Jadi disinilah aku selama beberapa menit terakhir. Jalan berdua menyusuri taman bersama seorang pria yang penuh misteri. Tidak buruk untuk berjalan-jalan di taman dengannya.
"Jadi, kenapa kau pindah ke sekolah jelek itu?" Tanyanya tanpa memandangku sedikit pun.
"Ibu yang menyuruh." Jawabku singkat. Aku menggigit bibirku pelan. Rasanya canggung harus menceritakan mengapa aku pindah karena belum tentu ia mau mendengarku. Lagipula dia juga tidak bertanya padaku, jadi aku tidak begitu antusias untuk menceritakannya.
Kami duduk dalam diam. Rasanya aku sama sekali tidak mempunyai topik untuk kami bicarakan. Haruskah aku bertanya tentang dirinya? Tapi aku takut kalau kata-kata ku akan menyakitinya.
Aku meliriknya. Ia hanya menatap pohon yang daun-daunnya sedang berguguran. Ya pada musim gugur seperti ini jalanan pasti dipenuhi dengan daun kering yang berguguran. Harusnya aku bisa memikirkan topik yang pas dari peristiwa di depanku. Tapi rasanya ide-ideku di curi oleh ke canggungan diantara kami.
"Jadi, kau mengajak ku kesini hanya untuk melihat daun yang berguguran?" Tanyaku akhirnya. Ah jujur saja butuh keberanian untuk mengatakan hal seperti ini.
Ia berdehem membuat badan ku tegang seketika. "Maaf atas kecanggungan ini." Ucapnya. Aku belum berani untuk menatapnya, jadi kuputuskan untuk meliriknya saja. "Jadi, kenapa kau pindah ke sekolah itu?" Tanyanya.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Ya kulakukan untuk meyakinkan diriku bahwa aku bisa mempercayainya untuk menceritakan kisahku. Ia juga menatapku. Entah kenapa rasanya jantungku berdetak lebih kencang dari semestinya. Aku melihat matanya, aku jatuh cinta pada tatapannya. Eh tunggu, tidak mungkin.
Dengan segera aku memalingkan wajahku. "Sebenarnya itu sekolah ke-7 ku. Aku harus pindah sekolah karena suatu hal." Aku menatapnya lagi karena masih tidak yakin harus menceritakan padanya atau tidak.
"Kurasa kau akan betah di sekolah ke-7 mu." Ucapnya.
Aku yang tadinya memutuskan akan menjelaskan kenapa aku pindah, harus mengurungkan niatku. Tapi aku setuju dengannya. Kurasa aku akan betah di sekolah ini.
Diam kembali menyerang kami. Tak ada satupun diantara kami yang membuka percakapan.
"Kita bisa berdiam disini selama 30 menit, setelah itu kita harus kembali ke cafe keluarga mu." Ujarnya tiba-tiba.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Aku tidak mau kau basah karena hujan." Aku mendongak menatap langit. Rasanya cuaca sedang bagus tapi kenapa ia mengatakan hujan. Oh tunggu!
"Harry, boleh aku bertanya sesuatu?" Perlu keberanian lebih untuk melontarkan pertanyaan ini. Dan perlu keberania dan kontrol diri yang ekstra pula ketika ia menatapku. "Uh apa kau bisa melihat seauatu yang tidak bisa dilihat manusia? Eh maksudku yang tidak bisa dilihat oleh manusia pada umumnya."
"Tidak. Kau fikir aku bisa melihat masa depan? Aku hanya mendapat bisikan. Dari angin, dari sahabat ku." Jelasnya.
"Ah kau bersahabat dengan angin?" Tanyaku semakin antusias dengan topik permbicaraan kami.
"Ha? Oh bukan. Aku mendapat bisikan dari angin dan juga sahabatku." Jelasnya dengan nada datar yang sama.
"Sahabat seperti apa?" Tanyaku lagi.
"Kau benar-benar ingin tau?" Tanyanya.
"Aku boleh mengenalnya?"
"Tentu saja. Dia sedang bersandar di sebelah mu."
"Harry!"
Dengan spontan aku langsung merangkul lengan kanan Harry begitu menyadari di samping kiriku tidak ada siapapun maupun apapun. Jangan katakan siapa sahabat yang Harry maksud. Aku sama sekali tidak ingin mengenalnya.
Aku menatap Harry yang ternyata sedang menatapku dengan ekspresi dinginnya. "Apa?" Tanyaku sedikit menantang. Harry tak menjawab, ia malah menjatuhkan pandangannya pada tanganku yang meremas lengannya. Setalah sadar dengan apa yang kulakukan dan melepaskannya, aku membenarkan posisi dudukku dengan memaksa ekspresi wajahku menjadi cool.
