Chapter 3 - Berita

235 30 11
                                    

"George!" aku memekik girang dan langsung melompat ke dalam pelukannya. Yang dipeluk tidak terkejut sama sekali malah tertawa riang dan mengelus-elus rambutku seakan-akan aku ini anak kecil. Aku menariknya masuk dan mendudukkannya pada sebuah kursi.

"Kau ingin aku pesankan minum pada Bella?" tanyaku.

"Tidak perlu, aku hanya ingin mendengar ceritamu," aku menaikkan sebelah alisku lalu mendesah berat dengan dibuat-buat.

"Kau tidak akan percaya apa yang baru saja aku lalui," aku menggeser kursi agar bisa berhadap-hadapan dengan George dan mulai bercerita.

Seperti biasanya, george tidak banyak menyela saat aku berbicara. Hanya mengangguk-angguk dan sesekali membulatkan matanya antusias. Dia selalu sabar mendengarkan keluh-kesah dan omelan panjangku.

George adalah anak dari selir ayahku, Nyonya Emely. Hubunganku dengan nyonya Emely tidak begitu baik, dan yang kumaksud tidak begitu baik adalah sangat buruk. Namun sebaliknya, hubungan ku dengan George sangat baik. George selalu ada untukku dan selalu melindungiku. Bahkan sejak kehidupan di luar shelter saat kami berdua masih kecil. Maka dari itu, aku tak pernah menganggap George sebagai kakak tiri. Ia adalah orang terpenting dalam hidupku setelah ibu.

"Bagaimana sikap Ratu Esme saat itu?" tanya George saat aku mengakhiri ceritaku. Aku berpikir sejenak.

"Ehh... sepertinya ibu berbisik sesuatu pada ayah, tapi aku tak tahu apa yang ibu katakan," jawabku.

"Baiklah, karena moodmu sedang buruk hari ini, apakah ikut aku ke sungai bisa memperbaiki moodmu?" mataku membulat sempurna mendengar tawaran saudaraku. Lalu aku mengangguk-angguk seperti anak umur lima tahun. Mungkin karena sikapku yang terkadang seperti ini di depannya lah yang membuatnya selalu melindungiku dan menganggapku sebagai adik kecil.

"Tapi, aku rasa Bella akan melarangku karena sebentar lagi akan ada pertemuan Ladies dan Lords," aku tiba-tiba murung.

"Kita kan bisa pergi tanpa ijin Bella," George menunjuk balkon kamarku dengan ibu jarinya.

"Kau benar! Tunggu sebentar, aku akan bersiap-siap," tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung melesat ke ruang ganti.

Aku mengganti gaunku dengan setelan yang lebih simpel dan memungkinkanku untuk mudah bergerak. Gaun hijau sifon dengan panjang di bawah lutut menjadi pilihanku. Selain itu, rambutku aku kucir kuda ke atas dan memasang dua jepit rambut berwarna tosca di samping kanan. High heels ku juga ku ganti dengan sepatu boot. Terakhir aku menyambar jubah berkuda semata kaki lalu keluar dari ruang ganti.

"Aku siap!" aku menyunggingkan seulas senyum. George membalas senyumku.

"Kau sangat berbeda dengan para wanita. Biasanya mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berganti baju," decak George.

"Tunggu dulu. Jadi kau baru saja bilang kau sering bertemu dengan 'para wanita' dan menunggu mereka berganti?" tanyaku menyelidik.

"Mmm... aku rasa kita harus bergegas sebelum Bella masuk. Aku hanya menyengir jahil saat dia menarik tanganku dan mendapati dia menggelak untuk menjawab pertanyaanku.

Kami menuju ke balkon kamar dan membuka sebuah pintu rahasia. Ini yang dimaksud George kami bisa pergi tanpa ijin Bella. Bahwa sebenarnya di balkon kamarku terdapat sebuah pintu yang menghubungkan kami ke dalam sebuah labirin. Labirin ini menjangkau seluruh istana dan ada beberapa pintu untuk keluar masuk. Menurutku, sampai saat ini hanya aku dan George yang tahu mengenai labirin rahasia ini. Ditambah prof. Ludwig tentu saja. Karena beliau yang membangun tempat ini.

George membiarkanku berjalan di depan menuruni anak tangga. Labirin bagian kamarku sempit, tetapi tidak gelap karena kami sudah menambahkan beberapa penerangan di sini. Tangan kiri George yang kekar menggandeng tanganku erat.

Antidote (Penawar Racun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang