma. Ia mengambil buku-bukunya lalu mengunci lokernya dan pergi.

Seriously? Dia pergi begitu saja? "Fuck!" Aku mengumpat lumayan keras setelah kepergiannya.

"Uhh kurasa pangeran kegelapan menolak wanita baru disekolah ini." Seorang siswa yang tiba-tiba lewat didepan ku bergumam menyindirku sambil tertawa cekikikan dengan teman disebelahnya. Aku hanya bisa melirik mereka sinis.

"Shut up Steve!" Rachel datang seraya menepuk kepala mereka berdua dari belakang membuat mereka mengumpat pada Rachel. Aku yang tadinya kesal dengan Harry mulai tersenyum kecil karena Rachel. "Kenapa kau bertindak bodoh seperti itu? Rencana mu kurang matang Kara." Ucap Rachel menegur ku. Ya aku tau itu sama sekali bukan ide yang brilian.

"Ya aku hanya ingin berteman dengannya, tapi dengan sikapnya yang seperti itu aku mulai mengerti kenapa ia tak punya satu teman sekalipun." Balasku kembali kesal. Niat ku baik, bukan? Aku hanya ingin berteman dengannya karena kupikir ia menarik. Dasar pria egois! Sudah baik aku mau berteman dengannya, bukannya menerima ku dengan baik tapi ia malah membuatku membencinya.

Aku berjalan meninggalkan Rachel dan segera menuju kelas ku. Tak bisa ku percaya perbuatan Harry membuatku sangat kesal padanya. Sialan pria itu.

Sesampainya di kelas, beberapa murid lain memandang ku dengan aneh. Mereka berbisik satu sama lain ketika aku masuk kedalam kelas. Apalagi ini? Apa dunia ingin membuat ku benar-benar kesal hari ini? Uh sialan!

Mencoba mengabaikan mereka, aku langsung saja menuju tempat duduk ku. Aku begitu terkejut melihat secarik kertas menampilkan nama Harry Styles cukup besar. Oh ya Tuhan, apa ini? Inikah jawaban mengapa semua orang menatapku aneh? Dan tunggu dulu, bagaimana Harry bisa tau aku duduk di sini? Bukankah aku bisa saja memilih tempat duduk yang lain? Oh kumohon ampuni aku. Aku tidak sanggup hidup seperti ini.

Dengan perlahan aku membalik secarik kertas itu. Yang kudapati adalah sebuah tulisan tangan yang tidak begitu rapi. Kurasa ini adalah sebuah pesan.

Dua manusia yang berbeda akan saling membalas perasaan.
Untuk kalian berdua, jangan mencoba untuk terus maju melawan takdir. Dan jangan pula menolak untuk melawan takdir bersama.
Dan pada akhirnya, kalian akan bahagia namun kehilangan.

Begitu pesan yang kubaca dalam tulisan tangan yang mungkin adalah tulisan tangan Harry. Sungguh, aku tidak tau apa arti dalam pesan ini. Siapa manusia yang ia maksud, siapa yang akan melawan takdir, masih banyak lagi pertanyaan apa dan mengapa yang terlintas dalam otakku.

Apa ini sebuah kutukan?

Aku segera memasukan kertas tersebut ke dalam tas ku ketika bu Elen guru bahasa perancis ku masuk kedalam kelas.

*****

"Gila. Ini gila Kara. Dia mengabaikan ajakan berkenalan mu tapi ia mengirimi mu sebuah surat?" Pekik Rachel tak percaya. Berkali-kali Rachel membaca surat dari Harry yang aku berikan padanya. Dan berkali-kali ia membuat beberapa pasang mata di kedai nenek memandang kami.

"Rachel diamlah. Berhenti terkejut berulang kali seperti itu." Perintahku padanya dengan nada kesal. "Aku hanya tidak bisa menebak bagaimana otak Harry bekerja. Dia mengabaikan ku, tapi ia mengirimi ku sebuah surat. Dan aku bergidik ngeri setiap kali membaca tulisannya itu." Lanjutku.

Rachel terlihat seperti seorang detective ketika secara bergantian ia memandang ku dan kertas itu. "Apa ini bercerita tentang kisah asmara mu nanti? Apa mungkin dia mengutukmu, kau akan mendapat pasangan namun juga akan kehilangannya. Apa mungkin pacar mu nanti akan meninggalkan mu ketika tau kau hamil?" Ucap Rachel seenaknya.

"Rachel!" Bentakku. Sekali lagi ia membuat ku kesal. Ya Tuhan kenapa gadis seperti ini yang kau kirimkan untuk menjadi teman ku?

Rachel yang sadar bahwa aku kesal hanya memamerkan deretan gigi putihnya lalu kembali terfokus pada kentang goreng yang ia pesan.

Aku merebut kertas itu dari tangan Rachel. Membacanya kembali, mencoba menafsirkan apa yang di maksud Harry. Kutukan kah? Tapi firasatku mengatakan ini bukanlah sebuah kutukan. Harry tidak mungkin sejahat itu mengutuk pasangan ku akan meninggalkan ku nantinya. Mungkin ini hanya sebuah peringatan. Peringatan bahwa aku harus berhati-hati menjaga pasangan ku. Uhh begitukah?

"Kara lihatlah. Kara cepat lihatlah. Lihat keluar sana. Siapa yang sedang duduk sambil memandang kita!" Rachel memukul tanganku dengan kasar, menyuruh ku melihat siapa yang ia lihat.

"Har... Harry." Pekikku tergagap. Aku melihatnya dengan jelas. Itu Harry, ia sedang duduk sambil menatap tajam kearah kami berdua. Aku bergidik ngeri menyadari tatapan matanya begitu tajam dan terkesan menakutkan bagi ku.

"Hampiri dia! Cepat!"

_______

xx key

CURSEWhere stories live. Discover now