Aku memang membenarkan posisi duduk ku, tapi tidak dengan jarak duduknya. Aku masih enggan bergeser menjauh dari Harry karena masih takut.
"Kau mau berkenalan dengannya? Sepertinya dia menyukai mu." Goda Harry dengan senyum tipis terukir di wajahnya.
"Harry!" Bentakku dengan wajah ketakutan.
Harry membalasnya dengan tertawa begitu lepas. Aku yang melihatnya tertawa, seakan terhipnotis untuk ikut tertawa, namun kulakukan tanpa suara.
Suasana menjadi cair setelah itu. Aku mulai berani menceritakan bagaimana aku bisa pindah sekolah sebanyak 7 kali. Dan apa yang terjadi di sekolah sebelumnya. Sampai-sampai aku menceritakan tentang ayah dan ibu ku karena merasa begitu di dengarkan. Sungguh, Harry adalah pendengar yang baik. Dia memang tidak merespon apa yang aku ceritakan padanya. Tapi tatapan matanya seakan mengatakan bahwa 'ya aku mendengarkan mu, teruslah bercerita.'. Dan aku suka sikapnya seperti ini.
Hampir tiga puluh menit berlalu dan Harry mengajakku untuk melanjutkan cerita ku sambil berjalan pulang.
"Harry," Panggilku. Ada perasaan berbeda kali ini. Aku merasa bebas dan nyaman ketika memanggil namanya. Dan aku suka caranya merespon panggilan ku. "Apa kau tadi bercanda?" Lanjutku.
"Bercanda? Tentang apa?" Tanya.
"Uh sahabat mu." Ujarku sambil menekan kata sahabat.
"Tidak. Namanya Finn, Finnegan Oliver." Jawabnya.
Tiba-tiba saja aku merasa aneh. Takut? Jelas. Merinding mendengarnya? Oh ayolah, apa masih harus dipertanyakan?
"Kenapa? Kau mau berkenalan dengannya? Dia bisa menyentuh mu kalau kau mau." Godanya sambil tersenyum penuh arti.
Aku yang sejak tadi sudah ketakutan hanya bisa meninju lengannya tanda tak setuju. Merasa kesal dengan tawanya yang seakan mengejek, aku mempercepat langkah ku hingga meninggalkannya beberapa meter. Namun dengan cepat ia menyusul. Aku mulai berlari kecil menjauh darinya. Dan sekali lagi ia berhasil menyusulku. Kami tertawa mendapati diri kami berdua yang nampak bodoh seperti anak kecil.
"Oh ya ampun, kau benar Harry." Ucapku tak percaya dengan apa yang kulihat. Dia benar-benar seperti cenayang yang bisa meramalkan akan terjadinya hujan. Bahkan sebagai persiapan, ia telah menyuruhku menyiapkan susu coklat hangat untuk kami berdua. "Apa kau cenayang, Harry? Atau keturunan cenayang?" Aku asal bertanya padanya.
Setelah berjalan-jalan dan melakukan beberapa hal bodoh bersama Harry tadi, aku mulai merasa jarak diantara kami mulai terhapus. Aku tidak lagi berpikir dua kali untuk mengatakan apa yang ingin ku katakan. Bahkan kini aku senang memanggil namanya. Harry, Harry, Harry.
"Jangan terus memanggil ku." Ujarnya setelah menyeruput susu coklat hangatnya.
Aku spontan membulatkan mata ku tak percaya. "Kau bisa membaca pikiran? YA TUHAN, BENARKAH?!" Aku mulai berteriak tak percaya. Yang ia lakukan hanya menempelkan jari telunjuknya di bibirnya dan membuat gaya untuk menyuruh ku diam.
"Bukan aku yang bisa membacanya, Finn yang bisa. Dia hanya mengatakan apa yang ia tau." Oh benar, Finn. Dia tau segalanya. Bahkan mungkin jika aku menjelek-jelekan Harry atau mengumpat dalam hati untuk Harry, ia akan mengatakannya pada Harry.
"Dia bisa mendengar mu." Ucap Harry lagi setelah ia menyeruput susu coklatnya sekali lagi.
"Oh ya Tuhan, persetan dengan Finn."
________
xx key
YOU ARE READING
CURSE
Fanfiction"Hey kau murid baru ya?" Harry mendekati seorang wanita yang sedang duduk di bangku penonton di area lapangan bola basket. "Ya, Kara Reither." Wanita itu tersenyum pada Harry. Ia berfikir bahwa pria yang kini duduk disampingnya ini akan menjadi tem...